Aku menyalakan keran air dan membilas sebelum menaruh nya ke dalam rak lalu melepaskan sarung tangan karet berwarna oranye. "Dia sedang menyelesaikan studi doktornya di California."
"Wow, priamu hebat..." tukas Jayden. Sudahlah, aku tidak mau menanggapi, memilih berjalan menuju meja rias guna mengambil kapas dan sedikit obat oles untuk bibirnya.
Aku kini balik bertanya, pada pria yang dengan tenangnya telah duduk di atas ranjang. "Apa kau punya pacar?" Jayden terdiam sejenak. Wajahnya juga terlihat agak terkejut atau apalah itu, yang pasti ia hanya merotasikan bola matanya tanpa arti dan menelan saliva sebelum menatapku dari jarak satu meter ini.
Dia menghindari pertanyaanku, lalu mengganti arah pembicaraan dengan membahas, "Hanya ada dua ranjang kecil di sini, semalam kau tidur di mana?" tanya pria yang rambutnya disisir acak oleh jemari, bertepatan saat aku duduk disampingnya.
Aku memang berniat mengobati luka robek pada bibirnya sekarang. Sembari membuang napas panjang sebelum menjawab dengan santai kalau, "Kami tidur di sofa bawah sebab kau dan Jeffrey kan di sini." Jayden berdecak, diikuti dengan rahangnya yang mengeras. Ia lalu melotot dengan mata sipitnya.
"KAU MEMBIARKAN KAMI TIDUR DI RANJANG?"
Sejak ia berteriak begitu, Aku mengurungkan niat untuk mengobati bibir tipis tersebut. Woah, gemas sekali aku ingin menenggelamkan Jayden ke kolam piranha. Jantungku nyaris saja bergeser dari tempatnya, karena ia membalas dengan intonasi tinggi seperti barusan.
Aku mulai mengusap dada dengan prihatin. "Aku tidak punya pilihan..." timpalku pelan karena masih menetralkan debar.
Lagi-lagi Jay membentak. "Tidak punya pilihan bagaimana, bisa-bisanya kau memasukan pria mabuk ke kamarmu ini?" wajah dan telinganya memerah karena amarahnya sendiri. Aku juga mulai kehilangan kesabaran sekarang.
"Bajingan gila! Lalu mengapa datang ke sini?" Meladeninya, hanya membuat rambutku memutih lebih cepat. Aku mulai berjalan mendekat ke pintu balkon, guna menyibakkan gorden lebih lebar—cahaya siang ini benar-benar memuakkan.
Namun, tidak lama kemudian di bawah pagar teras luar ini, atensiku menemukan sebuah kotak berwarna coklat. Aku penasaran! Buru buru ku ambil keluar dan hanya ada kata 'Sweetheart' di atas tutupnya. Aku mengambil benda kubus berdiameter 20 senti ini, sebelum menaruhnya di tepian pagar sebelum membukanya.
Tubuhku bergetar hebat, napasku tersekat dengan kuat saat melihatnya. Ketika menutup kotak tersebut dengan memutar tubuh, aku menemukan pria berwajah lebam di depanku. Nyaris saja menabrak dada bidang tersebut..
Aku berusaha lari tapi dia mencengkram lenganku hingga menarik pelan tubuhku ke pelukannya. "Hey, tidak apa-apa atur kembali napasmu!" suara berat itu mengudara. Aku berusaha melepas rengkuhannya sambil menggeleng penuh penolakan. Jantungku berdetak makin kacau dan mataku mulai memanas. Cemas tidak terkira.
Jayden tetap memelukku dan mengambil kotaknya. Aku kaget! tentu saja, karena ia melempar (kotak) itu ke sembarang arah, jauh mendarat di antara semak belukar belakang kedai, hingga tutupnya terbuka dan menampilkan potongan boneka beruang tanpa kepala yang bersimbah darah asli itu menjadi sampah.
"Lepaskan! Lepaskan aku!"
Hingga pintu tiba-tiba terbuka dan ada pria lain yang membuat cekalan Jayden melonggar. Membuatku melangkah dengan tenang, sebab merasakan panik yang menyerang tubuh—juga berangsur menghilang. Aku melewati tubuh Jeffrey yang ada di ambang pintu.
***
"Apa kau gila Jay?" hardik Jeffrey pertama kalinya. Niatan mengajak Jayden untuk pulang langsung memuai bersama udara. Bagi Jeffrey melihat sikut Laura cedera terpapar panas mesin kopi beberapa menit lalu saja sudah mengejutkan, kulit cerah wanita itu benar-benar memerah.
Bahkan otak cerdas Jeffrey masih merekam mata Laura yang memicing ketika dioleskan obat luka bakar. Di tambah ini! Pria berkaus putih dengan celana kargo hitam bersaku itu menampilkan kekagetan. Kaget sekali, apalagi ketika si pemilik tempat bernama Kamila Andini Rahagi melewati tubuhnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya pada gadis bersweater biru muda itu, yang hanya mengangguk samar.
