"Kakak! espresso-nya tidak keluar!"
Aku terhenyak menatap ke samping, tepat di mana adikku berkeluh dengan wajah seriusnya. Ini protes-an ke sekian ribu, karena aku terus saja melamun. Kali ini, gilingan biji kopiku terlalu 'fine' hingga tidak bisa dibuat jadi based espresso.
"Biar aku yang menangani," kata wanita dengan blouse berwarna oranye ini, sebelum menggeser tubuhku pelan ke samping untuk mengambil alih pembuatan kopi. "Tapi Lau—" ia menggelengkan kepalanya, lalu mengoperasikan mesin yang sejak tadi teracuhkan.
"Baiklah, aku akan membersihkan meja saja..." tambahku dengan sedikit rasa menyesal. Kenapa mendadak teringat dengan Hito disela-sela pekerjaan ini? Jadinya tidak fokus! Lima menit berselang.
Aku meraih benda pipih yang mendadak bergetar di meja, dekat gelas takar. Baru saja ikon hijau tergeser, mataku harus melebar lebih karena ada percakapan ringan yang melibatkan Zaky—pegawai baruku, dengan salah seorang pelanggan didepan sana.
Aku menelisik ulang ponsel, yang telah tersambung lima belas detik lalu ini. Kemudian mengakhiri secara sepihak, sebelum mengaktifkan mode pesawat dengan jengkel. Itu panggilan suara dari nomer tidak dikenal. "Maaf tolong mengantri lebih dulu nyonya..." lirih pria berkacamata tersebut dengan santun.
Semua orang sedang sibuk, termasuk Vivi yang berperang dengan mesin kasir dibelakang sana. "Anda harus mengantri jika tidak memiliki kartu member," Zaky kembali bersuara.
Aku menegakan badan, kemudian menaruh kanebo yang sedang dipegang. Seraya melangkahkan kaki perlahan untuk menjernihkan masalah itu. Tampak, punggung wanita setengah abad bersanggul mengenakan sweater rajut vintage, tengah beradu argumen dengan pria penyabar ini.
"Ada apa Zaky?" tanyaku dengan satu alis terangkat.
Sementara pelanggan nyeleneh yang diduga memotong antrian ini, tengah memalingkan muka dan memasang wajah ketusnya serta bersikeras melewati deretan pelanggan lain didepan sana.
"Itu tadi—" ucapan Zaky seketika terpotong berkat kesalnya seorang nenek yang langsung berkata. "Aku ingin bertemu dengan pemilik tempat ini!" Aku memberi dia sambutan senyum manis. "Dengan saya sendiri nek..."
Beliau mengangguk samar."Oh! jadi kamu toh." responnya datar, saat aku menggiring raganya menuju salah satu meja kosong di sisi ruangan. Aku menengok ke belakang, melihat Zaky yang masih memasang wajah heran. "Bantulah mereka!" kataku padanya, saat atensi kami bertemu.
Pria yang menginjak usia 22 tahun itu, langsung bergabung dengan Putri dan Zaky diseberang. Kepribadiannya yang tenang, dengan tata cara kerja gesit namun fleksibel membuatku patut berbangga. "Apa anda menyukai kopi?" tanyaku pada nenek, ketika beliau telah duduk dengan nyaman di sofa.
"Tentu saja..." jedanya sambil tersenyum tipis, lalu menambahkan, "TIDAK! Encok di pinggangku bisa kambuh lagi kalau begitu!" imbuhnya setelah berfikir lagi sejenak. Butiran keringat halus telah menghiasi kulit wajah yang sudah tidak kencang lagi itu. Aku melipat bibir dengan geli saat mendengar reaksinya.
"Kalau begitu susu karamel terlihat lebih cocok. Bagaimana?" jarang-jarang kan, aku berinteraksi dengan pelanggan seusianya.
"Tidak perlu!"
"Baiklah! Kuanggap kau setuju." Nenek menggeleng pasrah. Aku meninggalkannya di sana, dan membuatkan susu karamel dingin sebagai pelepas dahaga beliau. Wajah cantiknya yang berwibawa, mengingatkanku pada sosok eyang Bevarra pemilik kedai terdahulu.
Beberapa menit berselang. "Ngomong-ngomong ada keperluan apa nek?" Kutaruh minuman legit dan segar ini diatas meja.
"Bisakah kau menjual bunga lavender itu padaku?" Nenek bertanya, setelah melirik sebentar ke samping.
