Maka setelah Jayden mengurai pelukan diantara kami, hal pertama yang dilakukan diriku sesudahnya adalah membuka ritsleting celananya. Ralat, maksudku resleting jaketnya kemudian meraba-raba dengan teliti di sana. "Ada di saku dalam Mil..." Jayden memberikan petunjuk di tengah sesegukannya.
Aku masih mencari memang dibalik jaketnya ada beberapa saku penyimpanan yang tersembunyi. Srett! Akhirnya jariku berhasil menemukan ponselnya. Lantas menekan tombol power pada sisi kanan, setelah menariknya dan memberi jarak.
Ya ampun! Jay berpapasan dengan 'Annabelle' refleks benda itu terlempar ke udara dan Nathan berhasil menangkap dengan cergas, dua detik sebelum landing dengan mulus di permukaan tanah yang basah. Kemudian menyerahkannya kembali padaku, "Apa yang membuatmu kaget?" tanyanya tanpa sedikitpun rasa bersalah.
Aku bisa gila hanya karena kata 'apa' yang dilontarkan Jay. Jelas-jelas ia memasang wallpaper dengan gambar boneka salah satu penebar teror di film horror, ini menyeramkan apalagi di malam hari. Bagaimana kalau ada dibelakangku? Bagaimana kalau...
Sudahlah, kakiku jadi gemetaran sendiri hanya dengan membayangkannya saja. Bukan karena takut, tapi bisa-bisa aku mati kedinginan kalau hanya berdiam diri lebih lama lagi—dalam keadaan tubuh basah kuyup seperti ini.
Aku menggeleng padanya seraya mengusap layar kunci kebagian atas hendak mempercepat proses pemesanan taksi online. Baru saja menetralkan debar jantung yang acak-acakan. Aku mendadak dibuat resah oleh keyboard berlatar belakang 'payudara wanita' dengan bra berwarna kuning yang tiba-tiba muncul.
Sambil menjauhkan wajahku dari layar yang berpendar itu, "Jayden!!!" Aku menjerit. "Apa?" Ekspresi tanyanya itu benar-benar tidak menunjukkan tanda keseriusan, lesu sekali. Aku membalik benda pipih pintar ini sekilas, menunjukkan padanya, "Ini kenapa harus seperti ini?" Aku bertanya.
"Lagipula itu sama kan dengan milikmu?" balasnya asal, paras yang berminyak, karena pomade yang luntur tergerus air itu—telah mempertanyakan sesuatu yang tidak seharusnya. Aku tidak peduli hey! Tanpa merespon ucapannya aku kembali medekatkan ponsel tersebut.
Pikiranku berhamburan hanya gara-gara objek terkutuk ini, "Sudahlah, apa kata sandinya?" Aku kembali mengumpulkan kewarasan. Nathan terlihat mempertimbangkan sesuatu, setelah mengulas senyum mesra sambil mendekatkan bibir dengan ketebalan sedangnya ke samping telingaku, "Namamu..."
Bisiknya dengan suara rendah, bikin merinding saja tingkah absurnya ini. Ia kemudian menjauhkan raganya, setelah aku mengangguk lirih. Kontan itu membuat perut dan hatiku seperti di hinggapi ribuan kupu-kupu. Senang sekali rasanya mengingat semua yang ada di benakku terbalas dengan sempurna.
Jayden seperti menaruh minat padaku. Tolong abaikan narasi melanturku barusan. Setidaknya celetukannya yang mengatakan kalau aku mirip; dugong berkumis hanyalah bercanda. Aku bahkan nyaris meyakininya saat itu, wajahku benar-benar bengkak sekarang berkat menangisinya tadi.
Padahal tadi hanya refleks terbawa suasana saja. Dengan percaya diri kuketik namaku dilayar sentuh ini, [Kamila] namun salah. Bukan itu pin-nya. Akhirnya, percobaan kelimaku dengan variasi huruf kapital semua [Kamila] dilakukan serta hasilnya tetap salah. Dahiku berkerut, gemas sekali!
Perasaan aku tidak memiliki nama samaran lain deh. "Gimana bisa tidak?" tanya Nathan tiba-tiba dari belakang leherku. Dia sepertinya paham mengapa pipiku menggembung, maka tanpa aba-aba ia mengulurkan kedua lengannya melewati tubuhku serta menuntun jari jemariku menyusun kalimat, 'Namamu.'
Ohh ternyata begitu, habisnya Jay tidak spesifik sih dalam memberitahukan sesuatu. Kan bentangan kewarasanku jadi bingung bereaksinya bagaimana tadi. Ibarat membeli kucing dalam karung, aku selalu gagal paham tentang dirinya.
