Chereads / BREAK THE RULE OF FRIENDSHIP / Chapter 17 - Permintaan Maaf

Chapter 17 - Permintaan Maaf

Jika kita mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan rahasia gunakanlah sebaik mungkin. Meskipun ada rasa menakutkan jika rahasia itu terbuka.

Nanang baru saja membagikan form untuk acara bulan depan yang bertemakan "Menyurat untuk yang tersirat" acara ini diselenggarakan sudah atas izin kepala sekolah karena akan di selenggarakan di panggung sekolah.

"Ini," ucap Nanang pada ketua kelas XII-IPA 5 yang merupakan kelas Kai.

"Makasih kak," ucap ketua kelas. Mata Nanang seperti sedang mencari sosok seseorang di dalam kelas itu tetapi ia tidak menemukannyaa.

Jam istirahat pertama sudah tiba Diga yang kala itu dititipkan bekal untuk Kai langsung menghampiri kelasnya tetapi saat ia sedang berjalan bertemu dengan Bella dengan kotak makannya.

"Ga," panggil Bella suaranya pelan.

Diga diam dan menjawab ucapan Bella hanya dengan mimik wajahnya serta alisnya yang di naikan.

"Boleh ngomong sebentar?" tanya Bella.

"Nggak bisa, gue harus nganterin ini ke Kai," jawab Diga.

"Sebentar aja kok."

Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berbicara di dekat musholla karena di sana lumayan sepi dari siswa lainnya.

"Ada apa?"

Bella terdiam sambil memainkan tangannya, mungkin perasaan bersalah sedang menghantui dirinya serta sikap dingin Diga yang membuatnya semakin canggung.

"Maafin gue ya," ucap Bella pelan. Suaranya sangat menandakan sebuah penyesalan yang bercampur dengan rasa malu di dalam hatinya.

"Udah gue maafin kok, sebelum lu minta maaf. Lagian semua manusia pasti punya kesalahannya sendiri," ujar Diga matanya menatap ke lapangan memandang dengan kosong siswa lain yang sedang bermain bola.

Tangan Bella semakin gemetar mendengar ucapan Diga. Minggu lalu Bella putus dengan selingkuhannya dan ia baru menyadari bahwa tindakannya kemarin kepada Diga adalah hal yang paling menyakitkan dan ia ingin membenarkan semua masa lalunya bersama Diga dengan cara meminta maaf, tetapi nasi sudah menjadi bubur.

"Aku baru putus kemarin sama Keanu. Aku minta maaf atas kejadian yang kamu liat di tempat makan beberapa bulan yang lalu, aku minta maaf, Ga."

Kata maaf memang menjadi senjata bagi setiap yang bersalah dan memaafkan adalah kewajiban bagi yang disakiti, tetapi kita juga harus menyadari dengan kata maaf semua tidak akan bisa seperti duli lagi. It's not the same as it was.

"Aku bilang, aku udah maafin kamu. Tapi untuk bisa balik seperti dulu, aku mintaa maaf karena nggak bisa. Kamu ngerti seberapa besar rasa percaya aku sama kamu? Bahkan, aku nggak pernah cek hape kamu. Kamu tau aku orang yang susah buat bisa deket sama perempuan, kecuali Kai tapi kamu khianatin semua itu," Diga diam menelan ludah yang sudah ada di kerongkongannya "aku udah maafin kamu, Bel. Tapi untuk bisa balik kayak dulu, aku nggak bisa," ujar Diga dan langsung berdiri dari duduknya.

"Ga!" panggil Bella dan Diga yang melanjutkan langkahnya.

* * *

"Diem aja sih, lo lagi cepirit?" ucap Kai di perjalanan pulang dari sekolah sambil menuntun sepedahnya karena mereka baru saja membeli es krim di sebuah mini market dekat sekolah.

"Kenapa ya, orang bisa mudah minta maaf lalu berpikir bahwa semuanya akan bisa balik lagi kayak dulu. Maksud gue, kenapa di saat melakukan kesalahan itu nggak mikir bahwa itu akan menjadi kesalahan yang membekas," ujar Diga di tengah teriknya panas matahari.

