Gisel menggeliat pelan ketika merasakan perutnya terasa perih. Perlahan, dia membuka kelopak mata, menatap langit kamar dengan tatapan khas bangun tidur. Sejenak, dia kembali memejam dan membuka, mencoba menyesuaikan pandangannya dengan ruangan sekitar yang terasa sepi.
Perlahan, Gisel mulai bangkit dan duduk. Perutnya masih terasa begitu perih karena seharian belum menyantap apa pun. Dia hanya makan nasi di saat sarapan. Itu pun dalam jumlah sedikit karena Kenzo yang menyuruhnya makan dengan cepat. Mengingat sang kakak membuat Gisel menatap sekitar, mencoba mencari keberadaan pria tersebut. Hingga dia tidak melihat keberadaan sang kakak di kamarnya, membuat Gisel mendesah pelan.
Akhirnya dia pergi, batin Gisel, merasa laga karena tidak melihat Kenzo di kamar hotelnya. Setidaknya dengan begitu, malam ini Kenzo tidak akan mengganggu dirinya.
Namun, belum sempat melakukan apa pun, perutnya berbunyi. Gisel yang merasa lapar langsung mendesah kasar. Manik matanya menatap ke arah telfon di dekatnya, berniat untuk memesan makanan dan mengantar ke kamar, tetapi mengingat dia yang tidak mendapat izin dari Kenzo, Gisel mengurungkan niat.
Sejenak, Gisel diam, memasang raut wajah berpikir. Tangannya menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Kakinya melangkah pelan, menuju ke arah sofa di ujung ruangan, dekat dengan balkon kamar. Dia ingin melihat apakah ada uang di dompetnya atau tidak. Jika ada, dia berniat untuk datang ke lantai dasar, memesan makanan. Dengan begitu, Kenzo tidak akan marah karena uang pria tersebut tidak dia gunakan.
Namun, belum juga Gisel sampai di tempat, ketukan pintu terdengar, membuat langkah wanita tersebtu terhenti. Manik matanya beralih, menatap ke arah pintu yang terus aja diketuk. Jika itu Kenzo, pria tersebut pasti sudah mengamuk di depan kamarnya. Selain itu, kakaknya juga tidak akan membutuhkan kunci karena dia pasti sudah memegangnya. Hingga Gisel melangkahkan kaki, menuju ke arah pintu dan membukanya.
"Selamat malam, Nona. Tuan Kenzo memberikan perintah agar kami mengantar makan malam untuk anda," ucap salah satu pelayan.
Gisel yang mendengar langsung mengulas senyum lebar. Dia mulai membiarkan para pelayan masuk, mendorong troli yang berisi menu makan malamnya dan menyusun di meja dekat sofa. Melihat hal tersebut, Gisel mendesah pelan. Setidaknya kakaknya masih peduli dengan dirinya. Terbukti Kenzo yang memikirkan malam malam untuknya.
"Selamat menikmati, Nona," ucap sang pelayan.
"Tunggu," cegah Gisel ketika sang pelayan akan keluar.
"Di mana kakakku?" tanya Gisel, penasraan dengan keberadaan pria tersbeut.
"Kami tidak tahu, Nona. Kami hanya menjalankan perintah dan tidak berani banyak bertanya," jawab sang pelayan.
Gisel menganggukkan kepala dan mengulas senyum tipis. Dia membiarkan para pelayan untuk keluar dari kamarnya dan kembali menutup. Kakinya melangkah ke arah sofa, tidak sabar mengisi perutnya dengan makanan. Rasanya dia juga lelah karena cacing miliknya terus saja berdemo.
Gisel mulai duduk di sofa dan mengambil satu per satu menu di depannya. Dia mulai mencoba, merasakan kenikmatan dari setiap menu di hotel tersebut. Bahkan, dia memakan semuanya dengan cukup lahap. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Gisel menghabiskannya. Hingga dia meraih gelas di dekatnya dan meneguk jus hingga habis.
"Kenyang," gumam Gisel dengan senyum lebar, benar-benar puas dengan apa yang baru saja dia makan.
Gisel mulai bangkit dan kembali melangkah. Tujuannya kali ini adalah kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri setelah seharian menemani Kenzo berkeliling. Mengingatnya Gisel menjadi penasaran. Namun, sebelum itu Gisel ingin mengecek ponselnya yang sejak tadi tidak tersentuh.
