Hari kian malam, Diga yang baru saja pulang dari sekolah pada jam setengah enam sore langsung masuk ke dalam kamar karena malas harus bertemu dengan kakaknya.
"Ayo. Diga, makan dulu," panggil ibu dari lantai bawah mengajak Diga untuk makan malam bersama.
Tidak ada jawaban dari lantai atas melainkan hanya kesunyian yang ada, ibunya yang mudah khawatir dengan kesehatan anak terakhirnya ini langsung naik ke atas untuk mengecek kesehatan Diga.
Suara pintu kamar terdengar di barengi dengan suara ibu yang memanggil nama anaknya.
"Ayo dong makan, dek," ajak ibu seraya membuka selimut yang menutupi semua badan Diga.
"Nggak laper bu," jawab Diga.
Ibu langsung menarik tangan kanan Diga memaksa anaknya untuk turun kebawah karena sudah lama tidak satu meja dengan ayah dan kakaknya.
Dengan terpaksa Diga bangun dari tidurnya berusaha mengumpulakan tenaga serta telinga yang kokoh untuk mendengar ejekan dari kakaknya.
Sesampainya Diga di meja makan ternyata semuanya belum ada yang menyendok makanan hanya karena menunggu dirinya.
"Kelamaan deh lu, gue udah laper," ucap Pratama sambil memainkan ponsel miliknya.
Diga hanya bisa terdiam mendengar ucapannya dipikirnya baru saja ia datang sudah disambut dengan kata-kata tidak menyenangkan.
"Mau ayam atau ikan?" tanya ibu seraya mengambil sendok untuk memberikan lauk ke piring Diga.
"Halah. Udah gede aja masih di ambilin makannya," ujar Pratama lagi.
Diga semakin tidak ingin makan mala, tetapi karena menghargai kedua orang tuanya ia rela telinga dan hatinya harus sakit hati.
"Makasih bu," ucap Diga saat ibunya menaruh ayam di piringnya.
Suara denting sendok bergantian masuk ke dalam mulut masing-masing di temani dengan rasa kesal di dalam hati Diga karena melihat kelakuan kakaknya ini.
"Aku kemarin ngelatih prajurit menembak dengan cara yang benar. Oh ya, ayah dapet salam dari pak Gatot katanya sudah lama tidak bertemu," ujar Pratama.
"Oh ya? Iya pak Gatot yang komandan di kesatuan Bandung ya? Ah! Ayah juga udah lama nggak ketemu dia," ujar ayah.
Obrolan mereka berdua terasa sangat nyambung sekali berbeda dengan Diga yang tidak mengetahui apapun perihal senjata, baris berbaris atau semacamnya.
"Ini Diga kemarin juga habis kemah loh. Keren dia bisa tiarap di lumpur," ujar ibu untuk membuat Diga juga berbicara.
"Halah, cuma gitu aja mah kecil," ucap Pratama di barengi dengan tawanya yang sangat mengejek.
Diga banyak belajar dari kakaknya yang selalu mengejek dirinya perihal bahwa mengecilkan orang lain bukan menjadikan diri kita menjadi besar melainkan membuat diri kita menjadi rendah di hadapan orang lain.
Setelah selesai makan malam ibu meminta Diga untuk mengantarkan semangkuk sop daging sapi lengkap dengan oseng-oseng tumis serta ayam goreng dan sambal ke rumah Kai.
"Ini, kamu kasih ke rumah Kai ya. Ibu udah lama nggak ngirim makanan ke rumahnya," ujar ibu sambil memberikan dua kantong plastik berisi makanan.
* * *
"Assalamualaikum," ucap Diga di depan pagar rumah Kai.
Beberapa menit tidak ada jawaban membuat Diga harus sedikit lancang membuka pintu rumah Kai sendiri.
"Ih kok kesini nggak bilang-bilang," ucap Kai yang kaget karena melihat keberadaan Diga di depan pintunya saat dirinya sedang sibuk mengepel rumah.
"Rajin banget nih," goda Diga.
Setelah menunggu Kai seleasai mengepel akhirnya makanan sudah berada di tangan Kai.
