Hening. Gisel hanya diam, menatap jalanan yang terlihat begitu sepi. Tidak banyak kendaraan yang melintas di depannya meski jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Seharusanya waktu tersebut kendaraan sudah saling berebut agar sampai di tempat tujuannya lebih dulu. Namun, kali ini pemandangan berbeda disuguhkan karena jalanan yang benar-benar hanya beberapa kendaraan saja.
Apa hari ini semua orang diliburkan dan tidak bekerja, batin Gisel, tanpa mengalihkan pandangan. Dia merasa jika pemandangan di depan jauh lebih menyenangkan ketimbang pemandangan di sebelahnya.
Sebelah? Gisel yang mulai teringat dengan sosok Kenzo di dekatnya langsung menutup mulut rapat. Sudah lima belas menit dia berada di dalam mobil pria tersebut, tanpa sepatah kata pun terucap. Selama itu juga suasana di dalam mobil begitu hening. Kenzo sendiri hanya fokus dengan jalanan, membuat Gisel sedikit bernapas lega karena sang kakak yang tidak mengganggunya.
Dan aku harap dia selamanya begini, batin Gisel dengan penuh harap.
Namun, belum selesai dengan pemikirannya, sebuah tanda tanya lain mulai terlintas di dalam pikirannya ketika melihat jalanan yang terasa asing. Jalanan berkelok dengan banyak pohon tinggi menjulang di sepanjang jalan, membuat Gisel langsung mengamati sekitar dengan kening berkerut dalam.
"Kak, kita mau ke mana?" tanya Gisel membuka percakapan. Dia tahu jika dia tidak diizinkan bertanya, tetapi dia benar-benar asing dengan tempat yang mereka lewati kali ini, membuatnya mau tidak mau mulai bertanya.
"Kak," panggil Gisel kembali. Kali ini, dia menatap ke arah Kenzo yang masih fokus mengemudi.
Kenzo yang sejak tadi menatap jalanan mulai mengalihkan pandangan dan menatap ke arah Gisel. "Kita akan mencari sarapan, Gisel. Setelah itu kamu ikut aku ke sebuah hotel yang akan bekerjasama dengan perusahaan kita," jawab Kenzo dengan suara dingin.
Gisel yang mendengar langsung diam dengan mulut setengah terbuka. Rasanya begitu terkejut dengan apa yang baru saja didengar. Tidak biasanya Kenzo mengajaknya untuk mengecek semua urusan perusahaan. Selain itu, dia juga merasa kesal dengan sikpa Kenzo yang suka seenaknya. Pria tersebut tidak memberitahunya lebih dulu, seakan Gisel benar-benar tidak memiliki kegiatan apa pun. Hingga dia teringat sesuatu, membuatnya membelalakan kedua mata.
"Kak, aku harus ke kampus," ucap Gisel sembari menatap lekat, berusaha mengumpulkan semua keberanian yang sempat ada.
Kenzo yang sempat mengalihkan pandangan kembali melirik dan tertawa kecil dengan sebelah bibir terangkat. "Aku sudah meminta izin selama satu minggu dengan kepala jurusan kamu, Gisel. Jadi, kamu gak perlu cemas," sahut Kenzo, memasang raut wajah penuh kemenangan.
Gisel yang mendengar hanya mampu diam. Jujur, dia begitu kesal dengan apa yang baru saja Kenzo katakan. Namun, dia juga tidak bisa melawan semua yang Kenzo putuskan. Dia masih memiliki rasa takut dengan pria tersebut. Mengingat seperti apa Kenzo sering memperlakukannya, Gisel memilih menurut. Hingga Kenzo membelokkan mobil di sebuah restoran megah, membuat Gisel menatap lekat.
Ada restoran seindah ini di pinggir kota, batin Gisel sembari mengamati bangunan berlantai tiga tersebut. Rasanya begitu takjub melihat pemandangan indah yang pertama kali dia lihat. Dia memang jarang sekali keluar dari kota dia tinggal. Gisel lebih sering berada di rumah dan kampus, membuatnya jarang melihat suasana di luar.
"Keluar," perintah Kenzo, membuat Gisel menghentikan kekagumannya.
Gisel yang melihat Kenzo sudah melepas sabuk pengaman langsung mengikuti. Dengan cepat dia membuka pintu dan keluar. Langsung saja udara segar menyapanya, membuat Gisel langsung tersenyum lebar.