Kurang dari dua belas menit taksi yang kami pesan akhirnya tiba. Awalnya bapak supir itu terlihat ragu membuka pintu mobilnya, mungkin karena Jayden yah. Penampilannya yang sekarang memang mengkhawatirkan—hancur seperti tikus yang barus aja terlindas perangkap. Berantakan kalau singkatnya.
***
Rute dari aplikasi mengantarkan kendiaraan kami roda empat ini, memasuki salah satu cluster premium di daerah Bandung.
Rumah berlantai tiga minimalis, yang pada basement-nya berjejer beberapa mobil serta motor ini terasa sepi. Bahkan ketika pria itu membuka kunci elektrik hingga terdengar bunyi 'bip' tidak ada siapapun yang menyambut kedatangan kami.
Memangnya aku mengharapkan apa? Kalau ingin keramaian dengan sorak-sorai, banyak penonton serta barongsai mungkin aku harus pergi ke acara 17 Agustusan, bukan ke kediaman Jayden astaga. Air menetes dari tubuh Nathan, yang sedang berjongkok singkat di dekat rak sepatu.
Aku terlalu sibuk menelisik kediamannya yang didominasi warna putih, mewah sekali apalagi dengan beberapa barang antik yang terpampang di beberapa lemari kristal itu. Hingga tidak sadar, kalau dia tiba-tiba melepas heels boots yang kukenakan.
Menaruh kemudian menggantinya dengan sendal rumahan, sebelum berkata, "Ayo ikuti aku, mau sampai kapan berdiri terus!" Jujur, barusan aku masih belum mencerna dengan benar tindakannya. Itu hal sederhana, tapi berhasil meletupkan kembang api kecil di sudut lain jiwaku.
Ya Tuhan, inikah efek samping dari 'pacaran lama akan tetapi terasa jomblo' yang dikisahkan orang-orang. Pokoknya gara-gara Hito! akan kumarahi dia nanti sebab telah membuatku tampak seperti nenek-nenek kurang belaian.
Hal sepele saja jadi terbawa perasaan seperti ini, apalagi jika cita-citaku jadi menteri keuangan terwujud. Aku pasti berguling-guling di taman lansian, saking bersyukurnya. Astaga tolong siapa saja, benahi pikiranku. Melihat punggung lebar itu menjauh akupun mengikuti intruksinya, melewati ruang tamu dengan santai sembari berfikir sesuatu.
Bagaimana yah aku menjelaskannya, rumah ini memang mewah tapi, "Bagaimana caranya seorang pengangguran kelas kakap bisa memiliki rumah seperti ini?" lontarku dengan nada bercanda. Jayden tampak terkekeh kecil sebelum menengok sekilas ke belakang.
Berkata, "Properti ini bukan hanya milikku saja," Jayden mulai menaiki anak tangga, "setengahnya atas nama Jeffrey," tambahnya lagi saat aku melangkah ke undakan ketiga. Ouhh begitu, pantas saja Jeffrey rela bertekuk lutut demi pria ini. Keberlangsungan hidup mereka, benar-benar dipertaruhkan ternyata sekarang.
Menurutku banyak hal ganjil juga disini, dimulai dari adanya; kotak kardus bertumpuk, pintu-pintu ruangan yang seperti dikunci rapat dari dalam serta lemari besar menjulang berisi ribuan buku yang jadi penyekat menyambut ruang atas ini.
Membuat rasa curiga terundang sejadi-jadinya. Terlebih saat Jayden bilang bahwa ia memiliki tahanan wanita, yang selalu dijadikan simpanan untuk melayaninya ketika lelah, "Benarkah? Kalau begitu aku ingin melihatnya." Aku jadi merasa tidak aman.
"Besok saja, ia pasti sudah tidur sekarang." balas Jayden dengan santai. Jayden mengangguk mantap ketika sampai di depan sebuah pintu, aku berlari kecil meskipun menghampiri dengan ragu. Ia mendorong cepat bahuku hingga kami terjebloskan sempurna kedalamnya, "Tunggu kamar siapa ini?" Jantungku langsung jumpalitan seketika.
Apa pria ini mabuk berat? Kesambet kemudian akan bertindak tidak senonoh padaku astaga, "Kenapa matamu melihatku? Cepat katakan ini punya siapa?" Pria di hadapan malah memindai tubuhku dengan seksama saat aku gelisah.
Aku berupaya keluar lagi, tapi Jayden keburu memblokir pintu dengan membentangkan tangganya, menahan. "Ini kamarku..." Jayden mendekatkan wajahnya ketika menjawab.
"K—kenapa kau seperti ini?" tanyaku.
Bersambung...