Chereads / JAYDEN, JANGAN MEMBUATKU KELIRU / Chapter 23 - He Is My Loyal Customer

Chapter 23 - He Is My Loyal Customer

"Maaf, tapi dia pelanggan setiaku," potong wanita itu cepat, dengan bangga memamerkan tindakannya padaku. Dia terus menggelayut mesra pada tubuh Jayden. Jemari lentiknya makin bersemangat menjelajahi surai legam pria yang wajahnya kusut, seperti minta disetrika uap tersebut.

Jayden bahkan tidak merasa risih ketika leher belakangnya dielus dengan sensual—mereka saling melempar senyum. Ada gemuruh disusul badai peti dalam otakku ketika melihatnya. Lagipula mengapa pria ini begitu serius mendalami ilmu kanuragan 'perbajinganan' hingga totalitas begini?

Rasa-rasanya tanganku gatal ingin sekali memarut wajah Jayden sebelum menenggelamkannya kedalam kolam berisi ribuan katak nanti. Aku tidak mau kalah berargumen, "Dia sekarang pengangguran dan tidak sanggup membayar layanan kamarmu." balasku berkacak pinggang, menyembunyikan semua keraguan—membuat keduanya bungkam begitu saja.

"Pergilah, sampai bertemu besok..." Jayden berkata lewat suara dalamnya, memaksa wanita itu beranjak dari pangkuannya, mata laser si penghibur itu siap menikam dengan tajam ketika melewatiku.

"Kenapa kau duduk disitu?" Jayden bertanya ketika bokongku mendarat pada sofa di sampingnya. Aku memutar kepala ke arahnya tanpa bicara. "Kemarilah!" Jayden terlihat melebarkan kaki dengan jeans hitam itu sambil menepuk paha kanan, "Di sini tempatmu, kau tadi mengusirnya karena cemburu 'kan?"

Seraya menggeleng tidak peduli, "Aku tidak mau." Jayden hanya menyeringai tipis atas jawabanku. Dia terus menuang kemudian menenggak dengan enteng, tubuhnya memiliki toleransi tinggi terhadap alkohol. Aku berpangku dagu menaruh atensi padanya. "Wah! Kau benar-benar peminum ulung," ucapku tanpa sadar.

"Pergilah, kamu kurang seksi untuk menarik perhatianku." celetuknya dengan mengarahkan pandangan menuju exit door. Memang sulit menjinakkan seorang anak macan berkepala sekeras batu, tapi tidak apa-apa aku memaklumi sikap brengsek yang dibuat-buatnya ini. Aku menggigit bibir bawah, sebelum bangkit berdiri tanpa beban.

Meliukkan tubuh mengikuti irama, dan nenikmati pertunjukan didepan sana dengan nyaman. Hingga mendadak saja pria yang wajahnya pernah ku lihat di kelab tempat Bianca bekerja, juga sama ada disini, dengan style aksesoris gelang bandul phoenix yang masih setia bertengger di lengannya.

"Hei ketemu lagi ditempat lain, masih ingat aku cantik?" tanya pria itu saat ada dihadapanku. Menyamai pergerakanku penuh ketertarikan sebelum memainkan jari di sela bibirnya. Aku sedikit berfikir, "Iya sepertinya begitu," jawabku ringan sebelum menarik sebuah senyum dengan tipis.

Reaksiku berhasil membuat Jayden menghentikan acara minumnya. Pria asing ini memuji penampilanku yang menurutnya berbeda, mendeteksi lekuk tubuhku dengan fetish-nya. Dia bahkan mengajakku terjun kelantai dansa bersama agar lebih asik katanya.

Jayden melirik, sorot matanya terlihat menajam seolah mengisyaratkanku untuk menolak ajakannya. Dan aku senang sekarang, kesempatan membawanya keluar dari gedung ini semakin besar. Dia memercikan sedikit simpatinya.

"Mungkin lain kali kita bisa melakukannya." Hati-hati sekali caraku merespon. Pria itu tersenyum singkat lalu mengangguk sebelum terjun menembus keramaian di area lain, Aku berdecak kagum akan pencapaian sendiri dan tersenyum jahil pada Jayden.

Sekarang aku berinisiatif melepas ikatan rambut perlahan, hingga merapikannya asal lalu membuatnya tergerai pasrah. Aku mengedipkan sebelah mata, sengaja menggigit bibir dengan gemas saat membuka kancing kemeja biru mudaku dari atas.

"A—apa yang kau lakukan?" Jayden terbata-bata. Aku berhasil menanggalkan semua kancing yang tersemat, membuka kemeja yang kupakai hingga memamerkan bahu polos yang hanya terbungkus crop top (dalaman baju di atas pusar) warna putih.

"Aku sudah cantik. Sekarang hanya tinggal memenuhi standar seksi saja yang dipatok olehmu." Jayden memalingkan wajah, kembali meneguk minumannya tanpa melihatku. Astaga masih kurang ternyata, membatin sekali usahaku kali ini Ya Tuhan.

