Chereads / JAYDEN, JANGAN MEMBUATKU KELIRU / Chapter 22 - How To Persuade Someone?

Chapter 22 - How To Persuade Someone?

Terkadang aku tidak memahami Laura—beberapa hari ke belakang sikapnya membuatku jadi berfikir dua kali. Adikku yang satu ini selalu marah-marah pada hal sepele, contohnya saat kita pulang jalan-jalan singkat dari Trans Studio malam kemarin.

Dia menyalahkan hantu yang ada di wahana tersebut kenapa seram sekali? Biasanya juga tidak begitu katanya. Lantas Laura protes kenapa cilok sangat kenyal saat dimakan, dan rasa gurih-pedas kuahnya membuat dia semakin kesal.

Meskipun pada kenyataannya—dia telah menghabiskan dua porsi, dengan ektra perasaan jeruk limau dan sambal tentunya. Aduh aku tidak tahu harus menjelaskan apa di sana. Dia selalu berkata tidak apa-apa, di saat gestur dan raut wajahnya justru menampilkan reaksi sebaliknya.

Satu yang perlu diketahui, aku itu bukan madam sang peramal nasib. Yang dimana, jika aku memutar-mutar kan lengan di atas bola dengan dalamnya berkilat lampu statis saja; akan langsung mengetahui isi hati orang. "Bicara padaku jika ada sesuatu hmm?" Aku membujuknya lagi.

Mataku mengikuti wanita yang memakai blouse magenta model kerut itu, saat berjongkok didekat kompor guna membereskan sesuatu, "Tidak ada apa-apa, sudah kubilang kan!" responnya barusan malah terdengar seperti bentakan di telingaku.

Laura bangkit berdiri, lengkap dengan satu plastik besar berisi sampah rumah tangga. Aku berjalan mendekati, selagi bibirnya masih setia mengerucut dengan lugunya. Kemudian mengambil alih benda itu pelan. "Biar aku yang membuangnya, sekalian turun kebawah," kataku setelah Laura melepas pegangan pada plastik hitam ini.

Laura terdiam sejenak sebelum mengangkat kakinya mendekati kulkas, tampak mengambil susu UHT dingin kemudian meraih gelas yang ada di laci atas sana. Aku menyunggingkan senyum tipis. "Kita pergi ke Bakso Akung yuuk..."

Mengajaknya mencari makan keluar apalagi kalau mood sedang amburadul, sepertinya bukan ide yang buruk. Tatapan Laura seketika meluluh. "Yang pedas pake ceker?" tanyanya dengan intonasi yang lebih bersahabat, setelah menjauhkan cangkir dari mulutnya.

"Iyap betul!" Aku berseru dengan lantang ketika sampai di undakan terakhir anak tangga. Melewati Putri yang sekilas, tampak sibuk menaruh ekstraksi kopi kebeberapa gelas plastik di depannya, sementara Zaky yang mencatat pesanan dari meja satu ke meja lainnya.

Puluhan detik berselang aku sampai di depan tong sampah.

Debu maupun tanah kering yang baru saja tersiram sedikit gerimis di atas pavinblok ini, memang selalu menimbulkan bau khas. Aku menarik napas panjang—melambungkan jauh pandangan ke lampu lalu lintas, yang sedang berkedip dari merah berganti hijau disana. Teringat sesuatu? Entahlah.

"Sebelumnya aku minta maaf karena mengabaikan pesan, hingga luput mengabarimu Lau..."

Hah, ada apa ini?

Spontan menoleh ke belakang dan menemukan punggung Jeffrey yang sedang memblokir langkah Adikku. Beberapa kali Laura tampak tidak senang, hingga percakapan pelan terjadi diantara keduanya—entah apa yang mereka bicarakan. tapi yang jelas, sekarang aku tahu Laura kenapa.

Hingga pria bersetelan abu tua halus tersebut, tiba-tiba melebarkan langkahnya ke arahku. Membuatku terang-terangan memasang wajah heran padanya sekarang.Tidak ada teori sedikitpun, secara mengejutkan Jeffrey menyatukan dengkulnya dengan pavinblok dalam waktu singkat.