"Hemm?" Aku tidak menyangka. Setelah bertahun-tahun menanam 'lavandula stoechas' itu, dari benih hingga berkembang dengan panjang batangnya telah mencapai 30 senti, baru kali ini ada yang menanyakannya. Warna dominan ungu dengan daun hijau keabu-abuan itu selalu terasa spesial di mataku.
Nenek mengambil minuman dan menghirup aromanya lebih dulu sebelum mencicipinya. "Aku sudah mencari keberbagai tempat. Namun jarang sekali tersedia, apalagi jika memasuki musim pancaroba," keluhnya, sembari menjauhkan gelas tersebut dari mulut.
Terlihat sekarang, rata-rata pelanggan tetap Paradise Falls merupakan penghuni sekitaran komplek, anak muda maupun mahasiswa. Bahkan sesekali ada publik figur lokal, dari berbagai profesi dan sepertinya nenek ini berasal dari daerah jauh jadi, "Bagaimana anda bisa tahu, aku memilikinya?"
"Ada yang ngasih tahu," singkatnya, kembali menikmati minuman yang kubuatkan. Tersisa setengah bagian, ia kemudian menghabiskannya dalam satu dorongan, di ikuti senyum kecut—namun menampilkan barisan giginya yang masih utuh. "Ternyata! rasanya tidak enak," kesannya dengan nada bercanda.
Aku tertawa kecil sambil berdiri dan mengambil tiga langkah besar kebelakang agar bisa menjangkau para bunga-ku yang berada di dekat jendela. "Aku tidak akan menjualnya!" tegasku sambil menunduk tanpa melihat beliau. Terasa, kalau si nenek mulai membalikan badan lima detik setelahnya padaku.
"Tapi akan kuberikan satu pot bunga untukmu." tambahku seraya membawakan lavender ini ke hadapannya. Raut suka cita terpancar dari wajah nenek seketika itu pula. "Benarkah?" yakinnya lagi padaku. Sambil mengangguk. "Tentu saja, memangnya untuk apa bunga ini?" tanyaku ketika nenek mulai menggeser bunga ini.
Dia menjelaskan bahwa itu dapat berfungsi sebagai pengusir nyamuk alami, penstabil emosi, meringankan gejala masuk angin serta obat luka ringan. Kukira hanya sebagai tanaman hias saja. Sebelum pergi, aku berlari kecil menuju laci dekat kasir, memberikan kartu VIP padanya.
"Tunjukan benda ini pada karyawanku, maka anda dapat menikmati minuman tanpa susah payah mengantri," jelasku ketika ia sampai di daun pintu.
Nenek tampak tersenyum. "Kau anak baik," katanya, sambil mengelus puncak kepalaku dengan hati-hati.
Deg! Perasaan apa ini? Nenek sepertinya bukan orang sembarangan, cara beliau berkomunikasi dan penampilannya yang stunning tidak seperti orang tua kebanyakan. Mataku tiba-tiba memanas hingga tanpa sadar berkaca-kaca dengan memprihatinkan. Nenek sontak menurunkan telapak tangannya kebawah.
"Apa kau tidak menyukainya?" tanyanya dengan raut khawatir.
Aku buru-buru membenarkan mimik wajah. Melempar senyum semeyakinkan mungkin kedalam matanya. "Aku menyukainya nek, sering-sering berkunjung ya." Beliau menepuk pelan bahuku dua kali, sebelum melabaikan tangan dari seberang jalan.
Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Paradise Falls cenderung lebih ramai pada akhir pekan, tapi tidak dengan sekarang. Air hujan mulai membasahi pavinblok tanpa terduga sebelumnya, hingga berimbas pada jumlah pengunjung yang datang sepi. "Seperti biasa, jemput aku!"
Sambil mengambil payung hitam di sudut pintu, aku melirik sedetik ke belakang guna menemukan adikku yang kebingungan."Dimana?" balasnya datar, seakan ingin menegaskan bahwa Laura tidak pernah menyukai aku pergi ke tempat semacam itu.
"Dimana lagi..." lirihku ketika memutar tubuh keluar ruangan percaya diri dengan setelan ini. Menerobos hujan gerimis dengan pakaian minim cukup membuat risih awalnya. Namun kegelisahan berkurang ketika taksi yang kupesan datang dalam waktu yang terbilang singkat.
Kendaraan beroda empat online ini telah melaju, namun pikiranku tetap tertinggal pada waktu nenek membelaiku dengan ketenangannya siang tadi. Melankolis sekali hidupku astaga. Hati pun bergemuruh hanya karena tindakan sepele tersebut.