Aku membungkukkan badan dan menatapnya lekat tepat di depannya. "Ahh... kalau tidur saja denganku bagaimana?" kataku. Jayden tersedak berkat alkoholnya, hidungnya memerah karena cairan beraroma tajam itu. Seharusnya intonasiku barusan mampu membuatnya bergejolak sih, tapi entahlah aku muak dengan sikapku.

"Kamila pergilah, aku bukan pria baik-baik." suaranya memelan hingga terdengar seperti bisikan. Aku mengalihkan pandanganku semerta-merta, lalu menuangkan alkohol di seloki kosong milik Jayden seraya berucap tegas.

"Kenapa mengusirku? Kau yang bilang, kalau nakal itu jangan setengah-setengah. Aku bisa melakukannya bersamamu kan?" jelas kalau aku hanya berbicara sekenanya.

Ini bahkan sudah hampir memakan waktu setengah jam, semakin membuat tidak sabar saja. Masa bodoh dengan rasa pahit, karena yang kubaca sekilas kadar alkoholnya memang tinggi sampai 40 persen. Efeknya lebih tajam, maka dengan berbekal pemahaman bahwa rasanya tidak jauh dari rasa sayur 'pare' aku hendak mencobanya.

Sedetik setelahnya. "Blam... Ahh—" Aku meringis ngilu. Jayden menjabret gelas yang aku pegang secepat kilat lantas meneguknya sekali hap. "Kau itu keterlaluan! Gelasnya sampai membentur gigiku," kataku lagi, sementara Jayden tidak bereaksi apapun, selain diam dengan tarikan rahang yang agak menegang.

Aku mengaduh dengan desisan berharap sensasi denyutnya menghilang. Kemudian lima belas detik setelahnya, aku mengangkat tangan ke salah satu pelayan. Ini membosankan! Jayden hanya mengatupkan bibirnya rapat. "Aku minta satu gelas tambahan, okey!" pesanku pada pelayan yang rambutnya dicepol dengan jepit itu.

Menciptakan acungan jempol k eudara sebagai bentuk persetujuan dari seberang sana. Aku terlanjur bertindak, apa boleh buat ini harus di tuntaskan sekalian. "Hei, pulang sana..." Jayden membalik paksa tubuhku untuk berhadapan dengannya, ketika aku tidak mengindahkan seluruh ucapannya.

"Sudah kubilang tidak mau, aku mau mencobanya!" Sambil menarik gelas yang di sodorkan pelayan, lantas melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya. Prang! Jayden langsung membanting ke bawah lantai seloki itu, sebelum sampai ke depan mulutku. Cepat sekali gerakannya.

Jayden marah, kepalan tangannya menguat di atas meja matanya—berkilat penuh murka. "Pergi dari sini sekarang!" tekan Jay. Sejemang aku mendongakkan kepala ke lantai dua. Jeffrey dan Laura masih setia memperhatikan dengan tegangnya di sana, mereka berharap banyak, dan aku memang bandel.

Malah menggeserkan satu botol alkohol, yang berada tepat di hadapan Jayden untuk mendekat padaku. "Kamila, aku ingin sendiri dulu..." selorohnya tenang, sambil menahan perlahan botol yang sempat ku ambil. Aku tidak mau kalah, dengan terus berusaha meraihnya lagi.

Jayden memanggil namaku, "Kamila!" bentak Jay pada akhirnya.

Woah, untung aku sudah menduga reaksi semacam itu. Jadi, aku juga telah mempersiapkan rencana selanjutnya—sedetik lalu baru saja ku-susun, yaitu dengan mengeluarkan ekspresi yang tepat padanya. Memelas sepenuh hati, karena kali ini serius tidak bohong. "Aku meninggalkan dompet dan ponselku, antarkan pulang yah tolong..."

Mengenaskan sekali diriku ini.

Yah karena tadi aku datang bersama Jeffrey dan Laura, terburu-buru menjemputmu kudanil. Hutangku jadi berkepanjangan sekarang, Jayden terdiam sejenak, ia tampak menimbang-nimbang beberapa hal kali ini. Jayden berdiri dengan sukarela lalu melangkah ringkas menuju pintu utama. Ide brilian sekali Kamila kenapa tidak dari tadi?

"Akan kucarikan taksi, kau pergi saja sendiri." Jayden berujar, ketika aku tertinggal beberapa langkah dibelakangnya. Bugh! Aku terlalu fokus menunduk, menyamakan langkah kaki hingga menabrak punggung bidangnya.

Kenapa pria arogan ini gemar membuat tindakan tiba-tiba? Dia stagnan di pijakan, sementara aku belum melihat apa-apa karena terhalang tubuhnya."Kenapa tiba-tiba berhenti?"

Mataku memicing saat melihat kekasih Jayden tampak ada diseberang sana, baiklah itu baik sekali. Hanya saja dua detik setelahnya dia dirangkul mesra oleh pria lain. Apa yang terjadi di sini?

Bersambung...