Menghadapku seraya berkata, "Bantulah dia, kumohon hanya kau orangnya..." suaranya menyiratkan keputusasaan. Adikku juga tampak tidak terkejut, lantas mencoba menuntun diri Jeffrey untuk bangkit.

"Berdiri Jeff..." lirihnya penuh permohonan, tatkala kepala pria ini malah menunduk dengan lesu. Jeffrey kemudian menepis lembut lengan Laura, yang ada di samping bahu atasnya sebagai bentuk reaksi.

"Kita sudah membicarakan ini sebelumnya, dan keputusanku sudah bulat bah—" balasanku terpotong seketika.

"Perusahaan mengalami defisit, proyek terbengkalai dengan mengerikan. Sebab beberapa kewenangan memang sudah diluar kemampuanku sebagai pemimpin divisi..." Tangannya yang di taruh di kedua paha terlihat resah.

Seolah semua beban dunia memang ditimpakan tanpa ampun diatas pundaknya yang bergetar; Jeffrey bersedia berlutut demi Jayden? Woah.

Dari ekor mata, Laura terlihat hanyut dalam pandangannya. Ia menitikan bulir asin disertai isakan yang berusaha dia redam dengan menutup mulutnya oleh telapak tangan, berkat melihat pria di depanku yang membujuk seperti ini.

"Aku tidak tahu harus melakukan apa..." lirihku padanya. Aku bukan tipikal orang yang tega-an sebenarnya. Hanya melihat dampak pada Kelvin hingga separah ini—aku memaksakan diri, walaupun tidak yakin jawabanku akan membantu pria tersebut.

Jeffrey berdiri perlahan, sedangkan di kepalaku otomatis terbayang visual kekasih Jayden yang namanya Luna-Luna itu kalau tidak salah. Serius bertanya dalam hati, "Memangnya harus bagaimana memisahkan pria yang sudah terobsesi dengan wanitanya?"

Kalau diberi semprotan anti serangga, kemudian di jebloskan kedalam gentong ajaib mak lampir—sepertinya tidak akan berhasil menurutku. "Setidaknya lihatlah dia dahulu." Jeffrey membubarkan lamunanku, dengan usulannya barusan.

Aku tidak punya pilihan lain selain, "Baiklah kalau begitu akan kuusahakan..." Dia mengangguk setelah menghembuskan napas panjangnya, terlihat lega. Laura mengajukan diri untuk ikut serta. Maka tanpa berlama-lama lagi Jeffrey langsung menggiring kami menuju kendaraannya.

Aku bahkan heran mengapa tiap tergesa-gesa 'orang' selalu memarkirkan mobilnya diluar area parkiran. Jeffrey telah melepas jas beratnya, lantas menyampirkannya di kursi kemudi. "Tunggu!" Aku berseru ketika duduk di kursi belakang serta bersiap memasang seatbelt. "Kita akan kemana memangnya?"

Aku bertanya saat Laura telah tiba dan mobil mulai melaju pelan sebab kendaraan agak ramai di depan. Jeffrey senantiasa memfokuskan penglihatannya ke arah jalan raya, demi keselamatan kita semua. "Pergi ke sekitaran Pasir Kaliki," sahut pria yang berada di balik kemudi itu.

Isi otakku langsung berpencar kemana-mana, maksudnya Jayden sedang makan di Paskal Food Market apa bagaimana? di sana banyak restoran hits serta hotel yang bagus lho. Eh bukan deh sepertinya. Seraya memutar roda kemudi kearah kanan ia akhirnya menambahkan bahwa tujuannya adalah kelab.

Kendaraan mulai dipacu lebih cepat, setelah Jeffrey melihat ponselnya sekilas. "KELAB?" Aku dan Laura yang sedang adem-ayem bernapas saja sampai terkejut.

"Iya pria tidak bertanggung jawab itu di sana, sejak dua malam kemarin," Jeffrey menuturkan.

Ia kesulitan menjemput Jayden sebab urusan kantornya sedang mendesak. Awalnya dia kira mampu mengatasinya sendiri, tapi semakin dipaksakan—kepalanya seperti dijadikan samsak tinju oleh tumpukan berkas yang mengantri dan beberapa masalah di kalangan karyawan, tidak henti-hentinya membuat keningnya berkerut.

