"Aku akan menikahimu," Hito berkata demikian, sambil menyerahkan kubus warna beludru merah, dengan isi sebuah cincin berbatu berlian hijau di dalamnya. "Ini milik ibuku. Beliau menyuruh untuk memberikannya, pada orang yang aku cintai kelak..." tambah parau lagi suaranya kala itu.
Hito lantas membawa pundak ini mendekat, mencium keningku kelewat dalam sambil berujar berat, "Aku harus pergi Mila, kita akan sering berhubungan nanti. Kau tahu kan? Ini bukan akhir, sekalipun kita terpisah, hatiku tidak akan berubah. Begitu pun cincin ini, aku ingin kau menjaganya hingga saatnya tiba."
Mataku seketika memejam, menahan tangis yang mungkin akan pecah dalam waktu dekat. Semakin mengeratkan tangan pada pria berjas biru dongker tersebut, tatkala ketegaran yang di pupuk begitu banyak seminggu terakhir—sirna begitu saja.
Berganti dengan tangis pilu, sebab harus melepasnya jauh ke California. "Tidak bisakah di ambilnya tahun depan saja huh?" Aku masih berharap ia akan berubah pikiran, sementara Hito perlahan meregangkan pelukan di antara kami. Kumohon, bukan seperti itu yang aku inginkan.
Aduh, rasanya hampa, saat mengingat kejadian empat tahun lalu itu. Hito bahkan melarangku untuk menemuinya di bandara untuk yang terakhir kali, karena waktunya memang bertepatan, dengan aku yang akan sidang skripsi.
Kemana sebenarnya kau Hito?
Diawal-awal semester dia rutin mengontak via WhatsApp, email maupun Skype. Tapi memasuki tahun kedua dan seterusnya hingga sekarang, dia menghilang—tidak memberikan kabar sepeser pun. Ahh... Aku juga lupa menanyakan hal penting pada Jayden semalam.
Karena setibanya di minimarket, menepi dengan masing-masing ice cream serta mie instan panas di meja yang disediakan. Selang sepuluh menit kemudian—Jayden langsung mengajakku pulang, dengan tambahan 'dilarang banyak bertanya dan lekaslah tidur.'
"Jadi bagaimana penampilanku?" Laura bertanya, ketika diriku sibuk menentang pemandangan jalanan. Deret antar gedung, dengan matahari yang belum terlalu terik, seakan menghipnotis siapa saja untuk meneruskan lamunan. Mataku masih mengerjap singkat saat bersuara, "Bagus!"
Adikku sontak membalas cepat, "Kau mengatakan hal yang sama juga, pada tiga baju sebelumnya!" protesnya itu membuatku berbalik badan, agar bisa memperhatikan lebih jauh. Lagipula, kenapa hari ini Laura kelihatan rapi sekali?
Tidak biasanya, wanita pemilik sorot galak ini merepotkan penampilan. Setahuku Laura adalah pribadi yang masa bodoh tentang itu, dia juga cenderung tidak memikirkan apa kata orang dan kembali lagi, bukankah kadar bagus tidaknya 'itu' tergantung kepercayaan diri pemakainya?
"Hari ini Jeffrey mau dateng lho kak," sahut Laura beriringan mengusapkan lotion, beraroma aloe vera pada punggung tangan dan kakinya. Wanita dalam setelan highwaist putih, serta blouse cantik warna fanta tersebut bahkan menambahkan dengan bergairah, jika mereka telah bertukar nomor telepon.
Jeffrey juga beberapa kali berkunjung kesini, ketika aku tidak ada di tempat. Baiklah itu lumayan mengherankan. "Bersiaplah buat opening pagi, soalnya anak-anak udah pada stay di bawah!" Laura berseru dengan antusias sebelum keluar kamar.
Jujur sejak mataku terbuka pagi ini, tubuhku terguyur rasa malas untuk bekerja. Terlebih, ketika habis berbelanja dari toko buku tempo hari. Aku kembali menuju tempat tidur, membuka tote bag hitam berisi 6 buku baru, yang masih bersegel di bawah nakas.
Kepalaku semakin tertarik mengobrak-abrik fiksi best seller, maupun underrated yang menurutku sinopsisnya menarik. Ngomong-ngomong, hal itulah yang selalu menyulut antusiasme diriku sampai ke titik puncak, jika sudah membaca—aku selalu tenggelam dalam buai diksinya.
Jadi lupa waktu deh! Meskipun sang surya semakin naik ke angkasa, rasa-rasanya aku tak ingin beranjak dari tempat tidur. Hingga ponselku yang ada di dekat paha, tiba-tiba saja menginterupsi, isinya ternyata pesan singkat dari Laura. Mengatakan, "Bisakah kau membawakan whip cream? Di bawah habis..."
Spontan hal itu memaksaku beranjak, pun meninggalkan novel tipis berjudul The Chronicles Of Future, menceritakan tentang seseorang yang pergi ke masa depan, kemudian memasuki raga manusia pada era tersebut. Sedangkan tubuhnya yang asli, tengah terbaring dalam komanya di masa sekarang.
