Chapter 6 - Diga

"Bu, aku hari sabtu ada acara camping di sekolah," izinku kepada ibuku yang sedang sibuk merapihkan meja makan.

"Dimana? Tempatnya aman nggak? Makannya nanti gimana? Tidur disana ada satpamnya atau nggak? Kalo nggak aman gak usah ikut aja ya, nanti ibu izinin," jawab ibuku penuh dengan pertanyaan yang sangat mengkhawatirkan anak laki-lakinya ini.

Disisi lain ke khawatiran yang ibu selalu ungkapkan kepadaku memang sangat baik tetapi di satu sisi seperti mengekang diriku yang sudah beranjak remaja ini.

"Nggak bu, ini acara sekolah pasti ditanggung semuanya, kok," jelasku pelan untuk melunakan hati ibuku.

"Pokoknya ibu harus pastiin itu semua aman buat kamu, baru ibu izinin. Besok ibu telpon ke sekolah."

Aku langsung berjalan ke arah lantai dua, telingaku geram mendengar ucapan ibu yang selalu mengekang setiap kegiatanku. Seperti burung dalam sangkar yang bergerak selalu dibatasi padahal aku ingin di perlakukan seperti kakakku yang bisa berjalan atau berkegiatan tanpa harus terbentur oleh izin ibu dan ayahku.

Mungkin bagi ibuku aku hanya seorang anak kecil yang tidak mempunyai suara dalam setiap keputusan, dimatanya aku hanyalah seorang anak yang harus patuh dalam setiap keputusan yang ibu dan ayahku buat.

* * *

"Kesel deh gue," ucapku pelan kepada Kai yang sedang asyik dengan ponselnya.

"Kenapa sih? Marah-marah aja lu, cepet tua!" jawab Kai seadanya karena sedang bermain game online.

"Biasa. Ibu gue, tadi gue izin buat camping akhir pekan nanti tapi malah di banjirin sama seribu pertanyaan,' jelasku.

"YESS! DINNER CHIKEN WINNER!" teriak Kai kesenangan karena ia memenangkan game online tersebut.

Setelah selesai ia langsung menatapku tajam, telinganya sudah siap mendengarkan keluh kesahku hari ini.

"Hmmm, ya wajar sih kalo ibu nanya gitu. Kan emang dari dulu sifatnya begitu, ibu khawatir sama lo karena bagaimanapun dia tetep anggep lo anak kecil," Kai menasihatiku dengan suaranya yang cempreng.

"Ya gimana, gue udah gede Kai. Udah dewasa, udah SMA. Masa di perlakukan kayak anak kecil," belaku karena mendengar nasihat Kai yang menurutku tidak masuk di akal.

"Ga, kadang nggak semua orang bisa ngerasain diberikan kasih sayang sebegitunya sama ibunya. Sekarang adalah tugas lu yang harus mikir gimana caranya bisa komunikasi yang baik sama ayah ibu bukan malah nyalahin mereka. Tugas lu buat mikir gimana biar mereka bisa ngerti apa mau lu tanpa harus lu susah ngerubah mereka."

"Karena kita nggak akan bisa ngerubah sikap orang lain kecuali dirinya sendiri yang mau berubah, percuma cuma jadi gondok doang. Mending tanya sama diri lu sendiri baiknya gimana," lanjut Kai menasihatiku panjang lebar.

Kalimat Kai langsung menusuk hatiku, pemikiran yang selama ini tidak pernah terlintas di kepalaku. Aku selalu menyalahkan kedua orang tuaku untuk merubah perlakuannya tetapi semakin aku menyalahkan mereka sakit hati semakin terasa di dada.

Sedari dulu ayah dan ibu yang selalu mengatur di mana aku akan bersekolah, jurusan apa yang aku pilih hingga cita-cita apa yang harus aku gapai. Terkadang aku berpikir apakah aku sebagai anak hanya menjadi bahan pemuas ego mereka yang tidak terlunaskan saat remaja? Atau aku hanyalah sebuah robot yang sengaja mereka ciptakan untuk membentuk manusia yang mereka inginkan?

