Gisel menarik napas dalam dan membuang perlahan. Kakinya melangkah pelan, menuju ke arah pintu dengan detak jantung yang tidak karuan sama sekali. Bahkan kali ini dia merasa jika detak jantungnya sudah berdetak dua kali lipat dari biasanya. Hingga dia membuka pintu dan hanya mengeluarkan kepala untuk mengamati sekitar.
"Apa yang kamu lakukan, Gisel?"
Seketika, Gisel yang mendengar suara bariton mengurnya langsung tersentak kaget. Manik matanya menatap ke asal suara, melihat sang pelaku yang sudah membuatnya berjingkat terkejut. Namun, saat melihat Kenzo yang berdiri tidak jauh darinya membuat Gisel mengurungkan niat untuk memaki, memilih berdiri tegap dengan sebagian tubuh masih di dalam kamar mandi.
"Keluar," perintah Kenzo dengan tegas.
Gisel hanya diam dan memilih menurut. Dia tidak ingin membuat masalah dengan sang kakak yang terkenal dengan kekejamannya. Ditambah dengan apa yang Kenzo lakukan semalam, membuat Gisel masih memiliki trauma dan enggan bermasalah dengan Kenzo. Itu sebabnya dia memilih menurut. Setidaknya jika dia menurut, tidak akan ada masalah dan Kenzo tidak akan menyentuhnya lagi, pikir Gisel. Hingga dia sudah keluar sepenuhnya dan menatap ke arah Kenzo.
Hening. Tidak ada sepatah kata pun terucap dari bibir Kenzo. Dia hanya diam, memperhatikan penampilan Gisel yang hanya menggunakan bathrobe dengan rambut basah tergerai. Ditambah beberapa tetes air jatuh, membuat bagian atas dada wanita tersebut mengkilap. Melihat hal tersebut, Kenzo langsung menelan saliva pelan.
Astaga, kamu harus menahannya, Kenzo, batin Kenzo, berusaha mengontrol hasrat yang tiba-tiba saja kembali memuncak.
Sedangkan Gisel, dia hanya diam dengan mulut tertutup rapat, tidak berani berkutik ketika ditatap sebegitu dalam. Jujur, kakinya benar-benar terasa lemah dengan degup jantung tidak karuan. Tangannya bahkan sudah meremas ujung tali bathrobe, berusaha menenangkan degup jantungnya. Hingga Kenzo mengulurkan paper bag, membuat Gisel mendongakan kepala.
"Kamu pakai ini dan ikut aku keluar," ucap Kenzo dengan nada suara yang terkesan dingin.
Gisel yang mendengar langsung mengambilnya, tidak ingin membuat Kenzo marah karena responnya yang lambat. Perlahan, dia mulai membuka paper bag, melihat isi di dalamnya dan kembali menatap Kenzo.
"Kak, sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Gisel, penasaran karena kakaknya memberikan dress dengan bagian atas terbuka.
"Aku hanya mau membawamu keliling hotel, Gisel. Ada kebun binatang di belakang dan kamu bisa bermain di sana," jawab Kenzo.
Seketika, Gisel yang mendengar langsung menarik kedua sudut bibir, membentuk senyum lebar. Manik matanya bahkan langsung menunjukkan binar penuh kebahagiaan, merasa senang karena dia yang akan bisa menikmati kehidupan setelahnya. Meski dia sendiri tidak yakin akan tetap tenang karena Kenzo berada di sisinya.
"Cepat ganti pakaian dan kita aka segera berangkat," ucap Kenzo, lebih menyerupai seperti sebuah perintah.
Gisel bergumam pelan dan segera melangkah ke arah pintu. Dengan semangat, dia ingin berganti pakaian yang baru saja diberikan Kenzo. Namun, baru juga membuka pintu kamar mandi dan siap masuk, Kenzo sudah menahan lengannya, membuat Gisel menatap ke arah sang kakak dengan tatapan bingung.
"Kamu ganti di sini," ucap Kenzo, membuat Gisel langsung membelalakan kedua mata lebar dan wajah memerah.
"Tidak perlu malu, Gisel. Aku bahkan sudah melihat semua yang ada di tubuh kamu. Aku bahkan sudah menikmatinya. Jadi, aku rasa kamu tidak perlu malu lagi dengan hal itu," imbuh Kenzo enteng dan melepaskan genggaman di lengan Gisel.
