Sherina baru saja masuk ke dalam sekolah melalui pintu belakang karena ia diantar oleh ojek online dari arah utara, baru saja beberapa langkah kakinya memasuki sekolah sudah terlihat dua manusia laki-laki dan perempuan sedang tertawa seperti asyik dengan dunianya sendiri.
"Woy!" sapa Sherina kepada Diga dan Kai yang sedang menertawakan guru di sekolah karena wajah pak Johar terkena koran besar yang terhempas oleh angin.
"Widihh, cewe cantik mau lewat, Ga," ujar Kai sambil memberikan jalan kepada Sherina dan diikuti oleh Diga.
"Ih apaansih lo! Ga, titip salam ya sama Rifaldy. Hehe," ujar Sherina menggunakan mata genitnya. Rifaldy adalah laki-laki tampan yang ada di kelas Diga membuat semua perempuan tergila-gila olehnya.
Saat mereka bertiga sedang asyik bercanda gurau terdengar suara yang sangat Kai tahu, suara yang ngebas serta serak yang merupakan ciri khas dari Nanang.
"Pagi," ujar Nanang matanya menatap ke arah Kai yang kala itu sedang terpesona oleh suaranya.
Kai diam seolah menjadi patung yang kehilangan arah, kedua temannya ikut terdiam karena tidak mau mendahulukan menjawab sapaan dari Nanang.
"Eh,, iya kak. Pagi juga," jawab Kai terbata-bata.
"Nanti jangan lupa ya, pengambilan surat di aula OSIS. Jangan lupa bilangin sama ketua kelasnya, oke," ujar Nanang mengingatkan sambil matanya ia kedipkan membuat jantung Kai semakin bertdetak tidak karuan.
Setelah bertegur sapa dengan Nanang mereka bertiga langsung berbelok ke lain arah, Diga yang kelasnya berada di sebelah kiri sedangkan Sherina dan Kai yang berada di sebelah kanan.
Tangan Sherina mengenggam tangan kiri Kai berjengit karena melihat Rifaldy yang sedang berjalan dari arah kelasnya.
"Ganteng banget, ya ampun!" ujar Sherina pelan tetapi sangat jelas.
"Lebay," ujar Kai.
Sherina hanya bisa memajukan bibirnya karena melihat respon Kai yang seperti itu.
* * *
Ada sebuah ketenangan setiap kali Diga melihat angin yang berhembus semaunya, menyapu partikel kecil yang ada di sekitar sekolah. Di dalam pikirannya, apakah kita sebagai manusia bisa melakukan hal semaunya seperti angin? Atau kita terjerat pada sebuah peraturan yang sudah di sepakati dari dahulu?
"Ga, ajarin gue ini dong," ujar Farhan tiba-tiba memecah lamunan Diga.
Diga langsung menarik pelan buku Fisika milik Farhan, sudah banyak coretan di atas kertas itu pertanda bahwa Farhan sudah mencoba tetapi belum menemukan jawabannya.
"Ini?" tanya Diga sambil menunjuk ke nomer soal yang masih kosong dari jawaban.
Farhan menganggukan kepalanya pelan di barengi dengan Diga yang langsung menarik pensil 2B yang sudah tumpul dari tangan Farhan.
"Kalor sebesar 3,0 kkal diberikan pada suatu sistem sehingga timbul usaha sebesar 2,6 kJ. Besar energi dalam yang dihasilkan pada proses tersebut adalah …. (1 kal = 4,2 Joule)," ucap Diga mengulang soal yang ada di buku Fisika.
"Lo udah tau belum ini pake cara apa?"
"Belom. Hehe," jawab Farhan polos sambil menggaruk kepalanya.
"Pake hukum termodinamika ke-1. Coba kerjain, nanti gue periksa," ujar Diga memberi petunjuk kepada Farhan yang sedang tersesat di Fisika.
Kai : Ga, nanti pulang sekolah mampir ke warung bu Tuti dulu ya. Ambil keripik yang kemarin nggak habis.
Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel milik Diga. Ia langsung menghembuskan nafasnya karena tentu saja pesan itu tidak mungkin dari orang lain hingga panggilan masuk dan keluarnya pasti selalu dari Kai.
