Aku adalah tanaman yang merindukan mataharinya. Aku adalah siput yang kehilangan cangkangnya. Aku adalah raga yang kehilangan rumahnya.
Terkadang aku ingin melemah dan menunjukan kepada dunia bahwa aku adalah manusia rapuh yang tidak mempunyai benteng pertahanan di setiap masalah aku terlalu selalu menjadi badut pada kehidupanku sendiri.
Namun, aku tahu banyak manusia di luar sana yang tidak benar-benar peduli sampai hal itu terjadi kepada dirinya, sampai mereka merasakan sakit yang tidak bisa di gambarkan oleh kata-kata.
"Kamu itu setiap hari selalu telat pulang sekolah, mau jadi apa kamu?" ucap ibuku seraya tangannya merapihkan tumpukan baju yang berserakan di ruang TV.
Aku sudah menduga rumah berantakan dan baju yang berserakan dimana-mana adalah akibat ayahku yang baru saja pulang lalu bertengkar dengan ibuku dan sudah pasti mempermasalahkan tentang uang.
Semenjak ayahku di PHK 3 tahun lalu keadaan rumahku benar-benar seperti neraka yang tidak berkesudahan, mendengar ibu yang selalu memarahi ayah dan begitupun sebaliknya. Aku hanya bisa diam, memendam semua kekecewaan ini sendiri karena ibu tidak pernah mau mendengar opiniku untuk menghentikan amarahnya.
Aku diam lalu melanjutkan langkah kecilku ke arah anak tangga untuk mencapai kamar, kamar yang cukup luas dan hanya itu ruang paling tenang yang aku punya di rumah ini.
"Kalo di bilangin sama orang tua malah pergi. Kamu nggak ada bedanya dengan ayah kamu, nggak pernah mau denger omongan ibu. Kamu liat si Shinta yang selalu taat sama orang tuanya, nggak pernah melanggar dan selalu ranking satu di sekolah. Kamu mau jadi apa? Kalo setiap hari cuma main aja!" bentak ibuku amarahnya semakin menjadi karena melihat diriku yang tidak merespon perkatannya.
Membandingkanku dengan anak temannya adalah sebuah rutinitas yang sepertinya enggan untuk ibuku hentikan. Berharap kedua anaknya bisa menjadi seperti apa yang ia lihat dari anak orang lain. Jika memang ibuku menginginkan anaknya seperti anak orang lain, mengapa tidak dimulai dari dirinya yang belajar mendidik dari orang tua lain?
Aku hanya bisa diam tidak ingin satu kata patah pun yang aku keluarkan karena tidak ingin menambah ke ricuhan di rumah ini. Terlihat di sudut dapur paling belakang ada Raya adikku yang sedang asyik mengumpat sambil membaca komik kesukaannya.
Raya adalah adikku, satu-satunya saudara sedarah yang aku punya di muka bumi ini. Dirinya adalah alasanku untuk terus menjadi kuat setiap harinya, alasan untuk tetap menghidupkan impianku sejak 3 tahun ini.
* * *
"Mungkin, ini emang jalan hidup yang harus gue jalanin. Ya meskipun setiap hari gue harus nahan sakit," ucapku pelan menekan pilu yang terpendam.
Diga menghentikan kegiatan bermain game online pada ponselnya karena mendengar ucapanku barusan secara tiba-tiba. Ia lalu menatap dengan kedua bola matanya yang sangat besar dan mengusap bahuku pelan.
Di depanku, wajahnya ikut pilu meskipun mungkin dirinya tidak begitu mengerti tentang rasa sakit yang aku rasakan. Ada ketenangan setiap kali diriku berada di sisinya, merasa beruntung karena sudah di pertemukan dan disatukan hingga menjadi sahabat oleh laki-laki aneh ini.
"Ya jangan gitu, Kai. Semua orang udah pasti punya rasa sakitnya sendiri-sendiri, gue berusaha ngerti kenapa ibu lu selalu kayak gitu dan ayah lu yang mengubah hidupnya menjadi serabutan nggak jelas," Diga berusaha menenangkanku.
