Suara tubuh menabrak Kai dengan sangat keras dari belakang punggungnya saat sedang jalan menyusuri jembatan bersama dengan Diga. Seorang anak laki-laki yang seumuran dengan mereka berjalan terburu-buru melintasi mereka berdua, wajahnya tidak asing saat Kai sedang berusaha untuk marah.
"Maaf, maaf," ucap anak laki-laki itu.
"Sialan! Es krim gue tumpah," gumam Kai dengan nada yang tinggi.
Tidak lama kemudian terdengar suara gemuruh sekelompok laki-laki lainnya yang berasal dari sekolah lain, Kai dan Diga mengetahui dengan cepat karena hari itu sedang memakai baju seragam batik sekolah SMAnya.
"Woy, jangan berani-beraninya lo lari. Kasihin sini duit lo!" ucap sekelompok laki-laki itu dengan penuh emosi.
Kai sudah mengendus ada hal yang tidak beres dari sekelompok laki-laki itu, ia sudah menduga bahwa teman sekolahnya sedang terkena palak, Kai langsung mencari cara bagaimana bisa menghentikan langkah kaki mereka.
"Ga, lo mending kejar cowo yang tadi buat amanin dia. Biar gue disini yang nanganin mereka," ucap Kai berbisik membuat Diga semakin ketakutan.
"Tapi, Kai?"
"Udah buru. Atau tangan lo yang gue patahin," ujar Kai sambil menatap dan memperkirakan kapan langkah kaki sekelompok itu sampai pada dirinya.
Diga mendengar ancaman itu langsung menuruti perkataan Kai dan mengejar anak laki yang menabrak Kai.
Tidak lama ketika Diga pergi, Kai masih berjalan santai bak anak lugu yang sedang pulang sekolah sendirian.
"Eh, lo!" teriak salah satu dari sekelompok anak laki-laki itu untuk memanggil Kai dengan suaranya yang sangat kelelahan.
Kai berusaha untuk tidak menggubris mereka untuk memancing mereka semakin mendekat dengan dirinya.
"Woy, lo punya kuping kepake apa nggak?" bentak anak laki-laki yang tingginya hampir 175cm.
"Hmmm, kenapa kak?"
"Lo liat nggak tadi ada anak cowo pake seragam batik biru lari lewat sini?" tanyanya dengan membentak.
Kai langsung mengeluarkan akting terbagusnya.
"Nah ini, seragam sekolah lo," samber anak laki di belakang sambil menunjuk baju batik yang Kai pakai.
"Oh, tadi aku liat belok ke kanan kak," jawab Kai berlagak mengetahui. Mukanya yang polos sangat meyakinkan kepada sekelompok anak laki-laki itu untuk mempercayai dirinya.
Mereka dengan cepat langsung mengikuti perkataan Kai, saat mereka semua sudah lari kini Kai yang juga harus ikutan berlari menyusul Diga dan teman sekolahnya itu.
"Hah. Gila emang tuh anak sekolah sebelah," ucap Kai saat melihat Diga dan teman sekolahnya di sebuah mini market.
"Lo nggak apa-apa 'kan?" tanya Kai pada teman sekolahnya.
Ia mengangguk lalu berusaha merogoh koceknya untuk mengambil uang di sakunya.
"Nih buat kalian berdua. Makasih ya," ucapnya dengan suara yang bergetar.
Diga langsung menolak pemberian 'upah' dengan sopan.
"Beliin kita mie ayam aja deh kalo gitu," celetuk Kai.
Kai memang anak perempuan paling pemberani yang Diga temukan, beberapa kali masalahnya selesai karena keberanian Kai untuk melawan orang yang menjahilinya. Sebuah konsep kebaikan yang dilakukan oleh Kai yang tidak bisa di terapkan pada Diga.
* * *
Terkadang ada rasa di hidup ini yang dipendam terlalu lama hingga menjadi rahasia yang tidak bisa di ungkapkan, karena katanya lebih mudah untuk mengungkapkan perasaan kepada orang yang tidak dikenal dari pada sahabat sendiri.
