Chereads / Sleeping with The Devil / Chapter 6 - Cobaan Sampai Kapan?

Chapter 6 - Cobaan Sampai Kapan?

Gisel mendesah pelan ketika memasuki kantin di kampusnya. Seperti yang dia bayangkan sebelumnya, semua pengunjung kantin langsung menatap ke arahnya, menjadikan dia sebagai pusat perhatian. Seperti pagi tadi, hal ini membuat Gisel merasa tidak nyaman, tetapi dia berusaha untuk terus mengabaikan. Bisikan yang masih cukup tertangkap telinga pun membuat darah Gisel semakin mendidih, kesal karena semua orang yang mulai mengurusi semua kehidupannya.

Namun, Gisel hanya diam, membiarkan sekitar mengatakan apa yang mereka mau. Bukannya takut, tetapi Gisel hanya tidak ingin membuat keributan yang tidak berguna sama sekali. Dia tidak ingin hanya karena dia yang lepas kendali, keluarganya akan mendapat masalah. Dia cukup sadar jika dirinya bukan lagi orang yang bebas seperti dulu. Meski dia hanya seorang anak tiri, tetapi dia sudah termasuk dalam keluarga Kingsley yang akan selalu menjadi topik hangat ketika mengalami masalah. Bedanya, jika yang membuat masalah Kenzo, pria tersebut dapat menyembunyikan dengan rapat karena koneksi dan dia yang ditakuti, tetapi jika Gisel yang membuat masalah, dia hanya bisa membiarkan masalah berjalan begitu saja tanpa bisa menutupinya.

Gisel yang menyadari perbedaan kuasa yang dia miliki dengan Kenzo mendesah pelan. Dia menghentikan langkah ketika sudah sampai di depan tempat pengambilan makanan. Dia memberikan nampan yang sebelumnya sudah dia ambil, menunjuk menu mana saja yang akan dia pilih. Hingga tidak berselang lama, dia keluar dari antrian dan menuju ke arah meja, di mana Citra berada.

"Eh, gak nyangka ya cewek sepolos dia ternyata ganas juga. Ciuman di depan gerbang."

"Biasa, wajahnya cuma buat menutupi semua keburukan dia."

Gisel yang lagi-lagi mendengar hal tersebut hanya mampu menarik napas dalam dan membuang perlahan, berusaha menabahkan hati dan menulikan telinga. Kakinya memilih melangkah ke arah Citra berada, mendengar hal yang sama berulang kali. Hingga dia sampai di meja, duduk berhadapan dengan Citra dan mendesah kasar.

"Kamu kenapa?" tanya Citra sembari menatap ke arah Gisel yang sudah memasang raut wajah masam.

Gisel yang mendengar kembali mendesah kasar dan menatap ke arah Citra. "Aku hanya merasa kesal dengan mereka semua, Cit. Mereka membicarakan aku seolah aku itu wanita paling hina di kampus. Padahal kita sendiri tidak tahu apa yang sering mereka lakukan, kan? Seolah menjadi orang paling suci dengan mengomentari orang lain," gerutu Gisel dengan raut wajah masam.

Citra tertawa kecil mendengar gerutuan Gisel. Dia merasa sahabatnya selalu lucu setiap kali menggerutu tentang sikap seseorang dengannya. Gisel yang melihatnya pun hanya diam, memilih menikmati makan siang yang jelas membuatnya tidak bersemangat. Padahal, biasanya dia adalah salah satu mahasiswi yang begitu giat ketika mendengar nama kantin disebut. Hingga dia yang merasa banyak beban pikiran mendesah kasar dan menghentikan makannya.

"Citra, menurut kamu sampai kapan mereka akan menjadikan aku topik pembicaraan?" tanya Gisel. Dia takut jika dia tidak bisa terus mengontrol emosinya.

Citra yang ditanya hanya diam. Sesaat, dia memikirkan jawaban untuk pertanyaan Gisel. Sampai kapan? Dia sendiri tidak tahu sampai kapan, tetapi bibirnya mulai tersenyum lebar ketika sebuah pikiran terlintas. Jemarinya mulai memberikan isyarat agar Gisel mendekat, tidak mau ada orang lain yang mendengar jawaban darinya, membuat Gisel menurut dan mendekat ke arah sahabatnya.

"Aku rasa gak akan lama, Gisel. Mereka hanya tahu kamu berciuman dengan seorang pria tampan, tetapi tidak tahu kalau itu adalah kakak tiri kamu. Jadi, aku yakin hanya sebentar dan bersyukurlah kamu karena Kenzo yang selalu menutup diri dari media," bisik Citra.

