"Itu pembagian harta warisan yang papamu buat beberapa minggu lalu sebelum beliau kembali ke kantor pusat."
Kenzo yang mendengar hal tersebut langsung mengambil amplop di depannya. Dengan gerakan kilat dia segera membuka dan mengeluarkan beberapa kertas. Dia hanya diam, membaca setiap kalimat dengan fokus. Dia bahkan tidak membiarkan satu kata pun terlewat olehnya. Hingga dia mengeraskan rahang dengan tangan mengepal.
"Aku tahu kamu kesal dengan apa yang papa kamu lakukan, Kenzo. Tapi aku rasa kamu harus bisa menerimanya," ucap Thomas memberikan saran.
Kenzo masih saja diam. Manik matanya mulai tidak fokus dengan kertas di tangannya. Dia bahkan sudah meremas kertas tersebut, mencoba menahan amarah yang siap meledak. Thomas yang ada di dekat Kenzo pun merasa cukup ngeri, merasakan aura yang cukup tidak menyenangkan.
Seketika, Thomas menelan saliva pelan. Astaga, apa aku sudah membuat kesalahan, batin Thomas. Namun, dia merasa jika Kenzo butuh tahu apa yang akan papanya lakukan. Dia tidak bisa melihat Kenzo yang kembali terluka seperti beberapa tahun yang lalu.
"Kenzo, kamu baik?" tanya Thomas memberanikan diri.
"Kenzo, kamu harus menahan amarah. Sekarang kita sedang di luar," ucap Thomas kembali, mencoba mengingatkan sahabatnya. Bagaimanapun kali ini mereka memang berada di luar ruangan. Ditambah dengan banyak pasang mata yang sejak tadi menatap ke arah meja mereka, membuat Thomas tidak ingin Kenzo melakukan kesalahan. Dia melakukan hal tersebut bukan untuk dirinya, tetapi untuk Kenzo.
Kenzo yang mendengar menarik napas dalam dan membuang perlahan, berusaha menguasai diri dan meredam emosi. Dia cukup tahu di mana dia berada saat ini. Meski sebenarnya dia tidak begitu peduli dengan semua orang yang ada di sana, tetapi dia masih cukup sadar diri untuk tidak merusak reputasinya. Dia memang bukan orang baik di mata semua orang. Bahkan dia mengerti banyak sumpah serapah dan semua takut dengannya, tetapi Kenzo selalu melakukan dengan cukup tegas. Dia hanya memaki dengan yang salah dan bukan dengan semua orang. Hingga dia merasa membaik, membuatnya menatap ke arah Thomas.
"Apa yang papa katakan sebelum membuat surat ini?" tanya Kenzo sembari memasukkan kertas yang sudah sedikit lusuh karena dia yang mengganggam terlalu erat.
"Dia hanya ingin kedua anaknya sama-sama menerima bagian," jawab Thomas jujur.
Kenzo yang mendengar hanya diam dengan sebelah bibir terangkat. Rasanya dia ingin sekali menertawakan apa yang dikatakan sang papa. Kedua anak? Kali ini Kenzo benar-benar ingin tertawa keras dan meneriakan jika hanya dia yang berhak mendapatkannya. Gisel hanyalah anak tiri dan tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan.
Semua yang papa miliki sekarang adalah peninggalan mama. Jadi, aku tidak akan pernah membiarkan papa memberikan dengan dua wanita itu, batin Kenzo dengan raut wajah serius.
"Kenzo, papa kamu tidak tahu kalau aku memberitahu kamu. Jadi, aku harap kamu bisa bekerjasama denganku. Jangan sampai papa kamu tahu mengenai pertemuan kita kali ini," ucap Thomas memperingatkan.
"Kamu tenang saja, Thom. Aku tidak seburuk itu sampai memasukkan temanku sendiri ke dalam masalah," sahut Kenzo serius.
Thomas yang mendengar hanya menganggukkan kepala. Dia tahu jika Kenzo akan memegang janjinya. Dia juga tahu jika Kenzo adalah seorang pria yang dapat dipercaya karena selama ini pria tersebut tidak pernah mengatakan mengenai kedekatan mereka dengan sang papa. Hingga Thomas memasukkan berkas dan bangkit.