Dua puluh menit berselang aku telah menjejakkan heels berjenis boots ini di lobby kelab. duduk dengan tenang diantara kursi bar hingga datanglah pegawai dengan name tag bernama Renata. "Anda sudah datang lagi rupanya..." ramahnya, ketika mengambil minuman dari bartender pria di belakang sini.
Mendadak tertawa singkat. "Ya begitulah, apa ada ruangan kosong?" tanyaku kemudian. "Ruangan enam. Akan ku bawakan empat botol nanti." Renata merespon santai, sebelum melenggang mengantarkan cocktail menuju meja yang berada di sisi utara.
Sepertinya wanita itu berhasil mengenali kebiasaan rutin ini, Dan aku meghembuskan napas kasar ketika menikmati alunan EDM yang begitu tajam menyapa indra pendengaran. Pergerakan orang-orang dari lantai dansa membuat daguku naik turun ikut terbawa suasana.
Secara tiba-tiba ada suara bass pria dewasa yang terdengar. "Mau ditemani cantik?"Aku melihat ke sisi belakang beberapa kali, karena tidak ada wanita lain di meja bar ini. Dengan menatap, pria ini sepertinya tidak asing, apalagi gelang hitam bandul phoenix yang terlihat familiar. Pernah lihat di mana yah?
"Tidak, pacarku akan datang," jawabku singkat.
Tatapannya menjijikkan, di ikuti jilatan singkat di sudut bibir, lantas seakan mendeteksi tubuhku dari atas kepala hingga ujung sepatu—berhasil membuatku bergidik ngeri. Astaga! Sebetulnya tidak asing jika kau pergi ketempat seperti ini bertemu pria jelalatan. Hanya saja, sudahlah.
Aku segera mengundurkan diri dari kursi, melihat Renata memberikan aba-aba dari seberang sana. "Masuk!" Ia mengisyaratkan padaku melalui ibu jarinya, menuju ruangan kosong yang dimaksud tadi. Kutinggalkan pria yang baru saja menyapa.
Sayup-sayup terdengar ucapan, 'baik bos! Sudah ditemukan' darinya ketika aku menjauh. "Sebaiknya anda berhati hati, seseorang mengawasi." Renata berbicara dengan nada menegangkan, kemudian menaruh beberapa botol minuman ke atas meja.
Aku hanya meresponnya dengan acungan jempol dan wanita cantik berambut curly itu meninggalkan ruangan. Bagaimana mungkin? Aku yang sehari-harinya menghabiskan waktu di kedai, jika keluar pun itu hanya di ruangan kosong seperti ini—bisa diawasi orang asing?
Jangan bergurau. Selain si Hendery dan Hito-ku yang dikenal sejak bersekolah menengah atas di Jakarta dulu, tidak ada pria lain lagi yang singgah. Itu faktanya. "Kalian pergi terlalu cepat! Bahkan sebelum memberikan larangan pergi ke tempat seperti ini."
Bayangan tentang wajah kedua orangtuaku, tampak membias diantara botol-botol kaca. Masih tercipta, riangnya saat pertama kali kita berkunjung ke Disneyland; ayah membelikan gula-gula kapas raksasa sementara ibu sibuk memegang boneka unicorn, yang dimenangkan nya dari permainan menembak.
Aku rindu sekali.
Dahiku tiba-tiba memanas, dengan pedih di balik tulang rusuk yang mendorong air mataku menetes perlahan. Aku terisak saat melihat semuanya berantakan. Maksudku mengapa hidup ini begitu memuakkan huh? Aku meremat jari-jari sebagai bentuk kemarahan pada dunia. Lagipula tidak mungkin menangis dihadapan Laura.
Dia hanya mengetahui, bahwa aku menghabiskan waktu dilantai dansa. Menari di bawah gemerlapnya lampu disko, hingga kelelahan dan tidur di ruangan seperti ini. Keinginanku untuk menenggak alkohol semakin besar. Orang-orang bilang efek yang di kirimkan cairan ini adalah kehangatan yang membuat pikiranmu ringan.
Namun sulit, keberanian yang kumiliki belum sampai kesana. Jika beberapa waktu ke belakang aku berhasil membuka botolnya dengan ragu. Maka sekarang, telah sampai difase menuangkannya kedalam gelas. Mataku berkedip dengan teratur ketika memegang seloki.
Cairan bening dengan sedikit aroma buah ceri ini benar-benar unik. "Ayolah Kamila ini mudah kok..." batinku. Aku menghirup baunya yang menyengat, tanganku mendorong gelas ini semakin mendekat—menuju mulutku yang tertahan oleh ketakutan entah apa itu. Astaga!
Aku tidak akan berubah menjadi cumi-cumi kan jika meminumnya?
Bersambung....