"Mereka berdua sayang sama lu, cuma mungkin caranya yang seperti itu. Sekarang," ucap Diga lagi.
Aku langsung menghentikan kegiatan makanku, lalu menyeringitkan dahi berusaha mencerna perkataan Diga yang sangat tidak masuk di nalar.
"Kalo orang tua gue sayang sama gue. Kenapa hampir 3 tahun mereka bersikap kayak gitu sama gue dan Raya? Mereka udah nggak sayang lagi, Ga. Mereka udah egois dengan emosinya masing-masing."
Diga tertegun mendengar pernyataanku kini berbalik dirinya yang berusaha mencerna ucapanku.
"Iya, iya ngerti. Yaudah, masih ada gue yang sayang sama lo tulus. Meskipun tingkah laku lo aneh," ucapnya sambil tersenyum menyebalkan.
Kehadiran Diga memang selalu menjadi tempatku pulang ketika tidak ada satupun manusia di semesta ini yang ingin mendengar keluhanku, karena Diga juga impianku yang hampir 3 tahun selalu berusaha untuk aku kubur selalu di bangkitkan karenanya.
Kami berdua bukan layaknya sahabat yang diceritakan dalam novel yang mempunyai kesamaan serta pemikiran yang selaras. Aku dan Diga adalah dua orang yang sangat bertolak belakang, kami jelas-jelas berbeda dalam berpikir, hobi kami selalu berdebat tentang isi kepala yang berbeda menyuarakan idealisme anak remaja labil yang penuh dengan emosi.
Namun, kami berdua saling mengerti kapan kami harus meredam emosi, kapan harus menjadi pendengar yang baik, kapan kami harus saling menjaga dan tentang kapan kami harus duduk bersampingan meskipun ego sedang menguasai diri masing-masing.
Yang paling aku kagumi dari Diga adalah telinganya yang tidak pernah bosan untuk setiap hari mendengar ocehanku, tentang kekesalanku dengan penjual nasi goreng yang hanya memberikan cabai sedikit, tentang teman sekelas yang selalu membully orang lain dan tentang patah hati yang aku rasakan.
"Ayok berangkat," ucap Diga yang baru saja melihat jam pada layar ponselnya yang menunjukan pukul 06.30.
Aku dan Diga langsung berjalan menuju motor tua yang Diga punya. Motor yang penuh dengan sejarah. Diga bukan tidak ingin mengganti motor tuanya dengan yang baru tetapi karena di motor ini banyak kenangan yang ia rajut mulai dari bersamaku hingga dirinya yang melihat sendiri Bella sedang berduaan dengan laki-laki lain.
Sesampainya di sekolah kami langsung berjalan menuju ke kelas masing-masing, saat kaki baru saja menetap di gerbang sekolah Diga sudah melihat Bella lengkap dengan pernak-pernik hebohnya.
Pandangnnya langsung di buang begitu saja seperti ada luka yang belum kering, aku sebagai manusia pembela Diga langsung menatap sinis ke arah Bella. Bella hanya melirik aku balik tanpa dosa dan penyesalan.
"Haha. Gini jadi manusia patah hati," ucapku saat sudah memasuki lorong sekolah.
Diga hanya menjitakku karena tidak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan. Aku kembali menjenggut kepalanya lalu lari dengan kencang sehingga Diga ikut mengejarku, begitulah cara kami berpisah untuk menuju kelas masing-masing.
* * *
"KAIIII!!!!" teriak Putri dari bangku paling belakang ketika melihatku baru saja tiba.
"Lo lama banget sih Kai datengnya. Gue belom ngerjain PR."
Saat baru masuk SMA karena keuangan keluargaku yang merosot membuatku harus berpikir untuk mencari uang tambahan dan Putri adalah solusinya. Ia adalah anak pemalas di kelas kami yang tidak pernah mengerjakan pekerjaan sekolah. Ia rela membayar contekan kepadaku dengan harga yang selalu berubah.
kMenjadi anak orang kaya terkadang memang terlalu mudah untuk di manfaaatkan.