Perasaan yang kian lama menjelma dan terus membesar dan ingin berusaha untuk mengeluarkan semua isinya. Kai terus berusaha menutupi semuanya demi menjaga persahabatannya.
Tiba-tiba tubuh Kai berjengit ketika mengetahui ada Diga yang datang dari belakang dan langsung menenggak jus mangga yang baru saja tiba di mejanya.
"Ih apaansih lo! Pesen sendiri," kesal Kai karena ia baru saja selesai pelajaran olah raga di tengah teriknya matahari.
Diga tanpa membalas ucapan Kai langsung menyodorkan ponselnya untuk memberi tahu bahwa Bella mengunggah foto di sosial medianya bersama dengan selingkuhannya.
"HAHAHA," tawa Kai dengan sangat kencang membuat semua yang ada di kantin melihatnya.
Diga langsung menepuk punggung Kai karena malu melihat sahabatnya seperti itu.
"Ya. Yaudah katanya lo udah move on!" ucap Kai seraya tangannya mengambil jus yang ada di hadapan Diga.
"Ya tetep aja, sakit hati cuyyyy!"
Hati Kai tertegun setiap kali Diga menceritakan tentang Bella, perempuan jahat yang sudah melukai hati sahabatnya tetapi masih saja terus ada di dalam pikiran Diga.
Seperti duri yang menusuk perlahan ke dalam kerongkongannya saat makan ikan dan tidak sengaja tertelan duri, sakit tetapi hanya ada dua pilihan di keluarkan atau di telan karena sama-sama menyakitkan.
"Makasih bu," ucap Kai kepada ibu penjual soto mie di sekolahnya disusul oleh bapak penjual bakso mengantarkan pesanan Diga.
Diga langsung melirik ke arah mangkuk soto mie dan nasi putih di piring yang berbeda, tatapan yang penuh dengan keinginan.
"Kai, hehehe," ujar Diga matanya menatap Kai dengan kuat. Kai langsung menukar soto mie nya dengan bakso yang sudah di pesan oleh Diga, ini adalah kebiasaan Diga yang tidak bisa ia tunjukan kepada orang lain yaitu selalu ingin menukar makanan yang sudah ia pesan ketika melihat pesanan Kai lebih menarik.
Beginilah salah satu cara untuk Kai untuk mengobati lukanya setiap mendengar keluhan Diga soal perempuan, karena ia merasa bahwa dirinya spesial meskipun hanya sebagai sahabat. Karena perasaan ini adalah rahasia pertamanya yang tidak pernah atau tidak akan Diga tahu.
Sendok yang di penuhi dengan makanan masing-masing bergantian masuk ke dalam mulut mereka, mengisi perut di tengah hari yang terik dan lelah karena hampir seharian belajar di kelas yang membosankan.
* * *
Diga baru saja pulang sekolah dengan motor tuanya yang sudah di parkir dengan rapih di halaman depan rumahnya, saat ia masuk sudah terlihat Pratama kaka pertamanya yang baru saja pulang dinas dari Bandung.
"Yah, ampun ada si rusuh," gumam Diga di dalam hatinya.
Pratama merupakan kakak pertama Diga yang sekarang berprofesi sebagai tentara di salah satu kesatuan Jakarta, ayahnya yang merupakan tentara juga bercita-cita untuk menjadikan kedua anak laki-lakinya untuk mengikuti jejaknya.
"Gimana? Udah tau mau jadi abdi negara di darat atau di laut?" tanya Pratama diiringi dengan gelak tawanya yang sangat Diga benci.
Diga hanya bersaliman tanpa menjawab pertanyaan kakaknya karena jika ia jawab ceritanya akan semakin panjang, Pratama adalah orang yang selalu mendorong ayah menjadikan Diga sebagai abdi negara juga meskipun semua keluarganya tahu bahwa Diga ingin kuliah di jurusan komunikasi.
Seolah tidak di dukung, Diga hanya bisa mendapat cibiran dari kakak pertamanya mengenai pilihannya.
Terkadang keluarga yang paling tidak sadar bahwa banyak mimpi yang terkubur hanya karena tidak adanya sebuah dukungan. Padahal katanya, keluargalah nomer satu yang paling mendukung setiap anggotanya.