Kenzo dan Gisel menghentikan langkah ketika sudah berada di depan sebuah kamar bertuliskan angka 205. Dengan tenang, Kenzo meletakan kartu di depan gagang pintu, membuat kunci pintu tersebut terbuka. Tangannya mulai mendorong, membuka pintu di depannya dengan cukup lebar dan masuk ke dalam.
Gisel yang melihat mulai mengikuti. Manik matanya menatap seisi kamar hotel dengan pandangan takjub. Terdapat televisi besar yang berada tepat di depan ranjang dengan ukuran yang terbilang cukup besar. Bahkan Gisel yakin jika ranjang di depannya cukup untuk ditiduri empat orang sekaligus. Hingga manik matanya beralih, menatap ke arah meja yang terletak di balkon kamar, membuat senyumnya semakin mengembang.
"Kamu suka dengan kamarnya, Gisel?" tanya Kenzo yang sejak tadi memperhatikan wajah penuh kebahagiaan adiknya.
Gisel yang ditanya langsung menatap ke arah sang kakak dan menganggukkan kepala. Mulutnya hanya bungkam ketika melihat pemandangan yang cukup bagus di depannya. Kakinya terus melangkah, menuju ke arah balkon kamar. Dia semakin penasaran untuk melihat pemandangan dari kamarnya. Hingga dia keluar, membuat mulutnya langsung terbuka lebar.
"Keren," gumam Gisel dengan takjub. Pasalnya, dari atas dia bisa melihat kolam renang yang begitu jernih, tamat besar dengan ribuan bunga mawar di dalamnya. Selain itu, dia juga bisa melihat kolam ikan yang cukup menarik dan air terjun buatan yang terdapat tepat di depannya.
Kenzo yang melihat wajah ceria adik tirinya hanya diam dengan raut wajah datar. Tangannya sudah dimasukkan ke saku celana, memperhatikan gerak Gisel yang tampak seperti anak-anak. Dia tahu jika ini adalah pertama kali Gisel pergi berjalan-jalan setelah dia menjadi keluarganya. Hingga dering ponsel terdengar, membuat Kenzo mengalihkan pandangan dan mengambil ponsel dalam saku celana.
Arkan. Melihat nama anak buah kepercayaannya, Kenzo langsung mengangkat panggilan dan mendekatkan ponsel di telinga.
"Ada apa, Arkan?" tanya Kenzo dengan nada suara dingin, membuat Gisel yang sejak tadi tengah asyik menikmati pemandangan di depannya langsung mengalihkan pandangan.
"Ada yang mau bertemu dengan anda, Tuan," jawab Arkan dari seberang.
"Kalau begitu, tunggu aku lima belas menit. Aku akan turun," ucap Kenzo dan langsung mendapat jawaban dari arah Arkan.
Kenzo mematikan panggilan dan memasukkan ke saku celana. Manik matanya kembali memperhatikan Gisel yang tengah menatapnya dan bersandar dengan pembatas balkon. Perlahan, dia melangkah pelan, menuju ke arah adik tirinya. Dia bisa melihat gurat ketakutan yang tengah ditunjukkan Gisel. Mungkin ini efek dia yang suka sekali menekan Gisel, membuat perempuan tersebut semakin takut dari hari ke hari. Hingga dia menghentikan langkah tepat di depan Gisel.
Hening. Gisel dan Kenzo hanya diam. Tidak ada yang membuka percakapan sama sekali. Namun, Kenzo juga tidak mengalihkan pandangan. Dia terus menatap lekat ke arah Gisel yang terlihat mulai tidak nyaman. Bagaimana tidak? Sejak tadi Kenzo hanya diam dan menatap lekat, tanpa membuka sepatah kata pun untuk memulai percakapan. Hingga Gisel yang terlihat tidak nyaman menelan saliva pelan.
"Kakak kenapa?" tanya Gisel, mencoba memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
"Aku hanya sedang memastikan kalau kamu tidak akan macam-macam di sini, Gisel," jawab Kenzo.
"Hah?" Gisel yang tidak mengerti dengan maksud Kenzo langsung diam dengan mulut setengah terbuka.
"Aku harus bertemu seseorang dan ada beberapa rapat yang harus aku selesaikan. Mungkin aku akan pulang hingga malam. Jadi, apa kamu tidak masalah?" jelas Kenzo sembari menatap Gisel lekat.
