Chereads / JAYDEN, JANGAN MEMBUATKU KELIRU / Chapter 21 - My Sense Of Taste Is Numb

Chapter 21 - My Sense Of Taste Is Numb

Astaga gejolak apa yang ku rasakan? Dadaku seperti dihantam panah beracun, hingga saliva yang kutelan terasa pahit. "Lantas apa yang bisa kubantu? Kau tahu masih banyak wanita di luaran sana yang mampu menggaet perhatiannya, Jelas itu bukan aku orangnya Jeffrey," lirihku malas tanpa meliriknya lagi.

Kami diselubungi hening untuk beberapa saat.

Menjauhkan Jayden dari kekasihnya adalah hal termustahil sepanjang napasku berhembus. Menurut Jeffrey, Nathan bahkan tidak sehancur ini ketika ditinggal wafat oleh ibunya saat duduk di bangku SMA.

Bahkan ketika ayahnya mengantarkan paksa dia untuk tinggal di panti saat usianya 12 tahun, Jayden tidak berbicara banyak hal padanya, selain menatap ke luar jendela.

Aku kemudian bertanya-tanya sebenarnya sejauh mana, kehancuran pria itu. Pemikiran egoisku mulai terpanggil, merangkum inti masalah dan menyelesaikan dengan kalimat 'perbanyaklah bersyukur' jujur, aku ingin mengatakannya pada Jeffrey.

Bagi Jay, Luna adalah segalanya. Figur seorang ibu yang ia rindukan ada pada wanita tersebut, hingga tanpa sadar Jayden selalu berusaha jadi pribadi lain guna membuat wanita itu terkesan. Hubungannya berlangsung dua tahun, dan selama itu pula Jayden tidak tampak seperti manusia.

Puncak ke-frustasian Jayden ketika malam pertama kalinya ia berkunjung kesini. Dia telah mempersiapkan segalanya di Grand Hotel Continental hendak melamar Luna, di bawah gemerlapnya lampu kristal serta tempat berbintang lima seperti yang sering diidam-idamkan nya pada Jayden.

Namun sialnya, dari pagi sampai hari menggelap Luna tidak kunjung hadir dan mendadak membatalkan momen penting tersebut, sebab ada urusan mendesak diluar kota. Pantas saja dia menyebalkan sekali saat itu.

Kesan brutal sekaligus brengsek mengingatkanku pada Larry penjaga pantai yang ada di Bikini Bottom. Eh tidak nyambung ya, namun sudahlah—intinya kepalaku pening mendengar cerita Jeffrey. Tapi ini tidak selesai sampai di sana. Jayden menderita mental ilness skala ringan. Moodnya dapat berubah kapan saja.

Tapi menurut studi yang kupelajari, selama kita tidak mendekati atau berinteraksi terlalu berlebihan dengan pemicunya (bisa benda mati maupun bernyawa) itu masih bisa ditangani secara mandiri. Dia mungkin juga hanya stress dan penat dengan alur hidupnya. Jadi, carilah pengalihan positif. Bukankah ketika orang lain tidak bisa memperbaikimu, kau harus memperbaiki dirimu sendiri? Sesederhana itu.

Bahkan jika telah terjebak toxic relationship, baik bersama pasangan, kerabat, teman maupun keluarga sekalipun. Kita harus melakukannya perlahan, untuk survive guna terbebas dari belenggu tersebut.

"Luna yang terbiasa hidup glamor, selalu menuntut materi lebih dari Jayfrn. Bahkan, wanita blasteran Jerman itu beberapa kali terlihat lunch dengan pengusaha muda demi terpuaskan segala kebutuhan hidupnya, jelas Jayden marah dan teramat mencintai Luna karena itu."

Jeffrey berkeluh hingga berpendapat bahwa Luna itu materialistis. "Itu bukan sepenuhnya salah si wanita Jeff." Aku menyela pendapatnya. Lagipula siapa yang mau bertahan dengan pria yang tidak jelas pekerjaannya? Masih untung jika ia berprofesi sebagai tukang sapu jalan.