Jeffrey semakin marah. Dugaannya tentang Jay yang mengganggu wanita tersebut semakin benar adanya, diperkuat dengan posisi yang dilihatnya barusan yakni; temannya itu terlihat merengkuh paksa tubuh Kamila. "Jay, kita perlu bicara berdua!" tegasnya setelah menatap tajam temannya.
"Ini bukan urusanmu." Jayden tampak tidak berminat menjelaskan lebih jauh mengenai tindakannya pada Kamila barusan. Membuat Jeff mengambil langkah besar pun memblok jalan keluar saat itu juga. "Tunggu!" Jeffrey menarik lengan kiri Jayden dan memelintirnya hingga terkunci didepan tubuhnya.
Lagian kalau berniat meniduri seseorang atau semacamnya, kenapa harus pemilik tempat ini. Dari awal Kelvin tidak menyetujui hubungan Jay dengan Regina Wijaya, karena wanita berprofesi sebagai super model tersebut—seakan telah mencuci otak sahabatnya.
"Astaga! Jeff sakit woy!"
Jayden memukul-mukul kuat lengan sahabat yang dikenalnya belasan tahun tersebut. Dia tidak dapat berfikir apapun, kenapa Jeffrey tega padanya? Apa dia melakukan kesalahan? sejauh bentangan saraf kesadarannya bekerja ia tidak berniat mencelakai wanita yang semalam mengurusnya itu.
Jayden hanya berusaha menenangkan, karena di luar dugaan owner Kopi Paradise Falls ini mendapatkan kiriman asing berupa kotak misterius. Rambut cokelat gelap sebahu yang dimilikinya terurai begitu saja, dengan punggung yang bergetar ketakutan. Dia seperti terkena panic attack, Menurut Jayden.
Bukannya membebaskan, Jeffrey semakin mengencangkan kunciannya hingga Jayden terbatuk dengan wajah yang memerah. "Lepas! Ya Tuhan kau berniat membunuh orang Jeff..."
"Kau berhutang penjelasan padaku!" kukuh Jeffrey kesekian kali.
Jayden kewalahan. Setelah mengiyakan dengan susah payah dia akhirnya bisa bernapas puas karena Jeffrey membebaskannya meskipun kembali berkata. "Apa yang kau lakukan tadi kepadanya?" tanya Jeffrey dengan muka dan gestur layaknya detektif Conan, menginterogasi narapidana dengan pasal pembunuhan berencana.
"Tadi aku mem—" Jeffrey memutus ucapan Jayden dengan jitakan maut di dahinya. Wajah Jayden seketika cemberut, dia benar-benar seperti bayi besar berotot jika sudah berhadapan dengan Jeffrey. "Arrgh! Jeff." Jayden berteriak, sambil merajuk pun mengelus-elus jidatnya dengan putus asa.
"Kita pulang hari ini."
Jeffrey berlalu begitu saja meninggalkan Jayden, Tidak banyak yang tahu, Jika Jeffrey menarik sudut bibirnya samar saat menjauhi bingkai pintu berwarna cokelat itu. Angan untuk mengubur hidup-hidup Jayden di gunungan pasir proyek lenyap dan sirna.
"Aku masih bertanya-tanya. Mengapa mereka tidak membawa motor maupun mobil saat kemari?" Laura berceletuk dengan ringan padaku, yang tengah tentram menatap para anak-anak asuhan di bawah tangga. Aku langsung menjeda kegiatan menyiram bunga berwarna ungu.
"Kau pikir siapa yang akan mengemudi?" Aku melirik Laura sedetik, "Pria mabuk yang babak belur atau pria yang sudah setengah sadar dengan lebam?" perkataanku mungkin terdengar realistis di telinga Laura, ia mengangguk paham saat dua pria yang termaksud telah pergi dengan taxi online beberapa saat lalu.
Aku beralih menuju dasar jendela paling ujung, menampilkan lavender lain yang tidak kalah indah dan cantik. Alasannya sederhana, Aku menyukai warna ungu dan mendiang ibu kebetulan juga menggemari bidang yang sama.
"Menurut kakak, Jeffrey bagaimana?"
Jujur, pertanyaan Laura membuat saraf-saraf penyusun reaksi dalam otak bertengkar. Lagipula, "Apanya?" tanyaku seolah memastikan arah pembicaraan yang sebetulnya sudah tertebak di dalam benak.
"Tidak, lupakan saja."
Laura melenggang singkat setelah bercengkrama dengan Zaky dan Putri yang sedang asyik berkutat dengan beragam jenis peralatan pendukung kerja di kedai, lalu pergi ke lantai atas. Sementara Aku dengan nyamannya menghirup aroma lavender yang menurutku semakin semerbak.
Bersambung...