Aku sedang menyumpal gendang telinga. Membayangkan guyuran hangatnya shower yang siap membasuh bulir keringat, serta semerbak aroma terapi di bathup yang menemani kegiatan berendam nantinya. Lantas meneruskan beberapa lembar buku yang tertunda karena sibuknya kegiatan seminggu terakhir ini.
Sampai adikku menyahut dari belakang meja, "Tidak apa-apa kak, naiklah ke atas! Aku akan menutup tokonya setelah menjamu mereka." Pria berwajah santai di hadapan adikku buru-buru mengibaskan lengannya.
"Aduh! kita bisa kembali lain waktu, lagipula wajah kalian terlihat pasi," selanya memandang kami berdua bergantian dengan hangatnya. "Beristirahatlah," tuturnya santun.
Awalnya kupikir lelaki pengertian telah punah dari muka bumi, bersama dengan dinosaurus ribuan tahun silam. Ternyata masih ada toh! Kencanku bersama bantal dan selimut sudah terbayang lagi, nyaman sekali sepertinya. Senyumku merekah secara alami tanpa rekayasa.
Aku telah membelakangi lelaki misterius. Bermaksud pergi sesuai perkataan Laura dengan hati berbunga-bunga juga, "Hey kau!" jedanya kasar sambil meneruskan, "Tutup saja tempat ini selamanya, jika tidak becus meladeni konsumen!"
Aku menghentikan langkah sejenak, saat mulutnya mencebik bla-bla-bla dan lainnya. Satu, dua, tiga, empat, mari anggap orang yang mencibir kita ibarat dengungan lalat–tidak penting. Lagipula aku sadar ini bukan surga, maupun negeri ajaib tempat Aku akan disukai setiap orang. Setidak peduli itu aku pada orang asing ini.
"Apa kau dungu?" cacinya lagi tanpa terduga, saat aku tidak memberikan tanggapan apapun.
Otomatis berbalik dan menatapnya nyalang. "Apa?" jawabku dengan malas.
"Kau tidak dapat mendengar juga yah?" satire-nya sembari bangkit dari duduk. Menatap lantai yang beralas parkit kayu, sembari memainkan lidah didalam mulut. Pria berjaket kuning tadi segera menghampirinya.
"Astaga temanku ini emosional sekali hari ini, dia terlalu banyak memendam amarah—maaf telah mengganggu." Lantas merangkul bahu si lelaki misterius yang langsung di balas tepisan dan malah kembali menjatuhkan pinggul berisinya di kursi. Dia tidak menyerah, "Ayo pulang saja Jay!" bujuknya lagi.
"Jangan bergurau Jeff, kita kan sudah jauh-jauh kemari!" Jay berdiri menelisik setiap interior ruang bergaya minimalis klasik ini. "Lalu mendapatkan pelayanan yang buruk, apakah pengelola sebelumnya juga sama?"
Jelas, itu tidak ada hubungannya sama sekali.
Aku tidak terima dengan perkataannya.
Hingga dalam sepersekian detik, dia tidak dapat mengontrol dirinya lagi. Bahkan temannya juga tidak menduga. Dia sulit ditebak, semua yang ada pada dirinya hanyalah temaram, dan ketidakjelasan. Jay mengayunkan kaki panjangnya, menendang meja hingga terpental diatas lantai melewati tubuhku yang sudah bergetar tersulut emosi.
Refleks menengok mengikuti arah kemana luncuran meja tersebut. Mataku sontak melebar, kejadian ini begitu singkat. Bruk! benturan hebat terdengar. Standing lamp kesayangan ibu rusak, kapnya koyak serta lampu didalamnya mengalami korslet terlihat dari rangkaian kabel nya yang terputus.
Dadaku menyesak melirik benda milik beliau hancur begitu saja. Dia melewati batasan, lelaki itu brengsek! Tangan pun sudah terkepal kuat di samping paha, ujung-ujung kuku pun memutih seiring dengan tarikan napas yang memberat. Ku ambil lima langkah ringkas mengamati lebih dekat Jay ini.
Parfum vanila yang dia pakai harum sekali, lembut dan terasa manis tidak sebusuk ucapannya barusan. Dia sempat menghindar, dengan berjalan ke sisi yang kosong. Namun, aku menghalau langkahnya. "Urusan kita belum selesai, minta maaflah sebelum angkat kaki dari sini..."
Ucapanku dibuat setenteram mungkin, dengan gerak tubuh penuh penegasan dan gesit. Ternyata mengikuti kelas yoga juga ada manfaatnya, meskipun setahun hanya enam kali. Jay bersikeras pergi dengan masa bodohnya, mengabaikanku.
Sebetulnya, tidak apa jika ia hanya membual diriku, tapi lain kisahnya jika dia sudah berani membawa-bawa kata berupa 'penerus sebelumnya' yang notabene adalah orangtuaku. Dia menimbulkan onar yang tidak dapat ditoleransi lagi, untuk ukuran manusia waras. Aku membencinya.
