Mengapa hal suram seringkali singgah lebih lama dalam ingatan?
Banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk merindu dan Mila telah memilih untuk mengenang orang terkasih nya dengan cara seperti ini. Menenggak beberapa pil tidur, rasa-rasanya hanyalah satu dari sekian alasan—agar bisa berjumpa dengan kedua orang tua di alam bawah sadarnya.
Apakah ini salah? Tentu saja, karena tidak pernah ada pembenaran dari sebuah pelarian atau perusakan apapun alasannya, berdamailah dengan diri sendiri. Kamila sudah mengultimatum hidupnya, agar melewatkan tanggal 3 dan 8 di setiap bulannya.
Dimana hari pada tanggal tersebut, merupakan kemalangan yang telah membawa kedua orang tuanya pergi. Entah kapan rutinitas ini berakhir, ia hanya belum siap untuk berhenti. waktu sepertinya tidak memberikan alasan, yang cukup kuat untuk menariknya dari kubang kesedihan itu. "Di sini gelap, buka pintunya!"
Gadis manis yang baru menginjak usia 8 tahun itu, memohon serta memeluk erat lutut di dalam lemari berjenis mahoni. Tidak lama pintunya berderit melebar, menampilkan kaki jenjang nan mulus bersepatu tinggi glossy berwarna merah menyala, dia berbicara tanpa melihat wanita dewasa tersebut.
"Kata Tante ayahku akan datang menjemput..." lirihnya lugu, kini sebuah uluran tangan sampai diantara puncak kepalanya.
Lagipula siapa anak itu? Kamila mengingat dengan jelas bahwa itu bukan dirinya, dia tidak mengenal sama sekali pemeran dalam cuplikan singkat mimpi barusan. Namun anehnya, Mila merasakan rasa sakit dan sesak yang sama; ketika menyaksikan kesedihan tersirat dari raut wajah mungil tersebut.
"Dance cover kurang ajar!" umpat Kamila.
Dia meraih benda pipih yang kebetulan masih menunjukkan pukul empat sore. Memang sekarang sedang diselenggarakan, event di Taman Kota. Mengirim keramaian, dengan dentuman lagu pengiring yang membuat telinga siapa saja melebar tanpa sadar.
Kamila bangun dengan rambut urak-urakan, seperti singa liar di belahan bumi Afrika. Kekesalannya semakin menjadi, tatkala reaksi obat tidurnya—ternyata memudar lebih cepat. "Apa masih kurang?" kesal wanita berpiyama satin tersebut, pada dirinya sendiri.
Dinginnya tembok kamar mandi tidak lantas menyejukkan saraf-saraf, yang terasa menegang dalam bentangan kesadaran itu. Bahkan, ketika bunyi air berjatuhan dari shower menabrak tubuh, Kamila Andini Rahagi hanya ingin kegiatan membersihkan badan ini berjalan lebih cepat.
Dalam hitungan menit, ia telah keluar dari ruangan lembab tersebut. Bathrobe berwarna putih, nampak menyelimuti pribadi cantik itu dengan baik. Kamila berjalan membuka lemari, mengais pakaian sakral yang menurutnya tampak begitu modis tersebut.
Kamila sebenarnya tidak suka bersolek, maupun memakai gaun branded ratusan dolar, hanya untuk menaikan citranya di lingkungan ibu-ibu kompleks. Bukannya tidak mampu, ia hanya merasa hal itu tidak penting untuk di pikirkan lebih jauh.
Namun untuk hari ini, ia sanggup menyiapkan semuanya. Atasan hitam panjang bling-bling, dengan rok mini berbahan kulit telah menjadi padanan favoritnya, beberapa bulan belakangan. "Manis, kau sudah cantik sekali..." Kamila mengapresiasi pantulan, yang berubah di hadapannya tersebut.
Sementara itu disisi lain, Zaky tengah celingak-celinguk mengitari meja dan berakhir mendudukkan diri di depan Laura sambil berpangku sebelah tangan. "Kemana kak Mila?" tanyanya dengan wajah polos, serta rasa penasaran yang dibuat-buat.
Wajar saja pemuda merasa seperti itu. Sebab semenjak bekerja disini, Zaky baru berpapasan beberapa kali dengan wanita berhidung tidak terlalu tinggi tersebut. Laura lantas menghela nafas kasar, saat kedua rekan barunya ini menatap.
"Setiap tanggal tiga dan delapan aku yang jaga sendirian." jelasnya tanpa minat. Laura sesekali tampak mencoret asal, di atas note berwarna—untuk melepaskan kegundahan yang melanda. Dia bingung harus sampai kapan melihat kakaknya, bertindak demikian.
"Apa dia libur?" Putri juga mulai bertanya.