Sedangkan jika Jayden adalah pengangguran berdarah dingin yang hobinya menembaki hewan langka bagaimana? Bisa ditindak pidana nanti.

Aku berfikir seperti itu, karena menemukan pistol dari pakaiannya beberapa hari lalu. Kukira dia lebih berbahaya dari banteng, aku harus berhati-hati lebih menjaga jarak, dengan pecandu game online yang doyan berseluncur di pub dan kelab yang satu ini.

Lagi-lagi Jeffrey berdalih jika, "Jayden bukannya tidak memiliki uang Kamila. Wanita itu saja yang tidak pernah merasa puas atas semua yang diberikan olehnya," tukasnya kemudian dengan membawa kesetaraan gender, seolah wanita yang paling terpojok disini. Tolong bukakan pintu hidayah pria ini sebelum mulutnya kuberi lem Ya Tuhan.

Aku menatap tanpa minat. "Sudahlah aku muak dengan ocehanmu."

"Aku serius Kamila dengan perkata—"

"Aku juga serius Jeffrey," potongku tanpa belas kasihan, pria kelimis yang kedua sisi rambutnya digunting lebih tipis itu terlihat meraba saku belakang celananya. Sebelum mendorong sebuah kartu tanda pengenal dan melempar lembut di atas meja hingga berbenturan dengan lenganku.

Aku meraihnya dan tertera nama : Jayden Suralaya Ganindra—CEO Qubicle Corporation

Di baliknya bahkan ada keterangan :

[Qubicle Corporation adalah perusahaan start up yang fokus di bidang pengembangan gim, search engine serta perangkat lunak sejak tahun 2016. Besar keinginan kami untuk membawa nama besar Indonesia hingga ke kancah internasional. More Information, Contact Us : 0217-7322-2000]

Aku mengangkat kepala dengan bingung. bukaan mulutku terbuka tipis sebelum akhirnya tersenyum miring. "Bisakah kau membuatnya kembali fokus bekerja? Beberapa bulan ini, aku yang menyelesaikan tugasnya," pinta Jeffrey padaku dengan tarikan napas yang begitu panjang.

Lama tidak mendapat respon, pria gigih ini langsung mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana. Lima detik berselang ia menunjukkan beberapa foto gagah Jayden yang sedang menghadiri meeting di aula dengan layar LED super besar di belakangnya.

Dia juga meminta izin memakai laptopku yang kebetulan ada di atas meja ini. Dia masuk ke salah satu forum game online, lantas memperlihatkan foto perusaan serta produk yang ditawarkan oleh perusahaan Qubicle Corporation.

Anggota komunitas ini bahkan mengelu-elukan salah satu karakter yang dibentuk developer lokal ini. Predikat dua dari lima game yang telah meluncur, telah berhasil merajai peringkat di IOS maupun Android.

Oke, Anggap saja aku percaya dengan Jayden yang ternyata selama ini bukan pengangguran, kemudian menunduk secara tidak yakin. Sepertinya aku tidak bisa melakukannya.

"Kelvin maaf aku tidak bisa membantumu," kataku, lagipula aku tahu, bahwasanya cinta itu tidak dapat dipaksa, maupun dienyahkan begitu saja. Aku juga merasakannya, bagaimana menyayangi Hito disaat seisi dunia bilang itu adalah sia-sia.

Ia tak kunjung menampakan diri atau mengabari lagi. Sampai sekarang aku masih menunggunya, hanya karena Jayden tertawa lepas oleh tingkahku beberapa kali saja, Jeffrey sampai menyuruhku untuk memacarinya. Astaga! Mau sampai manusia terbang dengan baling-baling bambu pun aku tetap tidak bisa.

"Jayden bahkan membahayakan dirinya untuk membantumu. Kau mau menyaksikannya hancur juga, tanpa niatan menolongnya begitu?" Jeffrey kali ini mulai membujuk penuh penekanan di setiap susunan kalimatnya.

