Awalnya aku tidak percaya sama sekali. Dia bisa mengajak tidur wanita dengan semudah itu. Seperti sudah terbiasa atau semacamnya. Banyak praduga.
Namun, menyaksikan bagaimana hidung tingginya menurun, guna mencapai wajahku yang terlalu jauh dan kedua lengannya berhasil memenjarakan diriku. Aku yakin! Dia sama seramnya dengan malaikat pencabut nyawa, yang sering diceritakan Hendery di jurnal fiksi ilmiah—karya penulis berkebangsaan Netherlands.
Aku menggeleng penuh sesak, mengulum bibir yang sudah terasa bengkak sejak Jay menggeloyorkan lengan hangatnya diantara tanganku, yang terkepal erat disamping paha. Bukankah tubuh pria memang selalu hangat? Aku lebih sudi jika Hito (pacarku) yang menyentuhku seperti ini.
Ralat, dia bahkan tidak pernah melakukan hal yang lebih dari sekedar berpelukan. Hito mencintaiku. Dahiku mengeryit tidak nyaman, sudut meja ini semakin menekan kuat. Aku perlu bertindak, menolak segala bentuk pelecehan dan membuang dalam-dalam sebuah, karakter bahwa wanita itu harus lebih lemah daripada laki-laki.
Kudorong dada yang sebenarnya memang sudah berniat menjauh. Menghirup oksigen yang sempat hilang. Entah ada dorongan darimana. Mendadak Aku ingin sekali menarik ujung jaketnya, ketika si Jay berpaling. "Kukira kau benar-benar memintaku menemani..."
Aku melemparkan tatapan kecewa, seperti menemukan perintilan gemas di Online Shop namun saat dilihat ternyata produk tersebut dikirim dari Batam. "Hmm?" Jay berbalik memastikan. Mencari kejelasan didalam binar mataku. Aku melepaskannya. Tubuh kami kembali berhadapan namun posisinya bertukar.
"Aku terima penawaranmu," kataku percaya diri, sambil menjalarkan sentuhan panas diatas kaus hitam yang bersembunyi di balik jaketnya. Jay sumringah seakan tertarik sekali dengan pergerakan lenganku pada dirinya, elusan lembut yang dibuat-buat ini bekerja juga ternyata.
Jantungku nyaris menyerah, bisa gila betulan kalau begini caranya. "Jadi masih ingin tidur denganku?" tanyaku memastikan lagi, seraya mengatur ekpresi wajah se-seduktif mungkin. Jujur, aku muak dengan diriku sendiri saat menengadah begini pada Jay.
Lagipula definisi tidur kan banyak. Hah! aku selalu membayangkan romansa singkat. Mendaki gunung bersama pacarku kelak, menikmati matahari terbit ditemani segelas cokelat panas. Serta api unggun yang menjadi saksi, bahwa kita saling mempercayai.
Sedihnya, yang teralami sekarang justru bergenre erotis dengan pria yang baut-baut kesopanannya—sudah lepas semua. Nahas sekali hidupku. Jay melirik jemari lentik yang mendarat pada bentukan otot-otot perutnya, mempertemukan lagi tatapan kita yang sempat terputus.
"Selain permintaan maaf, berapa yang harus kubayar?" tanyanya dengan manik berdenyut-denyut. Menandakan ia begitu tertarik, dengan negoisasi yang berjalan dengan lambat ini. Sembari merotasikan bola mata, seolah mempertimbangkan sesuatu."Tergantung sih," jedaku mengambil napas.
"Tapi aku mau kamu basah dulu, bagaimana?" tawarku tidak mau kalah. Dugaan pun tidak meleset, dia tipikal pria yang mudah sekali rontok iman jadi kusarankan setelah pergi dari sini, segera belilah semen, batu bata dan pasir.
