Chereads / JAYDEN, JANGAN MEMBUATKU KELIRU / Chapter 9 - A Man's Clothes, Mistaken For A Boyfriend.

Chapter 9 - A Man's Clothes, Mistaken For A Boyfriend.

Pada dasarnya tidak ada yang bersifat 'langsung jadi' di muka bumi ini. Bahkan mie instan sekalipun, harus di masak lebih dulu sebelum bisa dimakan. Aroma dari kuah kaldu kari ayamnya begitu mengggoda, hanya saja masih terlalu panas untuk dicicip sekarang.

Arggh! Aku malah merasa kelaparan di jam setengah dua dini hari. Setelah mengurus luka robek pada lengan kanan atas Jayden tiga puluh menit lalu, dan aku belum mendapatkan rasa kantukku kembali.

Kaget? Iya.

Lelah? Jangan ditanya.

Hah, kenapa jadi curhat di depan makanan? astaga, Aku segera memangku mangkuk berisi mie ke lantai dasar. Sebab ranjang di ruangan ini, telah dihuni oleh dua pria tanpa urat kesadaran. Kemudian menyusuri anak tangga dan bersimpuh di depan Laura yang tengah pulas di atas sofa.

Sepuluh menit berlalu terkuras sampai mangkuk ini bersih tidak bersisa dan benar aku mulai menguap sekarang. Gila! Rutinitas semakin tidak sehat saja belakangan ini. Soda, serta makanan siap saji lainnya selalu hilir mudik di keseharianku.

***

Lima jam berselang—matahari telah meninggi. Dua pegawai baru akan datang pagi ini, maka aku bersiap lebih awal dari biasannya. Begitupun Laura yang telah sedia di lantai bawah, bersama dengan Jeffrey yang membantu untuk opening kedai.

Sementara Aku masih menikmati segelas air putih dalam kedamaian dapur, setelah menggiling biji kopi robusta beberapa menit lalu. Tanpa melihat sana-sini Jayden melangkah terseok-seok guna bangun dari tempat tidur menuju kamar mandi. Lama tidak memunculkan eksistensinya aku memastikan diri kesana.

"Jayden?" Aku bertanya didepan pintu yang kemudian langsung dijawab oleh suara muntahan.

Kubuang napas begitu panjang lalu terkekeh miris, setidaknya dia masih bernyawa di dalam sana. Kata Jeffrey, Jayden awalnya minta dijemput dari bar, tapi berujung minum berdua dengan Jayden yang kondisinya memang sudah mabuk—ketimbang dirinya yang baru menenggak beberapa seloki saja.

Tidak lama ditinggalkan ke toilet, Jayden itu telah terlibat perkelahian dengan salah satu pengunjung. Jeffrey sontak berusaha melerai namun nihil, mereka berdua kalah jumlah dan sudah berada di bawah pengaruh alkohol.

Mau tidak mau, Jeffrey ikutan babak belur juga dan pergi kesini menggunakan taksi. Jayden sudah bersimbah darah karena diserang dengan senjata tajam. Ditambah mereka kehilangan dompet dan ponsel, hingga Laura yang membayarkan taksinya semalam. Hah!

Suara aliran keran pun terdengar dan pintu terbuka secara mendadak saat aku masih menempelkan telinga di bingkai pintu. "Kamila... kenapa kau ada disini?" Jayden bertanya dengan linglung, sementara aku mulai menegakkan badan dan memberi jarak.

Baru saja berniat pergi, bahu telanjangnya nyaris tersungkur kedepan. "Kenapa kamu tidak berdiri saja ditengah rel kereta?" Aku menggerutu, menjalarkan lenganku pada pinggangnya, sementara Jayden menaruh lengan kekarnya di pundak.

"Kau menyuruhku mati betulan?!" sinis Jayden sesampainya di tempat tidur. Aku menjangkau kotak obat yang semalam ada dikolong, untuk menggganti perbannya."Habisnya kenapa tidak datang ke rumah sakit saja?" satireku dengan mulut mengerucut.

Itu memang benar bagaimana kalau ia kehabisan darah? Jay datang dengan dua luka gores ringan di lengan kanan atasnya dan yang paling parah ada disela bahu. Wajahnya juga bonyok sudah seperti perkedel dan arrrgh! Aku sulit menebak berapa botol yang ia habiskan sampai mabuk begitu. "Kuganti perbanmu dahulu..."

Jayden menyetujuinya. Sambil membuka perlahan dan menuangkan cairan infus sesekali pada luka karena menempel dengan kain kassa dia merespon, "Kan di sini lebih dekat," kata Jayden. Aku bersikukuh menolak pendapatnya karena ini bukan rumah sakit.

Nathan melakukan pembelaan. "Lagipula ponsel Jeffrey kan tertinggal di sini." Setelah mengganti plester diantara robekan kulit tanpa mengikuti jalur luka, aku kembali membalutnya dengan kassa yang baru. Aku berjongkok dan membuka laci nakas terbawah guna mengambil satu lembar pakaian.

"Wow! Kau juga punya baju pria ternyata," takjubnya dengan mata membola, ketika aku menaruh oblong di pangkuannya. Pria ini harus dikutuk menjadi serbuk kopi dalam waktu dekat. "Itu milik ayahku," jawabku cepat, "Harus dikembalikan!" imbuhku lagi sambil membereskan peralatan medis kedalam kotak.