Itu sungguh menarik untuk di telaah lebih jauh, hanya saja yang ini versi bajakan. Beberapa cetakannya blur dan halamannya tidak lengkap, hingga hanya sebagian alur saja yang tertangkap. Langsung saja, aku segera menuruni anak tangga dalam setelan piyama kuning berbintang, serta celana santai berwarna ungu cerah.
Kutaruh sekotak whip cream tersebut, hingga suara hentaknya terdengar di atas meja. Adikku memang sedang menunduk dan menakar biji kopi sekarang namun, dia seketika terperanjat saat berpapasan denganku. "Astaga kak! Kenapa keluar dengan gaya seperti itu?" herannya.
"Lho kenapa memangnya hah? Ini masih di rumah. Apa masalahnya? Lagian aku sudah tahu, kalau kecantikanku ini selalu tumpah-ruah, dalam paduan gaya apapun!" cerocosku tidak terima, dan pura-pura terlihat angkuh.
Laura bergidik ngeri, sambil membentangkan cermin bulat dari bawah laci.
"Lihatlah!" pinta Laura, menciptakan aku tersenyum lebar saat berhadapan dengan cermin. Muka glowing, kusut, kusam, serta rambut seperti tersambar petir. Oke, kuakui sedikit berantakan, namun tidak apa-apa. Lima belas detik berselang, aku percaya diri berjalan dengan tangan yang di taruh di perpotongan pinggang.
Masa-bodoh dengan tatapan para pelanggan yang sedang mengantri, aku hendak kembali ke lantai dua. Namun atensiku seketika teralihkan, saat tidak sengaja menengok samar ke sisi kanan. Ada dua pria yang duduk di seberang tangga, dekat etalase kaca yang juga menatapku.
Mulut mereka menganga, serta mata yang terbelalak seakan perputaran dunia yang mereka singgahi berhenti. "Jayden... Jeffrey..." lirihku. Sejak kapan mereka disini?
Tawa mereka nyaris meledak secara spontan. Namun saat kami bertiga berpapasan, mereka membuang muka lalu berpura-pura menikmati kopi kembali. Terlihat juga kaki Jay yang berada di balik meja, bergerak ke atas bawah lantai dengan gemasnya.
Detik itu pula aku tersadar, penampilanku? yang benar saja, ingin sekali rasanya menghilang dari Indonesia dan terbang ke Antartika guna menyepi bersama sekumpulan pinguin. Ini memalukan! Aku menggeleng dan berlari gesit menuju lantai dua, menutup pintu dengan tergesa.
Dapat kurasakan pipiku memanas oleh rasa malu. Arggh tidak! Harus ditaruh dimana wajahku nanti, aku menatap kearah sandal berbulu rasfur, yang berhiaskan kepala kelinci berwarna gradasi ungu sebelum terdengarlah—ketukan pintu sekarang. Akan aku abaikan saja.
Sialnya, ketukan itu semakin jelas. Jantungku berdebar apakah ini Jeffrey atau Jayden? Rasanya rasa malu ini semakin menyiksa, aduh! Kutarik napas panjang ketika memutar gagang pintu, klap... "Ada apa yah?" Aku bertanya ragu, ketika sebagian pintu telah terbuka.
Deg!
"Kak Laura membutuhkan kertas filter kopi," katanya denga intonasi yang terdengar sungkan.
Fyuh, ternyata itu adalah Zaky si pegawai baru. Aku mengambil sebelum menyerahkanya. "Nih! Bilangin sekalian ke Laura, kalau kurang sesuatu langsung datang saja! Soalnya aku mau mandi," kataku padanya sebelum ia pergi.
Tiga puluh menit kemudian. Tubuhku terasa lebih segar serta beraroma semerbak sabun mandi cair mawar. Karena merasa lapar, akupun pergi membuat omelette dan jus buah semangka untuk melakukan brunch.
*Istilah yang digunakan saat Anda makan di antara waktu sarapan dan makan siang.*
Aku sudah siap membantu Laura sekarang. Kubawa tubuhku dengan sumringah menuju daun pintu, seraya membayangkan akan meracik puluhan gelas kopi, dalam waktu singkat untuk para pelanggan. Memutar kenop-nya dengan mantap, hingga detik itu pula kurasa arwahku telah mengundurkan diri.
"Astaga bikin kaget saja!" Kutarik napas kasar, menata kembali detak jantung lanjut—berhitung dengan mata memejam. "Satu... dua... tiga," Aku mengusap-usap dada dengan prihatin, sebelum melemparkan tatapan setajam pisau cutter pada pria di depan.
Jayden lantas menaruh lengan kirinya diantara pintu, sampai terdengar bunyi 'plak' berkat berbenturan dengan kusen pintu. Kornea bulat namun sipitnya, malah menyiratkan ketidaksenangan—di saat seharusnya aku yang begitu marah. "Kenapa kau berhitung tadi?" tanya Jayden.
Bersambung...