"Tuh kan mulai lagi. Please! Tuan Saga, kalau mau bercanda jangan main potong gaji dong, serem!" Dengan terpaksa Bian pun kembali naik ke kursi depan, walaupun ia merasa sedikit tidak senang dengan ancaman gaji yang selalu diutarakan kepadanya.
"Ya abisnya kamu sendiri banyak ngomong."
"Iya deh iya, ah salah lagi." Bian pun menutup mulutnya.
Berbeda dengan Bella yang benar-benar tidak menyangka ketika ia melihat banyak orang yang terus berdatangan ke rumahnya. Terlebih di saat ia melihat sebuah tulisan di atas papa bunga atas ucapan belasungkawa kepada ayahnya.
Bagaikan dalam mimpi ketika ia mengetahui tentang kabar ini, namun Bella berusaha untuk tetap tenang walaupun saat itu kakinya terasa begitu lemas, dan rasanya sudah tak sanggup untuk berdiri.
Ketika ia mencoba untuk berjalan pelan-pelan dengan air mata yang mulai mengalir deras, namun ia mencoba untuk kembali tidak percaya pada kenyataan yang sekarang berada di depan matanya.
"Ini tidak mungkin, aku pasti salah lihat kan? Tidak mungkin." Bella bergumam dengan kekuatan yang mulai perlahan hilang dari tubuhnya.
Semua harapannya yang besar ternyata salah tempat, ia telah salah berpikir bahwa semua ini hanya mimpi. Namun sekarang, ia menatap dengan tatapan yang tidak adalagi keceriaan di dalam dirinya saat melihat ayahnya yang sedang terkulai lemas tak berdaya.
"Ayah, kenapa tiba-tiba seperti ini?" batinnya Bella.
Dengan perlahan Bella berjalan mendekat agar bisa memeluk tubuh ayahnya. Namun tiba-tiba saja, Fiona secara sengaja mendorong tubuhnya di depan banyak orang. Begitupun dengan Elena yang ikut berdiri tanpa membantu dirinya.
"Fiona, Elena. Ada apa dengan kalian berdua? Kakak hanya ingin memeluk tubuhnya ayah." Bella benar-benar tidak mengerti dengan sikap kedua adiknya sekarang. "Bahkan aku juga tidak tahu dengan penyebab kematian ayah."
"Oh, sekarang kakak mau peluk ayah, begitu? Lalu kemarin-kemarin kakak ke mana saja? Ayah yang sampai harus masuk ke rumah sakit juga tidak kakak hiraukan, dan bahkan kakak juga membuat pernyataan palsu agar aku bisa menjemputmu. Tapi, nyatanya, semuanya bohong, dan semua ini karena mu, kak. Kamu telah membuat ayah kita pergi," geram Elena di depan banyak orang.
"Apa maksudnya ini, Elena? Aku benar-benar tidak paham." Bella sampai tercengang dengan apa yang sekarang ia dengar. Ditambah tidak ada orang yang sedang membelanya, dan bahkan ia mendengar cibiran dari beberapa ibu-ibu yang sedang berkumpul di dekat peti ayahnya.
Cibiran dengan sadis yang jelas-jelas Bella dengar, ia disebut sebagai anak yang tidak berbakti dan segala hal ucapan buruk tentang dirinya. Tanpa mereka semua tahu dengan kebenarannya. Begitupun dengan Fiona yang datang-datang juga sudah membawa selembar kertas berserta dengan tanda tangan dari penjabat desa.
"Jangan berpura-pura bodoh, kak. Aku tahu kalau kamu sudah tidak lagi peduli dengan kami karena kamu telah menikah dengan pria kaya raya, meskipun dia cacat. Tapi, anehnya, kamu sampai melupakan jasa ayah yang sudah membawamu ke dalam keluarga kaya itu. Sekarang jangan lagi pikir kalau aku dan Kak Elena akan mengganggap kamu sebagai kakak kami berdua. Sekarang pergilah dari sini, jangan mengotori kepergian ayah dengan perbuatan kotor mu!" geram Fiona dengan disertai cacian yang semakin kejam.
Sontak membuat Bella terkejut dengan pernyataan yang sekarang Fiona berikan. Terlebih ia tidak paham kertas itu gunanya apa? Sebab, sebuah keluarga yang terlahir dengan darah dan daging yang mengalir diantara mereka tidak akan bisa terputus hanya karena selembar kertas.