"Let's do it honey, you make me turn on at the beginning," balas Jay dengan memilim lembut bibir bawahnya. Baiklah! Dia tidak memberiku kesempatan mengartikan. Selain menuntun langkahnya mundur, Aku disibukkan dengan bagaimana mengalihkan perhatian; membelai area leher belakangnya secara sensual.
Sementara sebelah tanganku yang lain sedang tergopoh-gopoh di belakang punggungnya, mencari sesuatu untuk diraih. Lebih baik lagi jika aku menemukan sebilah parang, agar aku bisa menguliti kearoganannya. Aku menjaga kontak mata dengan Jay demi meminimalisir kecurigaan.
Hingga sepertinya tanganku mendapati benda yang mengeras di sana. Dalam hitungan detik Aku menarik diri dengan elegan dan menyiramkan satu cangkir air minum yang sudah bersuhu normal pada Jay. Dia, terperangah.
"Basah kan?" tanyaku dengan senyum puas. Sangat puas. Ini sudah cukup, "Pergilah..." ucapku lagi melembut. Nyatanya, dunia tengah mempertontonkan dua manusia yang dilanda krisis emosi. Mempertemukan api dengan api agar dapat mendidihkan tungku—yang lebih panas nanti nya.
Aku sudah tidak sanggup lagi, kumohon pergi. Tampak bahu lebar itu bergerak akibat tarikan napasnya yang memburu. "Kau benar-benar memancing amarahku," geram Jay sesudah menyapu droplet air pada wajahnya itu dengan kasar. Jay kemudian menarik paksa lengan pria kurang ajar tersebut.
Menyeretnya seperti anak kucing yang habis mencuri ayam di rumah tetangga. Kira-kira seperti itu. Mereka akhirnya menghilang di kelokan jalan raya, Aku meniti gontai anak tangga sambil berpegangan pada pembatas kayunya. berharap mendapat ketegaran.
Akan tetapi yang ada hanyalah pengap, disertai mengaburnya pandangan apalagi saat melihat Laura yang berada di lantai dasar. "Air mata ini ikutan kurang ajar! Kenapa meluncur sih?"
***
[You got me feeling like psycho, psycho...]
Seminggu berselang, ingar bingar musik k-pop sampai ke gendang telinga dengan mudahnya. Kasihan sekali! burung-burung yang sedang bertengger diatas pelafon saja sampai menerbangkan diri–saking berisiknya. Setelah semalam bergelut dengan serbuan orderan dadakan, tubuhku menuntut minta jatah beristirahat lebih di pagi ini.
Astaga! Tetap tidak bisa. Kepalaku malah berkedut nyeri, saat mencoba lagi menutup mata. "Sepertinya kedai akan ramai lagi kali ini, karena anak-anak yang mengikuti dance cover di taman itu." Laura, berkoar saat nyawaku belum kembali seratus persen. Sambil berusaha mengais tenaga untuk bangun. "Hmmm..." Aku mengiyakan.
Kugerakan kepala dengan malas guna melihatnya. Mataku masih mengerjap beberapa kali, "Mau kemana kau pagi-pagi begini?" Aku bertanya pada adikku. Tidak biasanya dia memakai sneakers, lengkap dengan backpack berwarna biru pastel dan rok plisket putih dibawah lutut dengan manisnya.
"Bersiap membuka kedai!" tukasnya cepat.
Aku tidak yakin akan hal itu. "Tidak biasanya penampilanmu..." lirihku heran, dengan memeta tubuh Laura dari ujung kaki sampai puncak kepala. Aku bahkan menggaruk dengan anarkis, leher polosku yang sempat dicium mesra oleh nyamuk. "Ada yang beda dari gayamu, Lau."
"Dalam waktu dekat, aku harus bisa menggaet salah seorang dari mereka. Kau tahu? Kim Taehyung kriteria idealku, tapi mereka (anak dance cover) juga mempesona saat dilihat dari dekat," jawabnya. Aku mengangguk dan tidak sengaja menguap besar.