Aku menegakan punggung lalu berkata, "Aku juga memiliki pacar, jadi carilah wanita lain." balasku. Kedua tangan saling bertaut gemas ingin sekali melempar pria di depanku ini hingga lapisan langit ketujuh sampai tubuhnya menyangkut di antara asteroid.

Aku beranjak keluar dari lingkaran percakapan yang membuat sel saraf berkedut hebat ini. "Masalahnya hanya kamu Kamila..." kata Jeffrey saat aku menuruni anak tangga pertama.

Tubuhku yang tadinya bersemangat, harus melambat berkat mencerna kejadian dibawah sana; Jayfen terlihat duduk bersama wanita bertubuh molek. Mungkinkah itu...

"Luna?" sahut Jeffrey dari belakang, ia mengenali wanita ber-dress plum itu, Jeffrey mendahuluiku turun dengan mengobrol bersama Laura.

Aku di belakang meja kasir diam-diam memperhatikan. Meskipun tidak ada niatan menguping tapi percekcokan mereka; Luna dan Jayden jelas terdengar. Aku tergerogoti rasa kepo ya ampun.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu sayang? Apa sudah selesai?" Manis sekali cara Jayden menyapa saat wanita itu. Dia duduk bertumpang kaki serta melipat tangannya di dada dengan angkuh. Dagunya meninggi saat melihat Jayden dengan segala penghakiman remehnya.

Lalu berkata, "Aku datang karena ingin menyudahi hubungan kita." Nathan tampak agak terkejut terkejut.

Sikapnya lembut dan terlihat pasrah sekali bertolak belakang dengan yang selalu Jayden tampakkan padaku sebelumnya. "Jangan bicara seperti itu lagi yah..." lirihnya pelan, hingga samar tertangkap oleh indra pendengaranku.

Perempuan berambut pirang gelap itu menyeringai selagi Jayden meminta pengampunan atas ketidakmampuan nya menjadi pria sejati di mata Luna. Secinta itukah?

Kemana perginya Jayden yang selama ini selalu mengganguku dengan tampang garang serta intonasi yang berapi-api. Dia sekarang tak ubahnya seperti debu yang sebentar lagi tersedot vacuum cleaner. Terlihat sangat putus asa kalau sederhananya.

"Jangan tinggalkan aku!" Jayden menunduk dengan bahunya yang turun ke bawah. Astaga gerak-gerik wanita itu mirip sekali dengan Medusa, tatapan tajam disertai seringaian lebarnya membuat bulu kuduk siapa saja merinding minta pulang.

"Hhmm? Aku sudah muak Jayden! Hancurkan saja dirimu," sarkasnya tanpa rasa iba sedikitpun. Jayden menatap Luna dengan sendunya, "Mengapa kita harus seperti ini? Aku coba mempertahankan separuh jiwaku yang tetap menginginkanmu. Kubiarkan kau menguasai diriku, lalu apa salahku hingga kau seperti ini?"

Luna tidak menjawab lagi apa yang Jayden lontarkan, Lantas menyiramkan air minum dari atas kepala Jayddn sedetik kemudian, meluncur melalui rahangnya sebelum menetes ke atas lantai.

"Bercerminlah!" celetuk Luna yang mulai menggerakan tungkai nya. Jayden termangu untuk beberapa menit yang terus melaju di setiap detiknya. Sembari menyisir singkat rambut, Dia berlari mengejar Luna yang sudah pergi.

Punggungnya mengecil, dan genangan air itu membuat hatiku menciut tidak jelas.

"Kau mau menyusulnya?" Laura bertanya setelah melihat Jayden keluar ruangan barusan.

"Tidak!" Aku menggeleng karena tidak ingin terlibat. Lagipula aku sibuk, banyak hal yang lebih penting untuk dikerjakan. Untuk alasan apa dan mengapa aku merasa tidak enak hati seperti sekarang?

Entahlah indera perasaku rasanya kelu. Satu lagi yang mengherankan. Di sini tidak ada yang mengiris bawang, tapi mataku terasa pedih hingga satu air asin meluncur begitu saja.

Bersambung....