"Sekarang aku harus pergi, Kenzo," ucap Thomas dan mendapat anggukna dari arah Kenzo.
"Ingat, jangan lakukan hal yang membuat kamu kehilangan semuanya. Kamu harus memikirkan langkah sebelum membuat protes dengan papamu," ujar Thomas mengingatkan.
"Aku tahu," sahut Kenzo.
Thomas yang mendengar jawaban Kenzo langsung mendesah kasar dan melangkah keluar. Dia memang harus segera kembali ke kantor karena masih banyak hal yang harus dia urus. Sedangkan Kenzo yang masih duduk di kursi hanya diam dengan tangan mengepal dan rahang mengeras. Raut wajahnya mulai terlihat dingin dan tidak bersahabat sama sekali. Hingga dia bangkit dan melangkah keluar.
"Kita pergi, Arkan," ucap Kenzo dan langsung diikuti Arkan.
Aku akan membuat perhitungan dengan kamu, Gisel. Aku tidak rela jika kamu dan mamamu menikmati harta mamaku. Kalian tidak berhak dan aku pastikan tidak akan ada yang bisa mengambilnya dariku, batin Kenzo dengan raut wajah serius.
***
Gisel yang baru selesai mandi langsung mengenakan bathrobe dan mendesah kasar. Kakinya melangkah ke arah kaca besar di dalam kamar mandi dan menatap wajahnya yang sudah terlihat segar. Bibirnya bahkan terus mengulas senyum lebar, merasa bahagia karena dia yang dibiarkan bebas seharian. Kenzo bahkan tidak muncul di hadapannya. Bukan hanya itu, Kenzo juga tidak mengganggunya sama sekali dan benar-benar membiarkannya bebas, membuat perasaan Gisel menjadi tenang.
"Andai setiap hari begini," gumam Gisel diikuti senyum yang kian melebar. Hingga dia yang merasa puas menghentikan pengamatannya dan menuju ke arah pintu kamar mandi.
Gisel mulai membuka pintu dan keluar. Tujuannya kali ini adalah paper bag yang terdapat di sofa. Beberapa jam yang lalu Arkan yang mengirimkannya beberapa setel pakaian dan tentu saja atas izin dari Kenzo. Meski tidak mengatakan apa pun, Gisel tahu jika semua adalah pemberian kakaknya karena bagaimanapun Arkan hanya karyawan biasa yang tidak mungkin berani melakukan sesuatu tanpa perintah atasannya.
"Kenapa banyak sekali," gumam Gisel. Tangannya mulai meraih salah satu paper bag dan mengambil isi di dalamnya. Sebuah dress berwarna maroon, membuatnya mengulas senyum miris. Entah kenapa, setiap kali dia melihat pakaian yang dibelikan oleh Kenzo, ada perasaan sedih yang langsung bergelayut dalam hatinya. Bukan karena tidak suka, tetapi karena Gisel yang menyadari motif Kenzo yang selalu memberikannya pakaian berupa dress.
Sejenak, Gisel hanya diam, memandangi pakaiannya dengan lekat. Hingga beberapa saat kemudian, dia mendesah kasar dan meletakan pakaian tersebut ke dalam paper bag. Tangannya kembali menuju ke arah yang lain, membuka satu per satu paper bag dan melihat isi di dalamnya. Sampai pada paper bag terakhir, membuat Gisel yang melihat pakaian tersebut hanya diam.
Gisel menelan saliva pelan ketika melihat gaun tidur yang berada dalam genggamannya. Gaun tidur dengan belahan dada yang cukup rendah. Gisel yakin, panjang gaun tersebut bahkan tidak bisa menutupi bagaian paha miliknya, membuatnya merasa tidak tenang untuk mengenakannya.
"Astaga, aku gak harus pakai ini, kan?" tanya Gisel dengan diri sendiri.
"Kamu harus mengenakannya, Gisel."
Gisel yang mendengar suara lain langsung mengalihkan pandangan. Manik matanya menatap ke arah Kenzo yang sudah berdiri tidak jauh darinya, membuat Gisel yang melihat langsung terdiam.
Aku baru saja bahagia karena lepas darinya, kenapa dia sudah datang? Ini bahkan masih jam delapan malam, batin Gisel, menatap Kenzo dengan perasaan tidak karuan.
***