Sangat besar hingga dapat membentuk terowongan yang mungkin bisa dilalui oleh cacing Alaska, itu lho yang diburu oleh Sandy dan SpongeBob kemarin. Berani bersumpah! Ini aku masih mengantuk sebenarnya, mataku saja sampai berair dan sedikit perih.
"Oh! iya kak..." Laura seperti berhasil mengingat sesuatu hingga tertegun sebentar sebelum melanjutkan kalau, "Persediaan biji kopi kita sudah menipis," ucapnya sambil menyapukan lipcream berwarna mauve, di atas bibirnya yang lembab dan fluppy. Aku masih rutin berkedip demi menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam mata ketika mendengarkan Laura berbicara.
"Hubungi saja pak Jordy dia bisa mengirimnya kemari. Bila perlu pesan dua kali lebih banyak dari biasanya," balasku setelah memunggungi Laura, demi merapikan sprei putih polos yang kusut ini.
"Biar beliau tidak bolak-balik mengantar juga," imbuhku lagi setelah berhasil menumpuk dua bantal empuk dan melipat bentangan selimut diatas kasur busa bertipe single size. Seraya berbalik menatapnya aku tahu kalau Laura akan bicara lagi, "Aku yang akan mengambilnya ke sana kak," Laura menyahut dua detik setelahnya.
Dia terlihat berputar sebentar di hadapan cermin, pun mengeratkan tali ransel warna khaki yang ditaruh di sebelah pundaknya. Lalu merapikan poni dengan telunjuknya sebelum menarik senyum lebar.
"Lagipula pak Jordy sedang bepergian ke luar kota, untuk dua sampai empat hari kedepan katanya."
Aku dengan tegas melarang. "Tidak boleh! Aku saja yang pergi, tempatnya cukup jauh dari sini." Aku mengkhawatirkannya. Meskipun Laura sudah dewasa untuk memberhentikan sebuah kendaraan umum di halte, naik turun sesuai rute yang ada sampai kendaraan membawa dia ke tempat tujuan, tetap saja aku belum bisa melepasnya begitu saja ke tempat baru.
"T—tapi kak!"
"Aku juga harus membeli beberapa barang lain di sana," Itu sebenarnya hanya alasanku saja, namun sukses membuat Laura bungkam seketika. Tipikal penurut yang malas berdebat.
"Aku akan membuka kedai kalau begitu!" katanya menyerah, sambil memutar lengan guna menjauhkan ransel kosong dari punggung dan memasukan kembali pada lemari.
Aku menghela napas panjang. "Kita tutup saja hari ini. Pergilah hangout bersama teman-temanmu..."
"Kenapa Aku harus bermain, selagi mampu menghasilkan uang?" pernyataannya tidak salah. Hanya saja seakan mengurung Laura
untuk setiap hari selalu di sini juga tidak bisa dibenarkan. Dia juga manusia. Sekalipun jarang berekspresi, aku yakin dia sebenarnya banyak memendam. Aku ingin Laura sesekali keluar, shopping di mall maupun pergi ke beragam tempat yang sedang santer dibicarakan di sosial media. Seperti gadis seusianya. Harusnya dia seperti itu. Aku tahu Laura bakal marah kalau aku menyinggung soal ini lagi. "Lau..." sela-ku mengikutinya menuju daun pintu.
"Ayolah kak! kita sudah membicarakan ini sebelumnya!" adikku kukuh menyergah. Meyakinkan bahwasannya, dia baik-baik saja selama ada di sini bersamaku—dengan rutinitas ini, selalu seperti itu. Toh, teman-teman dia katanya juga jadi sering berkunjung.
"Lau, coba sekali ini saja," pintaku agak khawatir. Laura terus berjalan tanpa menoleh, aku diabaikan tapi masih berusaha membujuk dia sebisa mungkin. "Ini aku yang memintamu jalan-jalan. Aku tidak menuntutmu untuk selalu begini, kok."
Bersambung...