"Kak, tolong kasihin rendang buatan ibu ke keluarga Diga ya. Cepetan keburu dingin, nggak enak," perintah ibu yang melihat Kai sedang bersantai di depan TV bersama dengan sisa-sisa keripik balado yang ibunya bikin tadi pagi.
Kai langsung berdiri dan membereskan serpihan keripik yang jatuh pada karpet merah miliknya. Hari ini hari sabtu waktunya anak sekolah seperti Kai berleha-leha.
"Iya bu."
Kai langsung beranjak dari duduknya dan berjalan mengarah ke dapur untuk mengambil rantang berwarna hijau muda yang berisi rendang serta lauk yang lainnya untuk di berikan kepada keluarga Diga.
Ibu Diga dan Kai memang sering bertukar makanan sejak dahulu, bukan karena mereka tidak mampu untuk membuat atau membeli tetapi dengan begitulah hubungan mereka menjadi erat, tetapi untuk beberapa tahun ini kebanyakan adalah ibu Diga yang memberikan makanan kepada keluarga Kai karena mengetahui kondisi keluarganya yang sedang tidak baik-baik saja.
Di perjalanan yang sangat cerah di bawah terik matahari yang seolah menyoroti siapapun yang berjalan di bawahnya, Kai melihat seorang kakek sedang memikul jualannya yaitu pisang dengan berjalan kaki.
Hati mana yang tidak terenyuh melihat seorang kakek tua yang seharusnya di umurnya yang segitu sudah saatnya bersantai menikmati hari tuanya, tetapi di kehidupan yang kejam ini tidak mengenal umur. Apakah dengan kita tua, akan ada manusia lain yang dengan suka rela menghidupi kita?
"Berapa pak?" tanya Kai seraya tangannya memilih pisang yang berada di keranjang.
"10 ribu, dek," ucap bapak tua itu dengan nafas yang terengah.
"Mau ya pak, satu."
Kai membeli satu sisir pisang untuk di bawa ke rumah Diga.
"Assalamualaikum," teriak Kai seraya memarkirkan sepedahnya di halaman rumah Diga yang penuh dengan tanaman.
Saat ia masuk ke halaman rumah Diga terlihat mobil berwarna hijau tentara Indonesia yang terparkir dengan rapih, pertanda bahwa ayah Diga sedang berada di rumah.
Beberapa kali ucapan salam di teriakan oleh Kai tetapi tidak ada jawaban, Kai dengan santai mencoba masuk dengan wajah yang celingukan untuk memastikan bahwa ada orang di dalam rumah ini.
"Dor!"
"Eh, om. Ya ampun udah lama banget nggak liat, makin ganteng!" puji Kai kepada ayah Diga. Kai memang dekat dengan kedua orang tua Diga mungkin kedekatan Kai dan ayah Diga melebihi kedekatan Diga dengan ayahnya.
"Bisa aja kamu. Liat dong kumis om, udah keren belom?"
"Haduh, bisa aja kamu. Biar semua orang tau kalo kumis kamu baru?" sambar ibu Diga yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Tante. Ini ada lauk dari ibu," ucap Kai sambil memberikan rantang.
Selesai bercengkrama dengan kedua orang tua Diga, Kai langsung naik ke atas untuk menghampiri sahabatnya itu karena ia tau pasti Diga sedang tidur di saat liburan sekolah seperti ini.
Kai membuka kamar Diga dengan tidak mengetuk pintu karena niat untuk mengagetkan sahabatnya, saat ia masuk betul saja ada manusia di dalam selimut dengan AC yang sangat dingin di kamarnya.
Terlihat laptop Diga yang masih menyala, bukan Kai namanya yang tidak kepo dengan kehidupan sahabatnya.
"10 cara mengungkapkan perasaan."
"Bagaimana cara menulis surat untuk orang yang kita sukai."
Sebuah kata kunci terakhir yang berada di halaman google Diga.
"Cieee. Elahhh," ucap Kai sambil tangannya mengelitiki peru Diga.
"Ih. Apaan si lu," ujar Diga sambil memukul pelan tangan Kai.
"Asyikk! Mau ngungkapin perasaan ke siapa sih? Sampe searching segala di google," goda Kai.
