"Ya Ampun! J—Jayden?" Aku langsung terkejut. Sekarang aku mengerti sistemnya, ada Jeffrey pasti ada Jayden, bagaimana dia bisa mengetahui nomer ponselku? Ahh, Laura. Astaga aku mulai jengkel dengan adikku itu. Dia tidak memberitahuku bahwa Jay juga akan datang. Apa aku harus mandi?
Sepertinya tidak perlu. Terapkanlah teori kemiliteran di sini, bagaimana caranya harus bergegas memilih outfit untuk hangout dalam hitungan menit. Dengan setengah berlari padananku jatuh pada kaos oversize hitam lengan pendek, yang bagian depan nya dimasukan ke dalam chinno pants berwarna nude.
Belum lagi rambutku yang berantakan, membuatku harus mengikatnya dengan gaya ponytail lalu menutupnya menggunakan topi berwarna hitam. Dengan langkah yang tergesa-gesa aku mengambil sepatu kets yang ada di rak samping tangga. Kegiatan berdandan yang sungguh melelahkan.
Ini pertama kalinya, aku berlari dari tangga hanya dalam hitungan detik sudah berada di lantai dasar. Bahkan belum apa-apa, keringatku sudah berseluncur di area punggung, apakah ini efek samping dari melewatkan kegiatan mandi? Entahlah rasa berat juga mulai menghampiri pelupuk mata.
Netraku sibuk bergerak kesana-kemari mencari presensi adikku hingga Jeffrey yang juga telah menghilang sekarang. "Lho dimana Laura?" tanyaku pada Jat, sesampainya di parkiran. Wajah Jayden langsung tertekuk dengan bibir yang dimajukan ke depan—ketika ia menatapku sebentar.
"Hanya ganti baju saja dua puluh menit, ini sudah siang tahu!" Jayden berkeluh, mukanya memerah karena kepanasan, paparan mentari ternyata berdampak pada tabiat nya yang mulai mencair. "Lalu kenapa kau tidak masuk?" tanyaku.
"Sudahlah, ayo kita susul mereka ke pasar!" putusnya. Tanpa menanggapi pertanyaanku, dia telah berjalan lebih dulu menuju penyeberangan dengan pipi menggembung. Percayalah melihat pemandangan Jayden yang seperti itu membuat hati ku menyejuk, seperti tengah berendam di kolam bersama ikan koi.
Sementara aku masih memaku di pijakan. Dia sudah ada di penghujung jalan disamping lampu lalu lintas sekarang, di sini terlihat jarak yang cukup renggang di antara kami, entah aku yang akan menghampiri atau dia yang kesini, bukankah semuanya adalah tentang pilihan?
Celana jeans hitam dengan kaos oversize berwarna ungu tua yang membalut tubuh kekar Jayden, benar-benar membuat mataku berbinar seperti tertarik ke dasar gravitasi. Yang terjadi adalah diriku kini menyusul ke arahnya. Kami sudah berpapasan lalu aku menatap mata coklatnya dengan seksama lantas berkata, "Aku jatuh cinta sekarang..."
Aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan lagi senyuman yang timbul tanpa tahu diri ini, Jayden tidak bereaksi apapun, ia hanya diam dan menatapku kembali. Seperti menuntut penjelasan lain menurutku. "Aku jatuh cinta pada bajumu, ungu warna kesukaanku," imbuhku mencoba mengkoreksi kalimat yang terlontar.
Canggung sekali ya ampun! Otak dan batinku tidak kompak saat ini, membuatku spontan tertunduk lesu. Jayden meraih daguku pelan dengan ibu jari dan telunjuknya, hingga dapat menangkap binaran di antara maniknya. "Aku juga jatuh cinta..." jedanya.
Seraya mengalihkan pandangan ke kerumunan orang yang sedang berdesak-desakan berburu barang diskon. Sebab ini hari pertama dibukanya pasar loak di Taman Kota. "Bajuku, kau suka warna hitam kan?" tanyaku cepat.
Sejujurnya tadi sedikit mendebarkan, namun aku bukan wanita yang langsung berpikir dia jatuh cinta padaku, meskipun gagasan tersebut nyaris menghampiri sistem kinerja otak. Nathan mengangguk setelah terdiam beberapa saat lantas menyahut, "Betul sekali."