Benar-benar sejuk, batin Gisel, merasa jika udara di sekitarnya berbeda dengan udara di ibu kota. Hingga dia melihat Kenzo yang mulai melangkah, membuatnua berdecak kecil.
Dasar. Dia yang ngajak, tapi dia juga yang meninggalkan, gerutu Gisel dalam hati.
***
Gisel menikmati makanan di depannya dengan cukup lahap karena dia yang merasa jika rasa masakan di restoran tersebut pas dengan seleranya. Dia bahkan merasa jika rasa masakan di tempatnya singgah kali ini begitu mirip dengan masakan sang mama. Mengingat wanita tersebut, Gisel kembali murung. Sudah beberapa hari sejak wanita tersebut pergi, sang mama tidak menghubunginya sama sekali. Dia bahkan mulai tidak bersemangat untuk melahap makannya. Hingga tanpa sadar, dia mendesah kasar dengan ekspresi tanpa semangat.
Sepertinya mama memang sudah benar-benar menyerahkanku dengan kak Kenzo. Padahal kalau saja mama dan papa tahu, aku tidak tenang hidup dengan kak Kenzo, batin Gisel dengan raut wajah sedih.
"Jangan memasang wajah sedih seolah aku menyiksa kamu, Gisel."
Gisel yang mendengar teguran Kenzo tersentak kaget. Dia menatap ke arah Kenzo yang sudah menatapnya tajam. Bahkan, raut wajah pria tersebut terlihat begitu mengerikan dengan wajah datar dan rahang mengeras, membuat Gisel tanpa sadar menelan ludahnya pelan.
Astaga, apa aku sudah membuatnya marah lagi, batin Gisel, mulai berubah cemas.
"Aku peringatkan dengan kamu, Gisel. Jangan tunjukkan wajah sedih kamu itu dengan siapa pun. Terlebih saat kamu di hotel, kamu harus tersenyum dan tunjukkan raut wajah bahagia," tegas Kenzo dengan penuh penekanan.
Gisel yang merasa suaranya tercekat hanya mampu menganggukkan kepala, patuh dengan apa yang sudah Kenzo perintahkan. Hingga Kenzo kembali fokus menghabiskan makanan di depannya, membuat Gisel juga menurut. Dia kembali menyantap, sesekali melirik ke arah Kenzo yang terlihat begitu fokus.
Sebenarnya kamu itu tampan, kak. Hanya saja sifat kamu benar-benar seperti iblis, batin Gisel dan kembali menyendok makanan di depannya, berusaha menunjukkan raut wajah biasa supaya Kenzo tidak memarahinya.
Hening. Tidak ada percakapan sama sekali. Kenzo dan Gisel hanya diam, sibuk dengan urusan maisng-masing. Hingga dering ponsel Gisel terdengar, membuat Kenzo langsung menatap ke asal suara.
Leo. Gisel yang melihat nama tersebut langsung diam dan meraih ponsel. Jemarinya ingin mengangkat panggilan tersebut, tetapi takut jika dia malah akan menyinggung Kenzo. Namun, melihat nama Leo yang terus terpampang di layar juga membutanya semakin tidak tenang. Dia tahu jika Leo pasti mengkhawatirkannya. Hingga dia membuang napas pelan, menatap ke arah Kenzo dan berniat meminta izin untuk mengangkat panggilan.
Sayangnya, belum juga Gisel mengutarakan maksudnya, Kenzo lebih dulu meraih ponsel sang adik dan mengangkat panggilan, membuat permepuan tersebut membelalakan mata lebar.
"Gisel sedang tidur. Jadi, jangan diganggu," ucap Kenzo dan langsung mematikan panggilan.
Gisel yang mendengar hanya diam dengan mulut setengah terbuka dan kedua mata melebar. Kali ini, dia benar-benar terkejut dengan apa yang sudah Kenzo lakukan. Belum sehari, dia sudah menerima begitu banyak kejutan dari pria tersebut. Bagaimana kalai dalam sehari? Gisel yang merasa jika hidupnya akan sengsara mulai menelan saliva pelan dan kembali merasa cemas. Hingga Kenzo meletakan ponsel Gisel dan menatap lekat.
"Jangan angkat telfon dari siapa pun ketika bersama denganku," tegas Kenzo serius.
***