Gisel yang sudah mulai serius berdecak kecil dan memutar bola mata pelan, rasanya kesal karena dia mendapat jawaban yang sama. Namun, lagi-lagi dia juga merasa jika ucapan Citra ada benarnya.

Mereka pasti akan semakin menggosipkanku kalau tahu pria itu adalah Kenzo Ainsley, batin Gisel, merasa sedikit lega karena Kenzo yang selalu menghindar dari media, membuatnya tidak terlalu dikenal di kalangan masyarakat biasa, meski kenyataannya dia begitu terkenal di dunia bisnis dan ditakuti semua orang.

***

"Kamu yakin gak mau ikut aku?" tanya Gisel ketika keluar dari kantin kampus.

Citra yang mendengar bergumam pelan dan menganggukkan kepala. "Aku ada urusan di rumah dan harus segera kembali. Ada masalah juga di sanggar. Jadi, aku gak ikut kamu," ucap Citra dengan serius.

Gisel hanya bergumam pelan, tahu kesibukan sahabatnya. Dia juga tidak akan memaksa agar Citra menemaninya. Hingga Citra melangkah pergi, membuat Gisel juga melanjutkan langkah. Tujuannya hanya satu, ke perspustakaan dan mencari materi untuk tugasnya. Bibirnya semakin tersenyum lebar ketika melihat bangunan yang selama ini menjadi tempatnya menyendiri mulai terlihat. Rasanya begitu senang karena di tempat tersebut, dia bisa menjauh dari Kenzo.

Ya, Gisel tidak memungkiri jika alasannya sering kali ke perpustakaan bukan hanya untuk mencari materi, tetapi juga ingin memangkas waktunya dengan Kenzo. Jika dia kembali ke rumah lebih cepat, itu menandakan jika dirinya akan memiliki waktu yang jauh lebih lama untuk bersama dengan Kenzo. Bukannya tidak ingin, hanya saja dia merasa akan lebih baik jika sedikit menjauh dari Kenzo karena dia tidak tahu kapan pria tersebut akan lepas kendali.

Meski selama beberapa tahun ini dia tidak pernah mencoba merenggut mahkotaku, tetapi aku juga harus waspada, kan, batin Gisel, membenarkan apa yang dia lakukan kali ini.

Gisel yang sudah memasuki perpustakaan mulai mengambil beberapa buku yang berada di rak. Dengan tenang, kakinya melangkah ke arah meja di ujung ruangan dan kembali fokus dengan tugasnya. Bahkan, Gisel mulai membuat ponselnya dalam mode diam agar tidak terganggu.

Hening. Gisel hanya diam, larut dengan bacaan di depannya. Manik matanya menatap deretan kalimat yang tersusun rapi dengan raut wajah serius. Dia memang selalu mampu merubah ekspresi wajahnya ketika sedang membaca buku. Bahkan saat seseorang duduk di depannya, Gisel pun tidak sadar. Hingga ketukan di meja terdengar, membuat Gisel yang terusik mulai mengalihkan pandangan.

Gisel berdecak kecil dan siap memprotes tindakan seseorang yang sudah mengganggu konsentrasinya. Namun, niatnya terhenti ketika manik matanya menatap seorang pria berkacamata duduk di depannya, memamerkan senyum lebar yang langsung menular, membuat Gisel ikut tersenyum.

"Pak Leo," panggil Gisel dengan raut wajah berseri.

Leonard Lemuel, teman sejak kecil Gisel sekaligus dosen di Universitas tersebut semakin mengembangkan senyum ketika melihat Gisel yang begitu antusias ketika melihatnya. Dia mulai meletakan paper bag, meletakan di depan Gisel dan menatap lekat.

"Aku bawa oleh-oleh dari seminar. Aku harap kamu suka," ucap Leo.

Gisel yang mendengar langsung mengambil paper bag tersebut, mengeluarkan sekotak coklat yang membuatnya semakin merasa senang.

"Terima kasih," ucap Gisel dan menatap Leo lekat.

Leo hanya bergumam dan menganggukkan kepala. Manik matanya menatap lekat ke arah Gisel yang terlihat bahagia. Hingga dia menyadari hal lain, membuatnya mendesah pelan.

"Gisel, kamu baik-baik saja?" tanya Leo, menyadari raut wajah Gisel yang terlihat berbeda.

***