Jeffrey terus memacu mobil, membelah padatnya jalanan. Kurasa Jayden dan aku memiliki kesamaan. Menjadikan kelab sebagai sasaran kepenatan ataupun hiburan ditengah dilematisnya kehidupan. Bedanya jika aku hanya berdiam diri, Jayden sepertinya tidak demikian.

Hah!

Jeffrey mengusap wajahnya yang seakan telah berkabut oleh ribuan kekhawatiran. "Kurasa dia mengikuti saran Luna waktu itu," jelasnya. Dia melihat sekeliling sebelum memberhentikan mobilnya di tempat yang seharusnya. Saran dari Luna maksudnya apa?

Jeffrey tidak menepis pendapatku seperti waktu itu, dirinya memilih diam. Kita disambut oleh kerasnya lantunan musik. DJ yang berasal dari negara Paman Sam itu tengah berpentas ria, berkat bagian drop terputar begitu menggelora.

Sepertinya akan sulit mencari Jayden di lantai dasar ditengah geliat manusia seramai ini.

"Mari coba dari lantai atas dulu!" Laura berseru di tengah kebisingan, kami sepakat akan hal itu, terdengar lebih masuk akal ketimbang membalik tubuh satu persatu dari ratusan pribadi yang sedang bersenang-senang di lantai dansa ini. Pencarian dimulai.

Lima belas menit berlalu Jeffrey dan Laura yang menyisir ruang B, tidak kunjung menemukan Nathan. Aku yang seliweran menyambangi kerumunan pun mulai menyerah. Dia tidak ada di lantai atas. Aku langsung menuju pagar besi berkilat, yang menyajikan panorama lebih luas ke lantai satu.

Menajamkan penglihatan seperti elang, ke berbagai penjuru. Ya ampun, ini tidaklah mudah. Hingga beberapa saat kemudian, samar namun begitu tidak asing menurutku itu! Pria di arah jam 8, iya di samping kiri meja bar mungkinkah?

"AKU MENEMUKANNYA."

Sambil melambai-lambaikan tangan ke udara memberitahu. Mereka memberhentikan pencariannya dan berjalan ke arahku memastikan pria yang ditemukan itu merupakan buronan yang sedang kita cari. "Ya, kau benar." Jeffrey menyahut dari sampingku.

Kami memperhatikan salah seorang pria, berkaus putih lengkap dengan jaket kulit hitam dibawah sana—sibuk menenggak minuman dengan rakusnya. Itukah proses penghancuran dirinya? Menganti cc demi cc sel darah merahnya dengan larutan pahit memabukkan itu.

Hah! Dasar tidak waras.

Akhirnya kubilang pada Jeffrey. Jika dalam kurun waktu kurang dari sejam Jayden tetap menolak pergi, dia harus mencari orang lain untuk menyeretnya paksa. Hanya itu langkah terakhir, ya ampun! Kenapa tangga ini jaraknya terasa sangat pendek?

Aku masih berfikir bagaimana caranya membujuk pria itu, ketika melewati meja bar dan beberapa kerumunan hingga sampailah beberapa meter di depan mejanya Jayden. "Habiskan satu botol lagi ya sayang..." kata seorang wanita berpakaian loreng minimalis, sedang nyaman duduk menyamping di paha padat Jayden.

Astaga! Pria itu bahkan menyeringai nakal, sebelum menyambut seloki yang telah terisi penuh tersebut. Ayolah Kamila! Ini mudah, cukup bawa pria kulkas itu pergi dan hutangmu lunas. Aku dan Jayden tidak perlu harus bertemu lagi, setelah ini terselesaikan.

Oke! Aku membuang napas sepanjang mungkin lebih dulu sebelum melangkah. Eh, wanita tidak sehat itu malah lebih sering menuangkan minuman. Aku melipat lengan kemejaku dengan sebal, ia memang sengaja membuat Jayden mabuk sepertinya.

Satu botol telah sirna dalam hitungan menit. "Dia milikku menyingkirlah!" suaraku menegas di ikuti hentakan keras pada meja. Bukan hanya wanita penghibur itu yang terjingkat, tapi Jayden juga ikutan mengerjap pelan ketika manik kami berserobok ia bereaksi, "Kamila?"

Bersambung...