"Tidak masalah sama sekali," sahut Gisel dengan penuh semangat. Dia bahkan berharap jika Kenzo tidak akan kembali dalam waktu dekat. Katakan saja dia jahat, tetapi Gisel merasa jauh lebih senang ketika Kenzo jauh dari hadapannya.
Kenzo yang mendengar Gisel penuh semangat langsung menaikan sebelah alis. Dia tahu apa yang membuat adik tirinya begitu senang. Berada jauh darinya memang hal melegakan untuk perempuan tersebut. Hingga Gisel yang sadar jika dia terlalu antusias berdehem pelan.
"Aku bisa bermain sendiri dan Kakak bisa fokus dengan pekerjaan Kak Kenzo," ucap Gisel, bingung harus mengatakan apa agar Kenzo tidak marah dan menghukumnya.
Namun, bukannya menjawab, Kenzo malah mengulurkan tangan, menarik tengkuk Gisel dan menyatukan dengan bibirnya. Gisel yang merasakan lumatan tersebut langsung membelalakan mata. Refleks tubuhnya mulai terasa kaku dan menegang, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama karena seiring dengan kuluman di bibirnya, Gisel semakin melemas. Hingga tidak beberapa lama kemudian, Kenzo melepaskan kuluman dan menatap Gisel lekat.
"Akan ada bodyguard yang menemani kamu jalan-jalan, Gisel. Jadi, jangan berbuat hal aneh atau melakukan hal aneh. Jangan coba kabur karena kalau sampai itu terjadi, kamu akan tahu akibatnya," ucap Kenzo.
Gisel yang mendengar hanya bergumam pelan dan menganggukkan kepala, menurut dengan apa yang baru saja kakaknya katakan. Lagi pula, dia masih memiliki pikiran jernih untuk tidak kabur. Dia belum lulus kuliah dan tidak memiliki pekerjaan. Meski tabungannya terbilang banyak, tetap saja tidak akan bisa untuk menampung kehidupannya, termasuk biaya sekolah. Hingga manik matanya melihat Kenzo yang mulai keluar dari kamar, membuatnya mendesah kasar.
"Astaga, semoga dia pulang besok pagi," gumam Gisel dengan penuh harap.
***
Kenzo keluar dari lift dan melangkah lebar. Raut wajahnya terlihat begitu serius dengan pandangan lurus ke depan. Banyak pasang mata melihatnya dengan pandangan takjub, terlebih para wanita yang saat itu ada di lantai dasar, memperhatikan Kenzo seolah dia adalah dewa yang begitu dikagumi. Meski begitu, Kenzo tetap tidak peduli sama sekali. Baginya, pandangan seseorang tidaklah penting untuk dirinya.
Kenzo mulai mempercepat langkah, tetapi tetap menunjukkan keangkuhan dan kuasanya. Hingga suara bisik kembali terdengar ketika Kenzo memasuki café hotel. Dia tahu hal ini pasti akan terjadi karena memang hotel yang dia tinggali kali ini banyak sekali pengusaha yang datang dan yang pasti mengenal dirinya. Meski Kenzo sendiri tidak kenal, tetapi dengan prestasi gemilang Kenzo selama menjadi seorang pimpinan, dia tahu banyak yang mengenalnya. Hingga dia melihat Arkan berdiri di sebuah ruangan lain, membuat Kenzo menatap anak buahnya lekat.
"Di mana dia?" tanya Kenzo.
"Di dalam, Tuan," jawab Arkan sembari membuka pintu.
Kenzo melangkah masuk. Manik matanya menatap seorang pria dengan usia yang terpaut lima tahun di atasnya dengan tatapan lekat. Raut wajahnya masih terlihat datar, tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Hingga dia duduk, berhadapan dengan pria dengan kacamata bertengger di hidung.
"Ada apa kamu menemuiku, Thomas?" tanya Kenzo dengan nada suara dingin.
Thomas yang paham jika Kenzo memang jarang berbasa-basi hanya diam. Dia mengeluarkan sebuah amplop coklat dan meletakan di depan Kenzo.
"Aku tahu ini menyalahi aturan, Kenzo. Tapi karena aku merasa ini penting, makanya aku menunjukkan itu dengan kamu," ucap Thomas.
Kenzo yang mendengar hanya diam, mengamati Thomas yang terlihat serius. Namun, dia masih ragu untuk mengambil amplop tersebut, membuatnya tidak juga mengambil.
"Itu pembagian harta warisan yang papamu buat beberapa minggu lalu sebelum beliau kembali ke kantor pusat," jelas Thomas ketika tahu ada keraguan di wajah Kenzo.
***