Diga tidak membalas pesan itu karena ia sudah pasti akan menemani sahabatnya ini.
"Dah. Selesai!" ujar Farhan kegirangan karena soal Fisikanya sudah selesai.
Sambil merapihkan bukunya ia bertanya mengenai acara surat menyurat yang akan di selenggarakan oleh OSIS awal bulan depan.
"Jadi gimana? Lu udah mikirin surat buat siapa? Haha jangan bilang buat Bella," goda Farhan dengan ketawanya yang seperti tikus terjepit.
Sontak Diga jadi semakin kepikiran perihal surat untuk siapa yang akan ia tulis pada acara nanti, seperti di hujani oleh sebuah rasa ingin berteriak bahwa perasaannya begitu mencuat. Ini seperti kesempatan untuknya tetapi apakah mungkin secepat ini?
Diga langsung beranjak dari duduknya karena sudah mendengar bel istirahat berbunyi. Farhan langsung mengenyahkan sikap Diga.
"Han, ke kelasnya Kai dulu ya. Mau ngasih ini," pamit Diga sambil menunjukan 3 kue pastel yang terbungkus dengan rapih menggunakan plastik.
Sepasang kaki kebingungan sudah berada di depan kelas XII-IPA 5 terlihat tidak ada perempuan yang ia cari. Lantas matanya kesana kemari untuk memastikan bahwa perempuan itu ada di dalam kelasnya.
"Eh, Ga. Nyari Kai?"
Diga mengangguk.
"Tadi dia pergi deh ke bawah, ke lapangan," ujar Putri.
Diga langsung berpamitan kepada Putri dan langsung mencari Kai di bawah. Baru saja ia menginjak anak tangga terakhir terlihat Kai sedang berjalan bersama dengan Nanang tentu saja dengan wajah bahagianya serta suara tertawanya yang sengaja dibuat imut oleh Kai.
"Nih," ujar Diga singkat dan langsung pergi begitu saja.
Kai yang tidak menyadari bahwa Diga sedang merasa cemburu atau malas karena melihatnya bersama dengan Nanang langsung berterima kasih dengan suaranya yang imut.
"Makasih, Diga gantenggg!!!1" ucapnya sambil membungkukan badannya lalu tersenyum dengan lebar.
* * *
Ayah baru saja sembahyang maghrib lalu duduk di teras depan menikmati gorengan yang sudah disiapkan oleh ibu lengkap bersama dengan kopi hitam disampingnya.
"Ayah berangkat dinas minggu depan. Tadi baru di telepom sama pak Suryo mengenai kenaikan pangkat," ujar ayah seraya menyeruput kopi hitam.
"Alhamdulillah. Berarti tahun depan ayah udah bisa sekolah lagi buat naik pangkat," jawab ibu senang.
"Mas, gimana sekolahnya?" tanya ayah yang melihat Diga sedang membuang sampah di balik pintu.
Diga langsung terdiam karena ayahnya yang tidak pernah menanyakan kabar sekolahnya tiba-tiba menanyakan hal itu kepada dirinya. Otaknya tiba-tiba seperti kebingungan harus menjawab pertanyaan dengan jawaban apa.
"Baik, yah," jawab Diga pelan.
"Yaudah. Belajar yang pinter ya, nanti kalo udah lulus SMA cobain masuk akmil (akademi militer) dulu ya. Baru kalau memang nggak masuk, kamu boleh ambil kuliah dimana saja," ujar ayah.
Ibu hanya diam karena melihat wajah Diga yang kebingungan dengan ucapan suaminya itu, karena ibu mengetahui bahwa kemauan Diga tidak ingin menjadi anggota militer seperti ayahnya dan kakaknya.
"Mas, tadi udah beresin baju yang habis di laundry 'kan?" ucap ibu mengalihkan pembicaraan.
"Iya, yah," jawab Diga singkat dan langsung berjalan menuju ke kamarnya.
Beberapa keluarga kurang menyadari bahwa anak mempunyai hak di kehidupannya dalam memilih apapun termasuk tujuan hidupnya dan orang tua hanya berpikir bahwa masa depan anaknya adalah miliknya termasuk keputusan dalam memilih langkah yang akan di ambil setelah lulus SMA.