"Minta maaf katamu?" Jay mengulang sebelum melanjutkan bahwa, "Apa gunanya penjara, kalau kata (maaf) berlaku?" Ia mencondongkan tubuhnya hingga nyaris menabrak hidungku. "Aku tidak suka pegawai yang bekerja setengah-setengah," ucapnya datar diikuti seringaian di akhir kalimat.
Sekilas tampak sebagian manik bulatnya berkilat. Pipiku memanas tapi bukan bersemu merah muda seperti yang dikatakan orang ketika bertemu dengan makhluk "Bad Boy" yang mempesona. Ini lebih ke arah amarah, sedih dan benci dalam satu waktu hingga tidak tahu harus berbuat apa.
Setelah menahan beberapa saat, akhirnya aku dapat meraup napas lega. Karena Jay telah meluruskan punggung pun menjauh membuat tajamnya alkohol yang menyiksaku sedari tadi memburai perlahan-lahan. Pria yang disapa Jeff itu kembali mengajaknya, "Sudahlah, ayo kita pergi sekarang!"
"Iya, lagipula aku sudah muak berada di tempat menjijikkan seperti ini!" Jay bergegas pergi sambil menyenggol pelan bahu kecilku, dilangkah ketiganya. Aku tersenyum miris, mungkinkah ada unsur ketidaksengajaan dalam tindakannya barusan? Kini aku percaya bahwa orang yang jiwanya sakit, tidak melulu berdiam di Rumah Sakit Jiwa.
"Tidak bisa, tunggu dulu!" Tenggorokanku sudah terasa kering sekarang. Kedua pria dewasa itupun menjeda langkahnya. Berhasil! Jay memutar badan akan tetapi aura yang terpancar dua kali lebih menyeramkan dari sebelumnya.
Lelaki berperawakan tegap ini, seperti menungguku membuka mulut serta mengutarakan sebuah alasan memberhentikannya. "Bukankah sikap mu yang brengsek ini terlalu berlebihan?" pungkasku dengan rahang mengerat.
"Brengsek?" Ia maju selangkah, membuat paru-paruku tercekat.
Sambil melemparkan tatapan pada meja dan lampu yang tidak utuh lagi sebagai saksi bisu yang meyakinkan lantas berujar, "Iya semuanya terlihat jelas!" Aku mengumpulkan tenaga, menguatkan diri agar tidak menjatuhkan bulir asin yang membuatku terlihat semakin menyedihkan.
Jay hanya mengurut pangkal hidungnya. "Dasar wanita! semuanya sama saja," dia berkata sebelum menambahkan, "Oh! Astaga, mengapa semua orang menyebalkan sekali hari ini?" keluhnya lagi. Berasa naik kora-kora lima belas putaran Aku mendengar dia—pusing sekali.
"Hanya kau yang bermasalah disini. Mengapa bertindak seolah kau yang tertindas selagi Aku yang begitu dirugikan, seberat itukah minta maaf dan mendengarkan penjelasan orang hah?" Aku membalasnya penuh penekanan, dengan susunan kalimat sehalus mungkin.
Padahal aslinya, adalah ribuan umpatan serta beragam jenis hewan di kebun binatang yang meluruskan betapa kacaunya atmosfer. Semenjak dialog terakhir terlontar, yang Jay lakukan hanya menatapku seperti penuh dendam. Semacam berfikir keras, akan membunuh atau membiarkan mangsa yang ada didepannya sekarang.
Baiklah! ini tidak bisa ditunggu lagi.
"Kau tahu?" tanyanya dingin. Aku merasa was-was dengan pergerakan tiba-tiba yang dilakukannya, "Aku akan mengabulkan permintaan mu," kata Jay berubah pikiran beberapa saat kemudian. Menurutku barusan itu lebih terdengar seperti ancaman, ketimbang perwujudan dari sebuah keinginan. Membuat hatiku semakin tidak baik.
Mulutnya terbuka tipis lalu menggantungkan kata, "Jika..."
"Jika?" Aku malah membeo susunan alfabet, saat tubuhnya terus mendekat. Gila! sistem pemompa darah ini seperti sedang menggelar marching band. Kenapa dikedua sisiku mesti tembok dan meja kayu solid sih? Aku merenggut kesal pada benda mati yang tidak tahu menahu, gangster ini akan berbuat apa selanjutnya.
Ia terus berjalan maju, membuat tubuhku mundur kebelakang. "Minta maaf kataku!" Jay hanya menaikan sebelah alis. Matilah kau Kamila! Bagian pinggang atasku juga sepertinya, sudah menghantam sudut meja. Ini lumayan sakit, harus kemana lagi aku menghindar.
Ideku lebih dulu terambil alih oleh mata bulatnya yang mengabsen setiap inci wajahku. Rongga dada pun ikut kembang kempis, saat ia masih melajukan torso tingginya. Aku stagnan. Ia membuka sarung tangan kulit, yang hanya menutup sebagian ruas, hingga menampakan sebuah tato kalajengking kecil dibawah pangkal ibu jari dan lengannya.
Kemudian menenggelamkannya di balik saku belakang. Pergelangan polosnya terulur merapikan rambutku yang lembab dan berantakan oleh keringat. Tanpa sempat menghindar lagi ia keburu berkata, "Tidurlah denganku malam ini, maka aku akan minta maaf."
Bersambung...