Jayden meringis sebab sudut bibirnya kembali berdarah. "Bukan milik pacarmu?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala sebagai respon.

"Kau tidak punya yah?" ledek Jay ketika aku sampai di lemari dekat kulkas dan memasukan kembali kotak P3K.

"Punya kok!" suaraku mulai meninggi sekarang. Hati ini selalu tidak nyaman, jika ada yang bertanya perihal tersebut. Maksudku semua orang memiliki privasi. Entahlah! Kenyataan mengenai aku, yang menunggu Hito Anggara hingga selama ini—selalu terasa paling menyesakan.

Jayden selesai berpakaian, dia tampak bingung dengan aktivitasnya yang harus melakukan apa lagi. Aku berlari ke arahnya, sedikit membungkuk lalu menempelkan telapak tangan di dahi Jay. Berfikir sejenak kemudian menyimpulkan bahwa,

"Kau agak panas, aku siapkan sup hangat disana." Tunjukku ke arah meja makan dan mulai menegakan punggung guna menunggunya berdiri. Dia lagi-lagi kesulitan terlihat dari sudut bibirnya yang mengernyit. Merepotkan!

Mengingat seluruh tubuhnya yang memar kebiruan, serta luka sayat yang lumayan memperburuk keadaan. Aku yakin, kalau sekarang badannya lebih sakit dari semalam. Arggh! Aku memang tidak memiliki anastesi, jika harus sampai menjahit lukanya. Terlebih, aku takut meninggalkan gunting di dalam tubuh Jayden.

Pada detik berikutnya, dia langsung membebankan tubuhnya ke badanku. Astaga, aku belum siap tahu! Alhasil tubuh yang tidak seberapa ini, malah ambruk berdua dengan Jayden yang menimpa di bagian atas. Aku mengerang saat berbenturan dengan lantai.

Sementara Jayden segera bangun sekuat tenaga. "Maaf aku tidak sengaja," katanya.

Aku memejamkan mata sebentar, sebelum berdiri untuk memapahnya kembali. Sesampainya di meja, aku mulai menarik piring dan mengambilkannya nasi kepul lengkap dengan sup anti pengar beraroma rempah. Aku juga mendorong satu gelas air putih ke sampingnya.

"Kenapa tidak dimakan?" tanyaku heran.

Sambil memperlihatkan lengannya ke depan. "Duh! Ayamnya meluncur terus..." Jayden memang memperagakannya. Sup itu terlihat beberapa kali tergelincir dari sendok, karena dipegang oleh tangan kirinya yang bergetar.

Aku refleks memajukan bibir. "Taksi saja di bayarin, sekarang pake acara susah makan segala lagi!" protesku datar, melipat kedua lengan di atas meja dengan menatapnya gemas.

"Kau kan punya hutang padaku!" Malah Jayden yang kini yang mengirimkan nada kesal. Pemikiranku sontak terbang, karena ucapannya. Ia mengingatkanku, pada ongkos bus dan kejadian beberapa Minggu ke belakang; mengenai preman-preman itu. Aku tersadar maka dengan tanpa diduga. "Aaa..."

Aku menyendokan nasi panas dengan lauk itu ke depan wajahnya. Mata Jayden masih berkedip beberapa kali. "Aku kan tid—" Dia itu banyak omong sekali, makanya segera kujejalkan saja makanan ke mulutnya. "Dikunyah dulu, jangan langsung ditelan!" kataku saat berhasil menyuapi orang asing ini.

Jayden lantas menatap dengan nyalang. "Kau lebih menyeramkan dari jelmaan katak!" bentaknya sambil mengunyah beberapa kali. Aku mengacungkan sendok kearah kepalanya sebagai ancaman. "Dasar kudanil tidak tahu diuntung." balasku mengisi ulang sendoknya.

Lima belas menit terkuras. Mata Jayden berkeliling ruangan, terlihat menyadari sesuatu sepertinya. "Oh! Iya Jeffrey di mana?" Aku mendorong sendok ke sekian kali. "Di bawah bersama Laura yang sedang membimbing pegawai baru serta para pelanggan." Jayden terlihat lebih lega.

Aku tanpa sadar tersenyum yang jelas bukan karena pria di depanku. Tapi hubungan yang terjalin di antara Jeffrey dan Jayden benar-benar membuatku tersentuh, saling melindungi dan membutuhkan seperti itu. "Kau punya teman yang baik," tambahku lagi saat suasana mulai hening.

Jayden menjawab sedatar tembok. "Aku tahu." jedanya mengetuk-ngetukan telunjuk di dagunya, "Kau tidak punya pacar yah, makanya marah-marah terus?" tanyanya lagi saat aku berjalan menaruh perabotan kotor ke tempat pencuci piring. Aku langsung meremas kuat spons yang sudah berbusa.

Tenggorokanku mendadak terasa sakit, seperti akan tersedak oleh kenyataan saat mengatakan, "Punya, cuma dia sedang bepergian..." Sambil berusaha tenang melanjutkan acara mencuci piring dan Jayden kembali menanggapi cepat, "Maksudmu ke mana?"