Menyaksikan pribadi dalam balutan sweater merah jambu itu menjauh—menyudahi pembicaraan kami secara sepihak. Sambil menuruni anak tangga dalam tempo yang tidak terlalu cepat, maupun terlalu pelan. Aku menutup pintu, menyambar handuk yang tergantung pada rak besi dan bergegas mandi.
Dibandingkan berdebat lebih jauh, anak itu lebih suka pergi untuk sekedar menghindari pertengkaran yang lebih parah daripada ini. Karenanya aku tidak mau ambil pusing dan nyaris perlu tiga puluh menit untuk bersiap. "Aku berangkat Lau," pamitku ketika melewati meja bar dan di sana ada adikku yang sedang menggiling biji kopi dengan khidmat. "Okey, hati-hati dijalan!" serunya namun aku malah memaku di pijakan. "Apa ada yang tertinggal?" tanyanya lagi.
"Bukalah lowongan pekerjaan untuk dua orang!" Aku memutar pandangan kebelakang, ternyata dahi Laura sudah tertekuk seperti omelette, "Bukankah kita masih bisa mengurusnya?" tanyanya begitu saja.
"Aku memerlukan bantuan, lagipula nikmatilah hidup selayaknya manusia. Terutama kau Lau! Sering-sering lah keluar kalau tidak mau berdebu di dalam sini. Nanti berubah jadi ubur-ubur baru tau rasa lho," ancamku. "KAKAK!" teriak Laura spontan. Seraya menghentak-hentakan kaki ke atas lantai.
Seakan menaruh dendam pada persegi keramik beralas karpet motif kayu ini.
"Aku tidak menerima lagi bantahan!" kataku. Sadar mentari telah menunjukkan eksistensinya di pusat cakrawala. Aku segera menggelindingkan diri melalui Taman KotaLaura guna mencapai halte. Hah tepat sekali! ketika aku ngos-ngosan; busnya datang.
Meleset satu detik saja bisa-bisa tertinggal. Aku menempati kursi paling belakang dekat jendela. Membulatkan tekad menyumpal telinga dengan AirPods. Namun saat melihat ke samping malah jadi terkejut, ada pria gondrong mengejar bus yang sedang melaju ini.
"BERHENTI! BERHENTI!" teriaknya sambil berlari kencang.
Aku lantas melapor pada supir. "Ada orang di belakang pak!" Bus lalu berhenti hingga pintunya bergeser mengirim debum lirih sebelum menutup. "Terima kasih," ucap pria dengan setelan denim lusuh dan cargo pants hitam pada supir tersebut.
Manik nya celingukan mencari tempat, dan secara kebetulan di sebelahku kosong, "Boleh duduk disini?" pintanya, aku mengangguk dengan senyum tipis sebagai respon.
Menit demi menit terlarut dalam hening. Hingga ponsel pria disampingku bergetar, ia lantas mengusap lalu menjawab. "Halo ibu..." lirihnya. "Iya! Aku sedang dalam perjalanan pulang... Pasti... Pasti aku tidak lupa, Baiklah... Aku juga sayang padamu."
Tutupnya manis sebelum sambungan telepon itu terputus. Batinku menghangat mendengar interaksi mereka. Jika saja, "Hey! Melamun?" dia menyadarkanku. Secara mengagetkan aku juga menengok ke arahnya.
"Eh! Valentino Rossi?"
"Bukan!" tegasnya.
Aku membenarkan salah paham ini, "Itu stiker di belakang casing-mu" si pria tersenyum canggung sambil menaruh ponsel ke dalam ranselnya. "Iya betul. Suka juga?" tanyanya berbinar, mungkin bisa jadi pupil matanya berbentuk bintang.
"Lumayan, aku selalu menonton setiap musim race-nya di televisi bersama ayahku. Jadi tahu deh!" Itu dulu. "Kalau gitu ayahmu juga pembalap dong?" tebaknya. Aku menggeleng pelan seraya menarik senyum tipis, Ayah bukan pembalap. "Dia seorang polisi."
Pria di sampingku menghela napas panjang. Juga sering tertawa karena hal-hal sepele yang aku lontarkan. Aneh sekali, "Namamu siapa?" tanyanya setelah sekian jam. "Kamila, kalau kamu?" Pria itu hanya menatap kosong. Keramaian pengendara lain seperti berhasil mengalihkan pemikirannya.
"Tidak punya nama?" tanyaku lagi.
"Ah maaf... di sini pak!" Dia menyahut pun membentangkan gigi sesudah menjambret jepit rambut ku, "Akan kujawab ketika aku mengembalikan ini padamu." teriaknya dari luar kendaraan, kedua tangannya diangkat ke udara.
Setelah menepi di daerah yang sama tidak kuketahui persisnya. Bus kembali meluncur. Barulah setelah menempuh empat jam perjalanan benda ini menurunkanku di sebuah pasar tradisional, kental sekali dengan suasana pedesaan. Aku mulai menyisir setiap kios, hingga melewati beberapa pedagang angkringan.
Seorang ibu-ibu tidak sengaja menyenggol. "Aduh maaf..." kata beliau kerepotan dengan barang bawaannya. "Tidak apa-apa." Aku memungut tasnya yang jatuh lalu memberikannya. Aku terpukau dengan barang-barang unik yang mereka (pedagang) tawarkan.