Kai bingung karena tiba-tiba Diga berkata seperti itu.

"Hah? Maksud lo? Lo lagi nggak kesambet 'kan?"

"Nggak. Gue serius. Tadi pas mau anter bekel ke kelas lo, dia narik gue buat ngobrol dan cerita kalo udah putus sama selingkuhannya," jelas Diga membuat Kai langsung menyeringitkan dahinya.

"Wow. Berani juga tuh anak, kalo ada gue udah gue semprot habis-habisan. Udah nyakitin lo sekarang minta maaf seenaknya," ucap Kai.

"Nggak perlu kayak gitu, Kai. Gue udah maafin, tapi gue cuma bingung kenapa manusia ngelakuin hal yang udah tau salah tapi masih aja dijalanin."

"Ya namanya manusia tempatnya salah. Kita juga nggak tau apa yang ada di dalam pikirannya pas ngelakuin itu, meskipun itu salah tapi kita tetep nggak ngerti apa yang ada di dalam pikirannya. Jadi, ya yaudah kalo lo udah bisa maafin tapi gue belum puas kalo belum marahin tuh nenek lampir," jelas Kai tangannya di kepal kuat seolah ingin memberi pukulan hebat ke wajah Bella.

"Ya sih. Yaudah lah. Eh kelas lo udah di bagiin form buat yang acara OSIS surat-surat itu?" tanya Diga mengalihkan pembicaraan.

"Udah. Kelas lo?"

"Udah juga."

"Mau nulis buat siapa ya kira-kira. Hmm, bingung," ujar Kai tangannya berada di kepalanya seolah sedang berpikir serius.

"Nanang. Nanang nggak sih?" ujar Diga.

Dua insan yang sedang berjalan menyusuri kepadatan mobil dan motor ada pemikiran yang searah pada satu titik. Apakah ini menjadi sebuah kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dengan tidak memunculkan identitas sebenarnya atau ini hanya sebuah kesempatan untuk para pengecut yang mengumpat dari segala resiko.

"Ah udah lah masih lama. Masih bulan depan, pokoknya gue mau bikin surat yang bagus buat seseorang," ujar Kai.

* * *

"Assalamualaikum," ucap Kai sesampainya di rumah. Terlihat Raya sedang duduk di depan TV dengan kaki yang di naikan ke atas tembok dan tangannya yang sibuk memainkan ponselnya.

Tidak ada jawaban yang terucap dari mulut Raya hanya terdengar suara kecil dari dapur, ibu yang menjawab salam Kai.

"Kamu nggak denger aku tadi ngucain salam? Atau telinga kamu udah ketutupan sama musik korea-korea?" ujar Kai kesal.

Raya tidak mengindahkan ucapan Kai, ia langsung beranjak dari duduknya dan pergi ke kamarnya.

Terdengar suara pintu terbanting dengan sangat kencang membuat Kai berjengit seketika, hatinya geram ingin sekali membalas perlakuan sang adik dengan sebuah tindakan yang tidak mengenakan juga tetapi ada banyak halangan yang membuatnya tidak seperti itu.

"Dari mana aja kamu, Kai?" tanya ayah dari balik pintu kamar mandi. Sebuah pemandangan yang tidak biasa bagi dirinya melihat sang ayah masih ada di rumah pada malam hari.

Kai diam tidak mengindahkan ucapan sang dirinya lebih memilih untuk langsung naik ke atas menuju kamarnya.

"Makan dulu ya, jangan lupa mandi juga," teriak ibunya dari dapur.

Ada perasaan sesak di dada Kai ketika melihat seisi di rumahnya berubah, perubahan yang tidak menyenangkan dan tentu saja membuat dirinya semakin tidak ingin berlama-lama ada disini.

Kai seperti ingin lari dari kenyataan bahwa keluarganya yang membuat ketakutan itu semakin ada, kecemasan semakin menumpuk dan rasa sakit yang tidak pernah bisa ia hilangkan, terutama sang ayah. Entah bagaimana, seorang anak yang dahulu sangat dekat kini seperti nadi dengan mataharinya jauh sampai tidak ada rasa setiap kali bertegur sapa.