KRIUK-KRIUK..
"Kau lapar ya, Mil?" Jayden bertanya di depan bibirku dari jarak yang teramat dekat, lebih cepat dirinya menjauhkan raga dari tubuhku. Ya ampun, mengapa perut ini harus berteriak minta makan di situasi seperti ini, memalukan saja, jiwaku langsung di bombardir kerikuhan tiada tara sejak Jayden melebarkan senyumnya dari meja seberang.
"Ketawa saja terus sampai gigimu kering Jay!" Pria dengan rangkaian gelang dari benang dan kulit sintetis di lengannya itu kemudian mengedikkan bahu culas dan berkata, "Tanpa kau menyuruh pun, aku akan melakukannya Kamila..." Ia mendekat. "Pas sekali!" imbuhnya berjalan melihat daun pintu dan senyumku ikut merekah pada akhirnya.
"Makanan dataaang!" Laura berseru dengan riang membawa kantung kresek putih dikedua tangannya. Wah! aku juga melihat Jeffrey menenteng belanjaan lain yang tidak kalah beratnya.
Mataku menyipit itu isinya adalah ayam goreng, soda dan beragam snacks, lezatnya, kami berkumpul. Menata semuanya diatas meja kayu panjang dengan antusias lantas berkata. "CHEERS..." Menyatukan minuman kaleng masing-masing di udara hingga berbunyi khas sekali.
Canda tawa mengawali acara makan malam yang indah ini. Kami menghabiskan semua kudapan yang tersedia hingga sendawaan dari Jayden. Membuat suasana makin ramai, lampu ruangan yang mendirus tiap presensi membuat hatiku menghangat. Mereka tertawa lepas.
***
Pada jam sebelas tadi, Jayden dan Jeffrey pulang. Rona bahagia tampak tidak absen dari wajah Laura semenjak ia mencuci muka, sikat gigi dan beranjak dari pintu kamar mandi. Aku memutar badan yang sudah berpiyama satin abu tua.
"Kau bahagia hari ini?" Aku menggeserkan bantal dan menopang kepala ketika bertanya itu kearahnya. Laura yang sedang menepuk-nepuk serum di wajahnya itu—akhirnya berjalan pelan menuju ranjang lalu membalas jika tadi.
"Biasa aja tuh... kakak membuatku khawatir awalnya. Namun, sejak tadi kita berempat makan bersama, aku kira aku cukup berbahagia dan jangan lagi mengkonsumsi obat tidur awas!" Tutupnya dengan senyuman lembut padaku sebelum menutup matanya pelan. Wanita di ranjang samping itu telah menjemput alam mimpinya beberapa menit lalu.
Sementara ragaku masih menguraikan napas dan melentangkan badan menatap langit-langit yang berwarna putih gading. Bertanya: apakah aku bisa berdamai dengan kenyataan dan mengabulkan permintaan Laura? Aku belum sanggup menjawabnya, Aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa berhenti atau tidak dari kebiasaan yang satu ini.
***
Menjelang pukul tujuh pagi, aku sudah bersiap untuk pergi ke toserba yang ada beberapa blok di di depan kedai. "Kamu mau titip sesuatu gak Lau?" tanyaku ketika melewati Laura yang sedang menyapu di lantai dasar. Adikku tampak menghentikan aktifitasnya dan berfikir.
"Aku ingin persediaan mie instan kita ditambah, berbagai varian kalo perlu," Laura terkekeh. Melanjutkan kegiatan mengusir debu sampai ke daun pintu dengan tangan kirinya memegang pengki.
"Selain pasta gigi, deterjen, dan sabun pencuci piring. Kulkas kita benar-benar kehabisan stok makanan untuk dimasak kak..." Tambahnya lagi diiringi gemersak sampah yang dimasukkan ke dalam tong. Aku juga mengetahui hal itu, sebab sebelum turun aku telah mengeceknya tadi.
"Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu!" Pamitku, wanita dengan setelan jeans hitam dan kaus bergaris itu mengangguk, berlalu ke dalam dan mempersiapkan opening sesuai pembagian tugas kami kali ini.
Biasanya Laura yang sering pergi, tapi aku bersemangat untuk ke toserba sekarang, menapaki trotoar hingga akhirnya tiba di tempat tersebut. Aku langsung menggeret keranjang merah yang ada di dekat pintu. Aku melintasi blok tempat sayuran segar dan mengambil beberapa kebutuhan dari sana.
***
"Semua barang telah kubeli semua..." Aku bergumam dan menengok plastik besar yang ada di genggaman. Ini menyenangkan, maksudku aku sudah lama tidak keluar untuk berbelanja, udara di Senin pagi yang bertepatan dengan hari libur nasional ini benar-benar menenangkan. Hingga,
Brugh!
Pria yang tengah berjoging dengan setelan kolor dongker dengan hoodie fila warna hitam menabrakku dari sisi kanan. Tubuhku terlonjak ke depan dan salah satu plastik belanjaan sobek hingga apel dan jeruk tersebut berjatuhan.
"Astaga! Maaf aku tidak sengaja..." katanya seraya membantuku memungut buah tersebut.
"Tidak apa-apa," jawabku ketika memasukan satu buah terakhir kedalam kresek. Aku mendongakkan kepala agar melihatnya sekilas, akan tetapi dia memalingkan wajahnya dan kembali berlari. Tanpa berfikir panjang aku segera berjalan dan masuk kedalam kedai.