"Nih dari ibu. Pada kemana orang di rumah lu? Kok sepi, tumben," ucap Diga sambil celingukan melihat ke dalam.
"Pergi. Ibu kerja di komoplek sebelah kalo Raya katanya kerja kelompok. Tapi sampai larut malam gini belum pulang juga," jelas Kai.
Beberapa menit kemudian saat Kai baru saja mengatakan itu terdengar pintu gerbang rumahnya seperti ada yang buka, Kai kira ibunya tetapi Raya dengan sweater pinknya serta celana jeans yang melekat pada tubuhnya.
"Kemana aja lo? Kerja kelompok kok malah ganti baju? Nggak inget ini udah jam berapa?" tanya Kai ketus.
Raya tidak mengindahkan ucapan kakaknya melainkan langsung masuk ke dalam kamarnya.
"Tuh lu liat 'kan, Ga? Sikapnya udah kayak apaan aja," ujar Kai kesal.
* * *
"Ini ya, form pengisian untuk setiap kelas untuk acara awal bulan depan," ucap Rio pada rapat OSIS yang diselenggarakan senin sore.
Nanang yang kala itu di tugaskan untuk membagikan kertas form langsung semangat karena akan bertemu dengan adik kelas yang lainnya dan tentu saja tebar pesona.
"Mantap. Bisa makin leluasa nih terbar pesona sama adik kelas," ejek Rama yang kala itu duduk di sebelah Nanang.
Nanang terdiam dan langsung berdiri dari duduknya karena rapat sudah selesai. Saat ia keluar dari aula sekolah ia melihat Kai dan Sherina sedang duduk di bawah pohon.
"Hai," ucap Nanang dengan suaranya yang lembut.
Beberapa detik mereka berdua tertegun karena kedatangan Nanang secara tiba-tiba, laki-laki yang tampan menegur mereka!
"Halo," ujar Sherina.
"Lagi pada ngapain?"
"Oh ini kak, lagi nungguin bu Asni buat minta tanda tangan soal kemarin," jelas Kai dengan nada yang lembut karena di dalam hatinya sudah mencuat rasa senang melihat Nanang menyapa dirinya.
"Oh yaudah. Duluan ya," pamit Nanang.
Tidak lama Nanang meninggalkan mereka bedua terlihat bu Asni sedang berjalan di koridor.
"Bu minta tanda tangannya buat tugas ibu," ujar Sherina sambil menyodorkan makalah yang sudah mereka berdua buat.
"Menarik. Dari beberapa makalah yang anak lain bikin, punya kamu yang paling menarik. Memang apa saja yang kamu ketahui mengenai pembullyan di sekolah?" tanya bu Asni.
"Beberapa makalah dan berita serta jurnal yang kita baca bu, pembullyan di sekolah itu presentasenya lebih tinggi dari pada di jalanan. Beberapa ada yang sampai bunuh diri hanya karena di ejek oleh teman sekolahnya dan ada juga yang sampai putus sekolah karena tidak ingin bersosialisasi lagi setelah di ejek habis-habisan oleh temannya," jelas Kai.
Bu Asni adalah guru bahasa Indonesia yang sangat populer denga tugas-tugasnya yang berat tetapi tidak untuk Kai dan Sherina, mereka sangat menikmati setiap tugas yang diberikan olehnya karena memberikan ruang untuk mereka membaca lebih dalam mengenai topik yang akan mereka angkat.
"Nanti kalo udah selesia ibu pinjem makalahnya ya," ucap bu Asni dengan senyuman ramahnya.
Bu Asni juga menjadi guru favorite Kai karena ia selalu mengutarakan dan mengajarkan perihal kemanusiaan kepada siswanya. Beberapa kali sempat ia mengajak kami untuk belajar di luar melihat bagaimana anak jalanan bisa bertahan hidup serta bagaimana mereka menyikapi tentang pembulyan atau bahkan rasa putus sekolah itu sendiri.
Kai dan Sherin pamit setelah mencium punggung tangan bu Asni. Seperti ada rasa lega di dada mereka karena bu Asni sangat tertarik dengan makalahnya.