"Berisikkkk ihhhhh!!!! Sanaaaaa, ganggu aja!" ujar Diga sambil menendang paha Kai.
Kai tidak lantas menyerah untuk membangunkan sahabatnya ini, ia terus menjahili Diga dengan berbagai cara agar dirinya bangun.
* * *
"Kamu kalo kerja yang bener dong," ucap salah seorang pemilik rumah makan padang yang berada di dekat sekolah Raya.
"Iya, bu. Maaf."
Di sebuah rumah makan padang yang lumayan terkenal, Raya mencoba untuk membantu perekonomian keluarganya dengan bekerja mencuci piring disana, sudah hampir satu bulan Raya setiap akhir pekan merelakan waktu liburnya untuk mencari uang.
Keadaan memaksa Raya harus melakukan itu tanpas sepengetahuan kedua orang tuanya dan kakaknya. Raya menutupi semua ini karena jika ketahuan oleh mereka semua ia sudah pasti akan di hakimi.
Sebelumnya saat di rumah Raya berpamitan dengan sang ibu yang sedang menggoreng keripiki sejak pagi tadi.
"Bu, Raya mau kerja kelompok dulu ya," ucap Raya.
Kakanya yang sedang asyik membungkuskan keripik di depan TV langsung menatapnya sinis.
"Kerja kelompok terus setiap minggu. Kamu kerja kelompok atau main?" ujar sang kakak menghakimi adiknya.
"Ini uangnya. 10 ribu cukup?" ucap ibu sambil merogoh koceknya.
"Cukup bu, buat ongkos."
Saat Raya sedang memakai sepatu lengkap dengan kaus kakinya, Kai menggerutu hingga terdengar di telinga sang adik.
"Kamu kerjaannya kerja kelompok terus. Minta uang juga lagi! Nggak tau ibu lagi kesulitan cari uang, ya?"
Ucapannya tidak di indahkan oleh Raya, ia langsung berjalan dan mengucapkan salam membuat kakanya semakin jengkel dengan perilaku adiknya.
Raya berjalan menuju rumah makan dengan hati yang seperti teriris setiap harinya, ia juga mengerti bahwa kehidupannya tidak sama seperti dahulu. Perihal uang sepuluh ribu yang di berikan oleh sang ibu, itu adalah sebuah bentuk strategi bagi dirinya agar tidak di curgai karena pergi tidak meminta uang.
* * *
"Iya. Katanya ada promo buy 1 get 1 di mie yamin yang baru buka depan mini market," ujar Farhan yang baru saja sampai di kamar Diga.
Farhan sengaja bermain ke rumah Diga sekaligus memberikan buku matematika yang ia pinjam.
Farhan melirik ke arah laptop yang masih menyala di meja belajar Diga lalu ikut membaca artikel yang ada di layar laptop tersebut.
"Hahaha. Lo obses banget, Ga. Sampe searching cara bikin surat yang bagus buat ungkapin perasaan," celetuk Farhan sambil tertawa kencang membuat Kai juga ikut tertawa bersamanya.
"Ya, kan, Han? Dia kayaknya antusias banget buat ikutan itu, padahal dia paling males kalo ada acara di sekolah."
"Dia lagi suka sama siapa sih, Han?" tanya Kai kepo.
Farhan menggelengkan kepalanya berusaha memikirkan nama yang akan ia ucapkan.
"Ah berisik lu pada. Ayo makan mie yamin," ucap Diga sambil melemparkan dua bantal kecil ke arah wajah Kai dan Farhan seolah tidak mau di usik perihal artikel yang sedang ia baca.
Setelah keluar dari rumah Diga, Farhan semakin meracau perihal acara surat menyurat. Heran, dua manusia ini yang di sekolah sangat pendiam bisa menjadi berisik sekali di hadapan Kai.
"Gue bilang sama Diga. 'Ga, selagi janur kuning belum melengkung lo masih bisa ngungkapin perasaan' dia diem aja. Nggak jelas nih emang manusia," ujar Farhan.
Kai tertawa kencang meskipun di dalam hatinya banyak pertanyaan mengenai siapa manusia yang akan ditulis dalam surat Diga.