Keputusan apa yang kakak ambil untuk hotel ini, batin Gisel. Hingga pintu kamar terbuka. Gisel yang baru menghentikan langkah di pinggir ranjang untuk mengecek ponselnya langsung mengalihkan pandangan. Kedua mata yang sejak tadi menunjukkan kebahagiaan perlahan berubah, memasang raut wajah cemas dengan mulut tertutup rapat.
Astaga, kenapa dia sudah kembali, batin Gisel ketika melihat Kenzo sudah berada di pintu.
***
"Kamu pastikan lagi mengenai informasi yang mereka berikan, Arkan. Aku merasa ada yang aneh dengan mereka," perintah Kenzo dengan tegas.
"Baik, Tuan," sahut Arkan dengan raut wajah datar. Setiap hari dia memang begitu, tidak menunjukkan ekspresi sama sekali, sama persis dengan Kenzo yang jarang sekali menunjukkan ekspresi. Keduanya seakan hanya memiliki dua ekspresi, sinis dan membunuh.
Kenzo menghentikan langkah ketika berada di depan pintu kamar Gisel. Tanpa mengetuk lebih dulu, Kenzo membuka pintu. Pandangannya langsung tertuju ke arah Gisel yang masih berdiri, tepat di sebelah ranjang. Dengan tenang, dia mulai masuk dan menutup pintu. Sekilas, dia melihat bekas makan yang sudah habis, membuat sebelah bibirnya terangkat dan menunjukkan senyum sinis.
Ternyata dia lapar juga, batin Kenzo dan kembali menatap ke arah Gisel yang hanya diam. Setiap melihat wajah tertekan wanita tersebut, ada perasaan senang dan puas dalam hatinya. Hingga perlahan, kakinya melangkah pelan, menuju ke arah Gisel berada.
Hening. Ruang kamar tersebut tidak terdengar percakapan sama sekali. Hanya ada suara langkah kaki penuh intimidasi, terdengar begitu tenang dan juga mematikan. Gisel yang berada di sana pun tidak mampu bergerak. Kakinya seakan terpaku di tempat tersebut, membuatnya benar-benar bingung, mencari cara untuk menghindar dari Kenzo.
Namun, belum juga dia mendapatkan cara, Kenzo sudah lebih dulu berhenti di depannya. Tangan kekar pria tersebut langsung terulur, mendekap pinggang Gisel dan menarik kasar, membuat mau tidak mau Gisel langsung mendekat dan menabrak tubuh Kenzo.
"Kak," cicit Gisel ketika melihat Kenzo menatapnya dengan cukup dalam.
"Aku mau menagih bayaran untuk keputusanku tadi, Gisel," ucap Kenzo tepat di depan wajah Gisel.
Gisel yang mendengar langsung membelalakan kedua mata lebar. Meski sudah menebaknya, tetap saja dia terkejut karena Kenzo serius dengan ucapan pria tersebut. Kenzo yang tidak sabar menunggu jawaban Gisel langsung mendekat dan menyatukan bibirnya dengan bibir Gisel. Mulut yang sebelumnya sempat terbuka Kenzo gunakan untuk memasukkan lidah, mengabsen satu per satu isi di dalam mulut adik tirinya. Dia bahkan langsung membelit lidah sang adik, mengabaikan jika Gisel kesulitan mengimbangi permainannya. Hingga dering ponsel terdengar, membuat Kenzo menghentikan permainan.
Kenzo mengambil ponsel di saku celana, menatap ke arah layar yang sudah menunjukkan nama sang papa. Sekilas, dia menatap ke arah Gisel dan memberikan tatapan penuh ancaman. Dia tidak ingin jika sang papa tahu kelakuannya. Menurutnya, ini belum saatnya karena dia belum setengah jalan untuk membalaskan dendam. Hingga dia mengangkat panggilan dan mendekatkan ponsel di telinga.
"Halo, Pa," sapa Kenzo.
"Aku hanya mengajari dia untuk berbisnis seperti apa yang Papa katakan."
"Baiklah, aku tidak akan mengulangi. Sekatang aku harus memeriksa berkas. Jadi, aku matikan dulu."
Kenzo mematikan panggilan dan meletakan ponsel di nakas. Manik matanya kembali menatap ke arah Gisel dan menunjukkan senyum sinis dengan sebelah bibir terangkat.
"Kita lanjutkan, Gisel," ucap Kenzo dan kembali menyatukan bibirnya dengan bibir Gisel.
***