Sejenak, Gisel yang mendengar hanya diam, menatap Kenzo yang sudah berlalu meninggalkannya, menuju ke arah sofa. Masih ada ragu yang dia rasakan. Meski Kenzo sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewatkan, tetap saja dia merasa malu karena bagaimanapun mereka adalah keluarga.
Namun, deheman keras dari arah Kenzo membuyarkan semua pikiran Gisel. Tanpa mengatakan protes apa pun, Gisel mulai menarik tali bathrobe, melepas dan menunjukkan seluruh tubuh mulusnya tanpa penghalang sama sekali. Dengan setengah hati, dia langsung menggunakan pakaiannya dengan Kenzo yang masih mengamati. Sesekali, dia melirik ke arah Kenzo yang menatap tanpa berpaling sama sekali, membuatnya mempercepat gerakan, tidak mau kalau Kenzo kembali melakukan hal yang semalam mereka lakukan. Tubuhnya masih terasa sakit, terlebih hatinya.
Gisel mendesah pelan ketika mengingatnya. Bagaimana dia merasakan kecewa, sakit hati dan juga penyesalan. Rasanya begitu menyesal karena dia yang tidak bisa melindungi diri sendiri. Menyesal karena tidak bisa mencegah Kenzo agar tidak menyentuhnya. Namun, semua sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Semua penyesalan yang dikatakan Gisel bahkan terasa tidak ada artinya sama sekali. Hingga dia yang sudah selesai melihat Kenzo menepuk sebelah sofa, menandakan jika Gisel harus segera datang dan bergabung.
Gisel yang melihat memilih diam dan menurut. Entah kenapa, setiap kali Kenzo memberikan perintah, dia tidak berani membantah. Entah karena sebuah kebiasan atau karena Kenzo yang memegang semua gerak kehidupannya. Kenzo adalah pengendali untuk semua yang harus dia lakukan.
"Makan. Setelah ini kita akan berangkat," ucap Kenzo dan lagi-lagi terdengar seperti perintah.
***
"Jangan pernah memasang raut wajah cemberut, Gisel," peringat Kenzo dengan suara penuh penekanan.
Gisel yang mendengar bergumam pelan. Dia mulai menarik sudut bibir, membentuk senyum lebar yang membuat wajah ayunya semakin terlihat mempesona. Sebagai seorang anggota keluarga Kingsley, meski tanpa marga keluarga tersebut, Gisel harus tetap memasang raut wajah sempurna agar tidak menjadi pembicaraan publik. Bahkan banyak pasang mata yang menatap ke arahnya, terpesona dengan kecantikan yang ditunjukkan wanita tersebut. Sayangnya, keberadaan Kenzo di samping Gisel membuat semuanya menyingkir karena takut. Pasalnya, siapa yang tidak mengenal seorang Kenzo, pria paling sukses dan juga berpengaruh di dalam negeri.
Menghentikan pikirannya yang sejak tadi melayang, Gisel kembali fokus dengan jalanan. Kakinya masih terus melangkah, mengikuti Kenzo yang berjalan di sebelahnya, sesekali melirik dan menatap wajah angkuh sang kakak tiri. Bahkan Kenzo seperti tidak memiliki perasaan sama sekali karena terus melangkah lebar tanpa memikirkan keberadaan Gisel yang cukup sulit untuk mengikuti langkahnya. Beruntung karena kali ini Gisel menggunakan flat shoes dan bukan high hills. Hingga Kenzo menghentikan langkah di depan seorang pria yang sejak tadi berdiri menunggunya.
"Selamat datang, Tuan," sapa pria dengan jas hitam yang sudah menyunggingkan senyum ramah.
"Bisa kita berangkat sekarang?" tanya Kenzo tanpa menyahut sapaan pria di depannya.
"Bisa, Tuan. Kami juga sudah menyiapkan semuanya," jawab pria tersebut dan melirik ke arah Gisel. "Dan apakah kekasih anda ikut dengan anda?" timpal pria tersebut, sembari mengamati Gisel yang terasa tidak asing baginya.
Kenzo yang mendengar hal tersebut berdecak kecil dan memutar bola mata pelan. "Dia adikku," tegas Kenzo, membuat pria tersebut menatap ke arah Kenzo. "Dan dia yang akan menentukan aku berinverstasi di hotel ini atau tidak," tambah Kenzo.
Gisel langsung membelalakan kedua mata dan menatap ke arah Kenzo yang sudah menaikan sebelah bibir, mengejek Gisel yang sudah mematung di tempat. Astaga, cobaan apalagi ini, batin Gisel.
***