"Fiona, tolong dengarkan penjelasan kakak dulu. Semua ini salah paham. Elena, kamu pasti ingin mendengar kakak kan? Biasanya kamu yang selalu bisa mengerti dengan kakak." Bella tetap mencoba agar bisa berbicara baik-baik dengan kedua adiknya.
Namun sayang, Elena pun ikut-ikutan menggelengkan kepalanya sembari berkata. "Itu dulu, kak. Tapi, tidak dengan sekarang karena bagiku, kakak telah tiada."
"Jangan berucap seperti itu, Elena. Aku masih kakak kandungmu."
"Ya, kakak memang kakak kandungku. Tapi, aku tidak menyangka bahwa kakak kandungku telah begitu jahat dengan keluarganya sendiri," bantah Elena yang tetap bersikap egois.
"Tunggu apalagi, kak? Pergi dari sini agar ayah bisa pergi dengan tenang," usir Fiona sampai menunjukkan tangannya.
Tak tahu lagi bagaimana caranya agar bisa membuat kedua adiknya mengerti dan bisa percaya. Namun semua ini, telah membuatnya benar-benar sakit hati. Tetapi, dia begitu ingin sekali memeluk tubuhnya ayah untuk terakhir kalinya, walaupun semua itu hanya akan menjadi sebuah mimpi terbesar yang tak dapat bisa ia raih.
Akan tetapi, Bella masih tidak ingin pergi, dan berharap bisa tetap menghadiri acara pemakaman ayahnya. "Aku akan tetap di sini sekalipun kalian berdua ingin memusuhi ku."
"Pak, tolong bawa dia pergi dari sini," ucap salah seorang wanita lansia dari kerabat pihak keluarga ayahnya.
"Budhe, aku mohon jangan usir aku." Bella mencoba bertahan, dan bahkan ia melawan diri di saat kedua tangannya dipegang erat.
"Pak, cepat bawa dia dari sini."
"Enggak! Aku enggak mau pergi. Aku masih ingin melihat ayahku, lepaskan aku!" Bella sampai berontak, namun sayangnya kekuatannya tidak sebanding kuat dengan kedua pria yang sedang menarik tangannya itu.
"Lepaskan istriku!" tegas Saga yang datang tiba-tiba. Di saat ia sedang menunggu di dalam mobil, Saga bersama Bian merasa heran hingga akhirnya mereka memilih turun.
Bian datang dengan mendorong kursi rodanya Saga, dan ia berdiri di depan dengan memegang sebuah pistol agar tidak membuat mereka semua semakin semena-mena dengan istri tuannya.
"Nona Bella, sebaiknya kita pergi. Ini demi kebaikanmu," pinta Bian dengan perlahan.
Membuat Bella mengabaikan ucapan Bian, dan melangkah mendekat kearah suaminya, ia berlutut sembari berkata dengan matanya yang berkaca-kaca. "Mas Saga, kamu percayakan padaku kalau bukan aku penyebabnya? Aku bahkan tidak tahu apapun. Bisakah kamu membantuku demi membuat kedua adikku kembali percaya? Please!"
"Sayang, aku akan membantumu, tapi nanti. Sekarang sebaiknya kita pergi saja karena aku tidak ingin melihatmu harus dihina seperti ini," sahut Saga sambil ia mengusap wajahnya Bella. "Hanya aku seorang yang bisa menyakitimu, Bella. Tidak dengan mereka," batinnya."
"Sebaiknya turuti saja ajakan dari Tuan Saga," timpal Bian.
Walaupun hatinya begitu berat untuk dapat menunggu ruangan ini, namun ia tidak memiliki pilihan lain yang bisa ia lakukan saat ini. Bahkan Bella merasa tidak ada lagi semangat dalam hidupnya.
Dengan sangat terpaksa, Bella pun mengangguk perlahan ketika harus meninggalkan rumahnya sendiri. Di mana ia merasa sudah tak lagi dibutuhkan di sini, dan bahkan diusir dengan cara yang kejam.
Namun, dalam benaknya Bella, ia sama sekali tidak membenci kedua adiknya apalagi menaruh dendam, tentu saja tidak akan. Baginya, adiknya juga sumber kebahagiaan kedua setelah ayahnya yang pertama.