Aku hanya seperti anak bodoh yang tidak mempunyai impiannya sendiri, tidak bisa mengambil keputusan atas pemikiran yang ada di dalam otakku. Aku hanya robot untuk mereka.

* * *

Aku dan Kai baru saja memasuki gerbang sekolah, hampir setiap hari dari taman kanak-kanak hingga sekarang SMA aku selalu pergi sekolah bersamanya karena kami satu komplek dan jarak dari rumahku dan Kai tidak terlalu jauh.

Kai menjadi teman paling terpercaya oleh kedua orang tuaku karena kedekatan kami sejak kecil, selalu setiap aku izin kemanapun kedua orang tuaku selalu memastikan aku bersama dengan Kai.

Saat kami kelas I SMA hampir satu sekolah menganggap aku dan Kai berpacaran, bukan hal yang mengagetkan bagi kami karena memang benar kami berdua sedekat itu dan hampir tidak pernah berjauhan. Sampai suatu ketika aku memberanikan diri mengutarakan perasaanku kepada Bella perempuan populer yang ada di kelasku dan semua gosip itu sirnah.

Pada saat mengutarakan perasaan itu yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya agar perasaan aneh yang aku pendam selama ini bisa hilang kepada Kai, perasaan yang tidak pernah ingin aku rasakan kepada sahabatku sendiri.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk menaruh hatiku kepada Bella karena ada beberapa dari sifatnya yang ada di kriteria pasanganku. Bella merupakan anak pintar, pendiam dan sepertinya tidak terlalu banyak tuntuntan jika aku berhubungan lebih dari sekadar teman.

Namun, semua dugaanku terhadap Bella hilang setelah melihat sifat aslinya pada beberapa kali kesempatan kami bertengkar, terlihat Bella yang tidak pernah mau mendengar argumenku dan selalu ingin di turuti semua kemauannya.

Aku berusaha untuk menerima semua kekurangan itu tetapi semua pengorbanan yang sudah aku lakukan sia-sia, aku sendiri yang melihat dirinya sedang berduaan dengan laki-laki lain di sebuah restoran.

Hatiku patah, bercerai berai entah kemana ketulusanku di permainkan. Aku hanya bisa diam tanpa harus marah, karena kemarahan adalah kelemahanku sendiri. Aku menjadi trauma dalam percintaan yang membuatku enggan untuk menaruh hati lagi kepada siapapun, kecuali terhadap sahabatku sendiri.

"Masuk," ajak Kai karena aku ingin meminjam buku fisika miliknya.

Saat masuk kedalam kelas Kai semua mata tertuju kepadaku seperti sedang ingin menerkam, seolah aku adalah umpan empuk untuk mereka.

"Kenapa mereka?" tanyaku berbisik kepada Kai yang sedang sibuk mencari bukunya di dalam tas.

"Biasa, kepo. Soal lo di selingkuhin Bella kan bukan cuma lo, gue atau Bella sendiri yang tau tapi satu angkatan tau karena Bella udah koar-koar di instagram," jelas Kai.

"Kok lo nggak ngasih tau gue?" tanyaku heran.

"Ya buat apa? Informasi sampah kayak gitu gue kasih tau ke lo," jawab Kai sambil memukulkan buku paket Fisika ke dadaku.

Aku lupa bahwa Bella adalah trand center di dalam angkatanku, banyak laki-laki yang menginginkannya karena parasnya yang cantik padahal di balik kecantikan itu ada banyak sekali sifat yang tidak mungkin ia tunjukan kepada sembaran orang.

"Liat itu Diga mantannya si Bella. Udah pasti sih dia yang mohon-mohon buat dijadiin pacar sama Bella," terdengar suara siswa lain sedang membicarakanku. Sikap ku? Hanya diam hingga Kai yang menggebrak meja teman sekelasnya.

"Kalo mau ngomongin di depan orangnya aja! Nih di depan mukanya," ucap Kai sedikit membentak sambil menjinjitkan kakinya untuk meraih kepalaku dan menyodorkannya kepada mereka.

Kai memang sahabat dengan kebaikan yang tidak bisa di jelaskan dengan akal sehatku.