Chereads / Sleeping with The Devil / Chapter 21 - Kedatangan Eve adalah Musibah

Chapter 21 - Kedatangan Eve adalah Musibah

"Aku harus segera sampai di sana. Aku tidak akan membiarkan Kenzo bersama dengan wanita murahan itu," ucap Eve sembari menggenggam kemudi erat. Rahangnya sudah mengeras dengan raut wajah tidak bersahabat. Sejak mendapat foto dari sahabatnya dimana Kenzo tengah menggendong Gisel, perasaannya tidak tenang sama sekali. Dia bahkan langsung menghubungi sahbatanya, menanyakan tempat keduanya berada dan langsung menyusul.

Eve menarik napas dalam dan membuang perlahan, berusaha untuk tetap fokus dengan jalanan, sekaligus mengendalikan emosinya. Jujur, sejak tadi dia ingin terus mengumpat, memaki dan memarahi siapa saja yang ada di dekatnya. Selain itu, Kenzo juga tdiak mengangkat panggilan darinya, membuat Eve semakin gusar dan tidak tenang.

Aku harus segera sampai. Aku tidak akan membiarkan dia merebut Kenzo dariku, batin Eve, benar-benar merasa tidak tenang sama sekali. Hingga lampu lalu lintas berubah menjadi merah, membuat Eve mau tidak mau memberhentikan mobil.

"Sial," maki Eve sembari memukul kemudi, melampiaskan kekesalan yang sejak tadi dia rasakan.

Sejenak, Eve hanya diam, menarik napas dalam dan membuang perlahan, berusaha menenangkan hatinya yang tidak karuan sama sekali. Dia tidak ingin jika sampai di hotel dalam keadaan marah. Bagaimanapun dia adalah anak seorang pengusaha sukses dan terkenal. Jika dibandingkan dengan Kenzo, jelas kedudukan keluarga mereka hampir setara, meski keluarga Kingsley tetap yang menjadi urutan pertama dalam dunia bisnis dan kekayaan yang jelas begitu melimpah. Itu sebabnya, Eve tetap harus menjaga penilaian dunia terhadapnya. Dia tidak ingin mendapat penilaian jelek hanya karena seorang wanita bernama Gisel.

Gisel. Eve yang mengingat nama tersebut kembali diam, merasa kesal karena dia selalu saja merasa kesal dengan kehadiran Gisel. Tidak dipungkiri, Eve merasa takut kalau akhirnya Kenzo jatuh cinta dengan adik tirinya. Gisel yang masih muda, cantik dan juga lembut membuatnya sering kali menjadi marah dan membencinya. Sikap pemaaf Gisel juga seakan menjadi pembeda sendiri dari gadis seusinya.

Eve yang mengingat alasannya membenci Gisel langsung tersentak kaget ketika klakson mobil di belakangnya berbunyi. Dia segera mengalihkan pandangan, menatap ke arah lampu lalu lintas yang berubah warna. Dengan cepat, dia segera menjalankan mobil dan melanjutkan perjalanan.

Tiga puluh menit dalam perjalanan Eve lalui dalam keheningan. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hingga dia memberhentikan mobil di parkiran hotel. Tanpa menunggu lama, Eve segera keluar. Manik matanya menatap seorang wanita dengan celana pendek yang dipadukan dengan kaos tengah menunggunya.

"Akhirnya kamu datang, Eve. Aku pikir kamu gak datang," ucap Citra—sahabat Eve.

"Kamu tahu dimana kamar mereka?" tanya Eve to the point, merasa tidak memiliki waktu untuk berbasa-basi atau sekedar menanyakan kondisi sahabatnya.

Citra yang ditanya mendesah pelan dan menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu mereka di kamar berapa, Eve. Aku juga takut kalau harus mengikuti Kenzo sampai ke kamaarnya," jawab Citra, mengulas senyum canggung.

Eve berdecak kecil dan memutar bola mata pelan. "Kenapa kamu tidak mengikutinya," protes Eve dengan raut wajah masam.

Karena aku masih sayang dengan nyawaku, Eve. Astaga, apa kamu lupa kalau tunangan kamu adalah orang yang mengerikan, batin Citra, menampilkan senyum miris.

"Sekarang kita masuk. Aku akan bertanya dengan resepsionis," ucap Eve dan langsung masuk, tanpa menunggu Citra, membuat sahabatnya mendesah kasar.