Nada notifikasi mencuat dari balik saku highwaist hitam yang ku kenakan, itu adalah pesan singkat dari Karina. Bertanya apakah aku sudah menemukan tempatnya. Ya ampun! Refleks memaksaku menjelajahkan pandangan.
Setelah menyusupkan kembali ponsel kedalam tas, melanjutkan langkah yang sempat membawaku terlalu jauh. "Sebenarnya toko Pak Jordy di sebelah mana?" Aku menyusuri blok demi blok yang malah mengantarkan ku ke tempat sepi. Hanya ada beberapa orang.
Itupun para kuli pikul barang dagang, dan sisanya karung-karung besar yang entah apa isinya di kios dan ruko-ruko yang belum berpenghuni. Atau tidak sama sekali? Entahlah. "Ada yang bisa ku bantu?" suara berat pria tiba-tiba mengalun, aku menengok. Bukan hanya satu ternyata empat orang.
"Tidak ada! Aku sedang menunggu pacarku disini" Aku kembali berjalan meneruskan langkah yang entah kemana dengan cemas. "Bukannya dari tadi sendirian?" tanyanya. Tanganku dingin, dan jantungku merinding minta diselamatkan. Apa dia dari tadi sudah mengawasiku?
Aku terus berjalan karena mereka masih membuntuti, "Dia tadi membeli sesuatu di sana!" Sambil menunjuk acak suatu kios tidak berpenghuni. Gelak tawa para preman pasar ini langsung terdengar, "Jadi hantu bekas penjual gorden itu pacarmu?"
Lain kali aku akan mengambil kelas berbohong, biar bisa mahir memanipulasi demi menyesuaikan situasi yang tidak diinginkan. Bisa-bisanya aku terlihat bodoh di hadapan mereka. Tanganku gemetar, hingga terpaksa disembunyikan di dalam saku jaket kulit berwarna merah tua yang dikenakan.
Giliran preman berambut gimbal khas reggae membujuk, "Ayo aku antar sampai jalan raya."
Terus berjalan seolah tidak mendengar apa-apa, "Tidak usah," kataku menolak, dengan perasaan yang semakin tidak enak. Aku melewati mereka semua dan setelahnya tanganku terasa ditarik hingga kembali ke tempat semula. Jantungku langsung berdetak kacau.
"Hei, aku sedikit memaksa!" ancamnya dengan intonasi meninggi. Aku menghempaskan tanganku dari preman bertubuh kurus ini. "Jangan menyentuhku!" lalu berlari sekuat tenaga dan menikung diantara ruko barang elektronik. Sudah lama tidak marathon seperti sekarang, tubuhku perlu waktu, aku capek.
Perut pun sudah terasa spastik. Hingga mataku memicing menahan pedih. Astaga! Area belakang pasar ini dipenuhi pepohonan rindang, sinar matahari nya jadi terhalang. Jalan setapaknya juga semakin menurun dan terjal.
Belum lagi suara beragam serangga yang membuat bulu kuduk siapa saja yang melewatinya bergidik. Sayup-sayup langkah manusia yang berlarian terdengar lagi. Membuat rasa kalut semakin menggila. Dengan napas yang berantakan aku melirik kebelakang dan srrak!
Batu yang kupijak tergelincir hingga lutut yang menumpu tubuhku terantuk cepat pada tajamnya kerikil. Rasa menyengat datang sedetik setelahnya. "Arrggh!" Otomatis mengerang saat melihat jeans hitamku robek dengan lutut yang berdarah—tertatih dengan mengkhawatirkan.
Di belakang sana ternyata tidak ada apa-apa. Aku menghela napas panjang, meraih ponsel yang bersemayam dengan nyaman di dalam tas hijau tua yang bersilang di pundak guna menelepon pak Johan; menanyakan secara pasti ruko miliknya agar tidak ada lagi yang namanya tersesat.
Harusnya dari tadi begini, aku geram pada daun-daun surian kering yang berjatuhan, serta para rerumputan yang seolah mentertawakan kebodohanku di jam sepuluh pagi ini.
***
"Kau bisa membawanya, Kak?" tanya salah seorang karyawan Pak Jordy. Ia menyerahkan tote bag berisi sepuluh kilo kopi yang kupesan. "Tentu saja, terima kasih," ucapku setelah menjinjing tas tersebut dari lengannya.
Kuserahkan beberapa lembar uang tunai padanya, "Sepertinya kau terluka?" Pemuda itu bertanya ketika melihatku. Aku menjawab dengan santai, "Iya nih, gak sengaja terpeleset." Seharusnya memakai sepatu kets saja kalau tahu akan datang ke daerah pelosok begini.
Setelah keluar area pasar sesuai arahan dari pemuda tersebut, aku segera menyusuri jalan kecil yang akan menuntunku menuju halte. Pemukiman masih sedikit sekali di daerah ini, lalu lalang kendaraan pun terbilang cukup jarang.
Yang ada hanyalah hamparan perkebunan teh luas dengan beberapa saung. Aku nyaris terhipnotis dengan indahnya pemandangan ini, lelahku terbayarkan. Meskipun tak tau harus sejauh mana lagi berjalan. "Larimu buru-buru sekali, kami tidak sanggup menyusulnya."
Ketika menengok ke belakang, dan melihat pria bertubuh kurus itu lagi. Mataku membulat tidak percaya, saat ia mengeluarkan sapu tangan dari celana jeans robek lengkap dengan rompinya itu. Detik itu juga. Aku yakin hidupku akan berakhir mengenaskan.
Bersambung...