"Aku ke atas dulu Lau, menata sayuran di kulkas agar tidak cepat membusuk," kataku ketika Nina sibuk didepan mesin kopi. "Okey!" adikku menyahut.
Sepertinya aku mengenali bentuk badan pria tadi, entahlah, mana mungkin itu adalah Dito, Lagipula pria yang memakai parfum beraroma pinus dengan tinggi sekitar 179 Senti kan banyak d idunia ini, mana bisa aku berfikir sampai melantur seperti itu.
"Segeralah pulang jika ada jatah libur, ingat jangan sebarkan senyum indahmu ini pada bule-bule di sana..." Aku berdialog dengan Hito Anggara yang seakan tengah menatapku dengan hangatnya dari foto yang ada didalam dompet ini.
Zaky dan Putru sepertinya telah sampai beberapa jam lalu. Antrian kendaraan beberapa ojek online juga mulai berdatangan di antara para pelanggan yang tengah beristirahat makan siang ini. Aku pergi ke bawah setelah mencuci baju dan menjemurnya di balkon barusan. Kesibukan yang sebenarnya telah dimulai.
"Antarkan ini ke meja nomer enam kak..." Laura menyuruhku setibanya di sini. Aku segera bergerak setelah memastikan dan menuju ke sana hingga tarikan senyum di wajahku mendatar seketika. "Kenapa kalian selalu datang sih?" ketusku menyorongkan dua gelas kopi V60 rasa red honey.
"Bukannya itu bagus, kau jadi punya pelanggan tetap baru lho..." Jeffrey melontarkan pembelaan atas tindakannya dengan kekehan bangga. Aku memutar bola mata langsung mendorong gelas lain kepada Jay. Dia menurunkan ponselnya sejenak, lalu melihat minuman yang tersaji di depannya.
"Ini bukan yang kemarin, di mana cold brewnya?" Jay bertanya melalui suara rendah, memiringkan ponsel dan terlihat sedang memainkan game peperangan di benda pintar tersebut. Aduh melihatnya menunduk seperti itu hingga rambutnya menurun dengan lembut membuat hatiku berdesir.
Adegan tatap-tatapan dan caranya mengalihkan dunia membuat pemikiranku berjelajah. "Buatkan minumanku sekarang juga." Dengan tatapan yang masih fokus pada permainan, Jayden dengan mudahnya kembali berpesan.
Astaga, haruskah aku celupkan saja tubuhnya ke dalam kuali lantas membongkar isi kepalanya? Jayden selalu membuatku jengkel, dia merepotkan seperti ingus. "Kalau begitu, saya akan mengambil kembali minuman anda."
Aku mengeloyorkan sebelah lengan dan merampas gelas itu namun plak! Tanganku ditepuk lebih dulu karena Jayden bersitegang tidak ingin kopinya diambil lagi. Terserahlah!
Jeffrey tiba-tiba saja berdiri. Pria dalam oblong hitam dengan sablonan huruf warna-warni di dadanya itu tampak tidak nyaman, dan melihat sekeliling penuh keraguan kemudian berseru. "Aku ingin ke kamar mandi," kata Jeffrey.
Aku yang mendengarnya, langsung menyelidik toilet di lantai satu yang ternyata sama mengantrinya. Maka tanpa menaruh rasa canggung sedikitpun, aku menyuruhnya mengikuti guna memakai ruang atas saja. Aku melangkahkan kaki lebih dulu. "Kamar mandi di sebelah sa—"
Baru saja lenganku menunjukkan sebuah pintu berwarna biru muda di depan sana, bingkai kayu di belakang telah ditutup secara sembrono oleh Jeffrey hingga debuman tegasnya sangat jelas terdengar. "Bisakah kita bicara?" tanyanya setelah memutar kunci.
Aku membuang napas panjang, berjalan pelan dan melangkah menuju meja makan sebagai bentuk persetujuan. Aku duduk dan ia menyusul tiga detik setelahnya. Jeffrey menatapku dengan raut muka kelimpungan, tangannya bahkan terlihat beberapa kali mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan tidak sabaran.
"Silahkan saja," tegang sekali caraku meresponnya.
"Ini sedikit lancang memang, tapi bisakah kau terus membuat Jayden berada di dekatmu?" Woah! Apa-apaan ini rasanya ungkapan Jeffrey barusan bagaikan kembang api yang meletup di wajah secara tiba-tiba. Bagiku ini lucu, hingga pada akhirnya, menghentikan tawaku ketika Jeffrey memasang wajah serius di sana. Ini tidak masuk akal.
"Kenapa aku harus mendekati pria asing?" Jeffrey mengerti kemana maksud pembicaraanku, asing adalah kata lain yang menggambarkan diri Jayden. Okey mengenai ia yang kerap membantuku adalah pengecualian, sebagai sesama manusia aku menghargainya, hanya saja permintaan Jeffrey begitu memusingkan.
"Kamila, dia sedang kesulitan saat ini. Jayden terjebak toxic relationship dengan kekasihnya." Aku mengulum bibir kedalam. Melamat kata-kata yang terlontar begitu saja dari pria di depanku. Kekagetan tidak mampu kusembunyikan lagi, Mau tidak mau, harus menelan fakta baru, bahwa selama ini... Jayden telah memiliki kekasih.