Sedangkan di sisi lain, Arkan yang baru saja keluar lift langsung berhenti ketika melihat Eve melangkah masuk. Beruntung lift yang dia naiki berada di bagian lorong, membuat wanita tersebut tidak melihat dirinya. Hingga dia menyembunyikan tubuh dan mengambil ponsel.

Untuk apa dia ke sini, batin Arkan dengan raut wajah penuh tanya.

***

Kenzo menatap ke arah punggung Gisel yang masih membelakanginya, membuat Kenzo berdecak kecil dan memutar bola mata pelan. Sudah lima belas menit Gisel bertingkah seperti saat ini, seakan enggan menatapnya. Bahkan Gisel mengeratkan dekapan diselimut, takut jika Kenzo akan menariknya dengan paksa. Meskipun begitu, tenaga Gisel pun tidak akan sebanding dengan tenaga Kenzo dan dapat dipastikan jika selimut itu tetap saja akan terlepas begitu saya. Membayangkan hal tersebut membuat Kenzo menaikan sebelah bibir.

Aku rasa aku memiliki ide buruk untuk melihat wajah cemasnya lagi, batin Kenzo, diikuti seringai menyeramkan.

Kenzo baru akan mendekat dan melakukan rencana jahatnya. Melihat Gisel berada dalam ketakutan adalah kebahagiaan untuknya. Dia akan merasa sangat senang jika wanita yang dibencinya takut dan tidak tenang. Setidaknya dengan begitu dia bisa merasa bisa membalaskan sedikit demi sedikit dendam yang selama ini dia rasakan.

Namun, belum juga Kenzo melakukan rencana liciknya, dering ponsel terdengar. Kenzo yang merasa kegiatannya terganggu langsung berdecak kecil dan memutar bola mata pelan. Dalam hati dia benar-benar mengutuk orang yang sudah mengganggunya. Hingga dia meraih ponsel, menatap nama Arkan yang tertera di layar dan segera menggeser tombol di layar.

"Ada apa, Arkan?" tanya Kenzo to the point. Dia tidak suka berbasa-basi untuk menanyakan tujuan anak buahnya. Dia pun jarang sekali menyapa orang yang menghubunginya. Hanya dengan papanya dia menjadi sosok ramah dan pengertian.

"Maaf, Tuan. Nona Eve di sini," jawab Arkan dari seberang.

Sejenak, Kenzo hanya diam. Eve di tempat yang sama dengannya? Namun, sesaat kemudian dia mendesah kasar dan menyandarkan tubuh dengan punggung ranjang. Gisel yang sejak tadi memunggungi pun mulai mengalihkan pandangan, merasa penasaran dengan desahan sang kakak.

"Apa yang dia lakukan di sini, Arkan?" tanya Kenzo dengan raut wajah serius.

"Sepertinya mencari anda, Tuan," jawab Arkan.

Kenzo berdecak kecil dan memutar bola mata pelan. Bukan dia takut karena Eve datang ke tempat yang sama dengannya dan melihat kedekatan antara dia dengan Gisel. Hanya saja, setiap wanita tersebut mendatanginya, dia merasa kesal karean Eve yang selalu mencari masalah dan membuat keributan yang tidak jelas. Dia yakin di tempat ini pun Eve akan menyusahkannya, mengingat wanita tersebut begitu licik dan selalu memanfaatkan keadaan.

"Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanya Arkan dari seberang.

"Lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan, Arkan," jawab Kenzo dengan tenang.

"Baik."

"Ada apa, Kak?" tanya Gisel ketika Kenzo sudah mematikan panggilan dan meletakan ponsel di nakas.

"Ternyata kamu masih bernyawa? Aku pikir sejak tadi aku tidur dengan mayat." Bukanya menjawab, Kenzo malah menyindir Gisel, membuat wanita tersebut langsung diam dan menutup mulut rapat.

Kenzo mulai menyingkap selimut dan turun dari ranjang, mengabaikan dia yang tidak mengenakan apa pun. Gisel yang melihat pun refleks menutup mata. Meski sering berhubungan dengan Kenzo, tetap saja dia merasa malu jika harus melihat Kenzo tanpa pakaian. Hingga Kenzo yang berniat melangkah berhenti dan menatap ke arah Gisel.

"Oh iya, Eve di sini," ucap Kenzo memberitahu.

Gisel yang mendengar langsung menelan saliva pelan dan membuka mata pelan. Astaga, cobaan apalagi ini, batin Gisel.

***