Ada keganjilan mulai tertangkap dari wajah Laura yang minim ekspresi itu. Dia stagnan beberapa saat, sebelum bolpoin yang dipegangya terjatuh sempurna ke atas lantai. Mata belo-nya menjelajah setiap sisi dan ketemu! Ia meraih alat tulisnya.
Mendongak pelan dengan bangkit dari jongkok, ketika ketukan heels yang menuruni anak tangga, berhasil mengait total atensi. Siksaan batin Laura, mulai terlihat jelas dari tarikan bibirnya melengkung kebawah. Sedari tadi mengepalkan geram, menahan agar tidak melemparkan pas bunga di dekatnya.
Ayolah, itu bukan pribadi asli yang Laura kenal sehari-hari. Bahkan dia tidak tahu menahu, dari mana kakaknya mendapatkan setelan serba ketat itu. Pewarna bibir yang merah menyala, eyeshadow berwarna lembut, kemudian anting-anting berwarna gold. Seksi sekali.
"Jemput aku!" Kamila berseru, sebelum sepenuhnya melangkahkan kaki jenjang berstocking hitam tersebut melewati persegi pintu. Dia sudah tahu, bahwa adiknya itu tidak bisa hidup—jika dirinya tidak berulah. Sehari dua kali minimal, ia harus membuat Laura kesal.
Seperti sekarang, Laura tidak menjawab atau melihatnya sama sekali. Itu tidak masalah, karena Kamila tahu jika ujung-ujungnya adiknya itu pasti datang, tepat waktu. Dia memang tidak menyukai kebiasaan Kamila yang satu ini. Yah begitulah, entah apa yang membentur isi kepala kakaknya.
Laura sampai sekarang, belum berhasik mengorek misteri di balik semua itu. Yang ia tahu, Kamila memang beberapa kali mendatangi psikiater, menjalani terapi, obat dan sejenisnya. Kakaknya bukanlah psikopat gila, seperti di drama Korea. Aneh bukan?
***
Hal pertama yang ditangkap oleh maskara bening Kamila, adalah gedung berlantai dua. Interiornya bergaya elegan, namun klasik dengan warna dominan putih tulang, serta LED berwarna soflight blue di sekitaran pintu utama. Selera Kamila sekali, mungkin itu pula yang menjadi alasan mengapa harus tempat ini.
Kamila turun dari taksi dengan semangat. Rambut lurus sebahu itu bergerak searah, dengan langkah Kamila yang tampak mantap—menapaki lantai beralaskan marmer licin, seakan mengandung magnet untuk menarik siapa saja tenggelam. Lampu sorot berjenis laser juga mulai menembak ke berbagai arah.
Kamila menunggu salah satu, dari ke enam ruangan itu kosong. Di kursi tinggi dekat bar inilah ia bertumpu kaki, dengan mulut sibuk mengunyah permen karet rasa mint, menyenangkan. Apalagi di tambah geliat orang-orang di lantai dansa yang menggelora. Itu sulit di jelaskan anomalinya. Hanya Kamila yang tahu.
"Hei babe! Are you alone?" Pria berwajah oriental, tampak menyapa Harin dengan pancaran sarat akan ketertarikan. Kamila menghela napas pendek, ini sudah biasa ia rasakan. Maka, dengan mengatur mimik wajah sebaik mungkin—ia melancarkan penolakan halus pada orang asing tersebut.
"No, I am wait my boyfriend..." Kamila berkata tidak sendirian kok, sedang menunggu pacarnya. Hingga pria tersebut akhirnya mengundurkan diri setelah mencuri colekan pada dagunya. Jujur, hal itu nyaris saja membuat amarahnya meluap.
***
Di sudut lain kelab, punggung pria bandel ini berjalan mendekati besi pembatas; jangkauan pandangan yang lebih luas membuatnya begitu senang mendiami lantai dua. Ternyata kalau diamati, tingginya (pagar) hanya mencapai perut atas saja, membuat tubuh Jayden yang bertumpu itu—condong ke depan.
Dia menghelakan napas berat, tatkala cairan pahit itu mulai mengalir, melewati tenggorokan, mengirimkan sensasi panas nan memabukkan di antara rongga dada dan perutnya. Jayden menjauhkan gelas dari bibir. "Kukira wanita itu tidak mendatangi tempat seperti ini..." gumamnya.
"Mau diisi lagi?" Wanita dengan pakaian kurang bahan tersebut terlihat menawarkan minuman lain pada Jayden. Merasa ketenangannya ada yang mengusik, pria itu lantas mendelik tajam ke arah si wanita.
"Nggak usah!" tegas Jayden, sambil menyingkirkan tangan gemulai yang mendarat pada pahanya.