Dia menyamakan ritme langkahnya yang panjang dengan langkah kecilku. hingga kami bisa berjalan bersamaan. "Kenapa kau mengajaku kesini?" Aku bertanya tepat ketika kami melewati beberapa kios, dengan memiringkan kepala guna mendapat jawaban yang jelas.
Jayden melirik singkat sebelum mencubit pelan hidungku, "Aku ingin ice cream..." ucapannya sungguh tidak terduga.
"Ice cream?"
Jayden bergerak cepat menuju mobil ice cream yang kebetulan menepi di pinggir jalan. "Kau yang membayarnya!" katanya semangat sembari melempar senyum ke si bapak penjual. Matanya mulai berdenyar-denyar, sebab makanan manis dingin berbagai varian tersebut telah berderet manja dihadapannya.
Aku segera menghampiri sebagai tanda persetujuan. Segala umpatan yang sedari tadi berlarian didalam kepala hanya tertahan di tenggorokan. Setelah ia selesai menjatuhkan pilihan pada ice cream cone rasa vanilla di genggaman, dan aku dengan rasa coklat mint.
Kami berkeliling taman menjauhi pasar. Namun dua puluh menit berselang, kami tidak kunjung menemukan Laura dan Jeffrey. Sebenarnya kemana mereka? Hah... dapat kurasakan keringat sebesar biji jagung mulai meluncur dari dahi hingga ke leher, diperjelas lagi dengan punggungku yang telah lembab sekarang.
Seraya menyeka keringat di area dagu kemudian berinisiatif mengajak. "Ayo beristirahat dulu!" Perjalanan ini terasa sangat melelahkan, mungkin karena matahari tepat di atas kepala. Tapi aku sebenarnya bukan orang yang lemah secara fisik, sebab setiap weekend maupun waktu senggang selalu berolahraga.
"Keringatmu banyak..." Jayden berkata.
Kami telah duduk di kursi besi yang hanya memuat dua orang saja. Iya aku menyadarinya, apalagi setelah menghabiskan ice cream lalu mengkonsumsi minuman kaleng berwarna biru tadi. Tubuhku mulai berkeringat makin hebat setelahnya. Jayden melihat sedetik lalu menambahkan kalau ini, "Efek belum mandi." Dia langsung membuang muka ke arah lain.
Sepertinya dia sedang terkekeh melihatku yang sedari awal di sini sibuk mengipas-ngipasi diri. Dengan kaus yang kupakai berharap dapat meluruhkan sensasi panasnya, persetan dengan kenyataan yang Jayden sebutkan memang benar.
Apa terlihat jelas aku belum mandi? Atau mungkinkah ketika ia mengirimkan pesan singkat tadi, dia tahu kalau aku baru bangun tidur. Kami disergap hening untuk puluhan menit kebelakang yang terasa panjang, "Kapan pacarmu datang?" Pada akhirnya Jayden mulai bersuara lagi.
Habisnya aku bingung mau membahas apa dengannya. Kalau diajak ngobrolin kopi atau membahas berapa jumlah batu kerikil yang ada di Taman Kota pasti lebih menyusahkan. "Entahlah, dia sudah tidak memberiku kabar," jawabku seraya menarik napas lega.
Sebab keringat ini sudah tidak bercucuran lagi, hanya saja indra penglihatanku terasa memberat bersamaan dengan rasa letih yang teramat menjalar ke seluruh bagian tubuh. Jayden kemudian terdengar bertanya kembali dengan lugunya, "Memangnya sejak kapan dia pergi?"
Ia seperti tertarik dengan topik pembicaraan ini.
Aku mulai menegakkan punggung, hingga refleks meremat dasar kursi dengan kedua tangan yang mendadak terasa samar, lantas menjawab dengan suara yang pelan, "Empat tahun lalu, ketika aku menuntaskan gelar sarjana satu..."
"Benarkah selama itu?" Dia mendesis berat lalu melanjutkan dengan berapi-api, "Jangan percaya dengan laki-laki yang menyuruhmu menunggu!" celetuk Jayden tanpa permisi. Baiklah aku paham akan hal itu maka ku anggukan kepala saja padanya.
"Kau akan jadi perawan tua..." lanjutnya lagi panjang lebar seperti cerita dongeng penghantar tidur yang selalu ayah ceritakan dulu. Suara Jayden terdengar mengecil, jauh—semakin jauh menyambangi indra pendengaran, suasana taman mulai meredup di sertai kesadaran yang mulai memburai tanpa alasan, sepi dan dunia yang kujejaki bersamanya menggelap seketika.
Bersambung...