"Gisel sedang tidur. Jadi, jangan diganggu."
Leo yang mendengar suara lain langsung tersentak kaget dan membelalakan kedua mata. Rasanya cukup terkejut karena suara yang berada di seberang bukanlah suara Gisel. Awalnya dia menghubungi ingin bertanya perihal alasan Gisel yang tidak berangkat ke kampus. Namun, mendapati suara lain yang menjawab telfon Gisel, sebuah pertanyaan lain langsung melintas dalam pikirannya.
Siapa pria itu? Apa Gisel sudah memiliki kekasih?, batin Leo dengan raut wajah berpikir. Dia bahkan mulai tidak fokus dengan panggilan yang sudah terputus, terbukti dari ponsel yang masih dia letakan di dekat telinga. Raut wajahnya pun mulai berubah, benar-benar tidak terlihat fokus dengan aktivitasnya.
Citra yang kebetulan sedang berjalan tidak jauh dari Leo mengerutkan kening dalam. Manik matanya menatap lekat ke arah pria yang menurutnya terlihat aneh. Hingga Citra mempercepat langkah dan menatap Leo lekat.
"Pak Leo," panggil Citra dengan suara lirih.
Namun, tidak ada jawaban sama sekali. Leo masih diam, seakan dia benar-benar berada di dunia yang begitu berbeda. Selain itu, melihat Leo yang tampak seperti patung yang membuat Citra semakin menatap lekat. Hingga Citra mengulurkan tangan, menepuk pundak Leo pelan, tetapi siapa sangka jika reaksi pria tersebut cukup berlebihan, membuat Citra langsung menahan tawa.
Astaga, jangan tertawa, Citra. Nanti kamu dihukum, batin Citra, masih menutup mulut rapat agar tawanya tidak keluar.
Leo yang baru saja tersadar langsung menatap ke arah Citra. Langsung saja bibirnya menunjukkan senyum lebar ketika melihat mahasiwinya menatap ke arahnya lekat, tidak ingin jika wajah bodohnya terlihat oleh siapa pun. Namun, melihat Citra yang tengah menahan tawa, Leo cukup tahu apa yang tengah ditahan gadis di depannya. Hingga dia berdehem pelan, bersikap senormal mungkin dan menatap lekat.
"Kamu kenapa di sini?" tanya Leo sembari memasukkan ponsel ke saku celana.
"Lihat Bapak," jawab Citra sekenanya.
"Hah?" Leo langsung mengerutkan kening dalam dan menatap lekat. Mulutnya sudah terbuka setengah, terkejut mendengar apa yang baru saja Citra katakan.
"Maksud saya, saya tadi lihat Bapak melamun di sini. Jadi, saya ke sini," jelas Citra ketika sadar dengan ucapannya yang memang terkesan ambigu.
Leo yang mendengar langsung menganggukkan kepala beberapa kali, mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan Citra. Pasalnya, sejak tadi dia memang melamun karena memikirkan mengenai suara seorang pria yang mengangkat panggilan Gisel. Hingga manik matanya menatap Citra yang masih berdri di depannya.
"Kalau begitu, saya permisi, Pak," ucap Citra, mulai merasa tidak nyaman karena Leo yang terus menatapnya.
"Tunggu," cegah Leo.
Citra yang baru saja mengayunkan kaki dan siap melangkah langsung berhenti. Namun, dia hanya diam dan menatap ke arah Leo, menunggu pria di depannya membuka suara.
"Ada apa ya, Pak?" tanya Citra ketika Leo masih saja bungkam dan tidak juga mengatakan sesuatu, membuatnya semakin merasa penasaran.
Sebenarnya kenapa? Apa aku membuat kesalahan, batin Citra dengan perasaan was-was.
"Bukannya kamu teman Gisel?" tanya Leo dengan tatapan lekat dan langsung mendapat anggukan dari arah Citra.
"Apa Gisel sudah punya pacar?" tanya Leo kembali.
Mendengar hal tersebut, Citra langsung diam dan memasang raut wajah berpikir. Apa Gisel memiliki kekasih? Sedikit mengingat obrolan dirinya dengan sang sahabat. Hingga dia teringat kejadian beberapa waktu lalu yang cukup menghebohkan, membuatnya tersenyum lebar.
Mungkin pak Leo juga termakan dengan gosip dan vidio itu, batin Citra. Namun, sesaat kemudian dia terlihat bingung dan menatap Leo lekat.
Tapi kenapa pak Leo bertanya begitu? Memang apa pentingnya unutk dia, pikir Citra tanpa mengalihkan pandangan.
"Kamu yakin?" tanya Leo kembali.
"Kenapa Bapak bertanya begitu? Bukannya itu bukan urusan Bapak?" Citra balik bertanya dan menatap lekat, merasa aneh dengan tingkah Leo kali ini.
Leo yang tahu kebingungan di wajah Citra mendesah pelan. "Saya teman Gisel sejak kecil. Saya bertanya begit karena tadi waktu saya menelfon Gisel, bukan dia yang mengangkat, tetapi suara seorang pria," jelas Leo, tdiak mau ada salah paham.
Citra yang mendengar langsung tersenyum lebar dan menganggukkan kepala.
"Jadi, kamu yakin dia tidak memiliki kekasih?" tanya Leo kembali.
"Yakin," jawab Citra penuh percaya diri.
"Tapi, tadi ak …."
"Mungkin itu kak Kenzo. Kakak tiri Gisel," sela Citra.
Leo langsung terdiam dan menatap Citra lekat. gGisel memiliki kakak tiri? Kenapa aku tidak tahu, batin Leo.
***
Kamu makan sendiri saja, Eve. Aku ada urusan dan akan makan di luar.
Eve yang mengingat kalimat Kenzo langsung memukul kemudi keras. Sejak tadi dia benar-benar merasa emosi dengan pria yang akan menjadi suaminya. Sejak dia kembali, Kenzo bahkan tidak ada waktu untuknya. Pria tersebut terkesan menghindar dan juga tidak mau bertemu dengan dia. Terbukti dengan Kenzo yang mengusirnya dari kantor, menyuruh dia pergi dari rumah dan bahkan meninggalkan rumah di pagi hari.
Eve meremas kemudi erat dengan rahang mengeras dan napas memburu. Dia benar-benar tengah diliputi perasaan kesal yang begitu dalam. Bagaimana tidak? Dia yang tidak pernah memasuki dapur, hari ini harus masuk dapur hanya untuk menyiapkan sarapan Kenzo. Dia bahkan mengabaikan semua kemungkinan yang akan terjadi, seperti jika tangannya terkena pisau ataupun api. Namun, pria tersebut bahkan tidak melihat masakan yang dia buat dan langsung pergi.
Mengingat hal tersebut, Eve langsung mendesah kasar. Dia mulai menyandarkan tubuh dengan punggung kursi, mencoba meredam semua kemarahan yang sudah beberaap hari dia rasakan. Dia tidak ingin emosi sesaatnya menjadi bumerang untuk diri sendiri. Dia tidak ingin jika nantinya Kenzo akan marah karena mendapat tentangan darinya.
Kamu harus tenang, Eve. Kamu harus mengendalikan emosi supaya Kenzo bisa luluh dengan kamu, batin Eve, menyemangati diri sendiri.
Eve yang merasa membaik mulai mengambil ponsel dan menekan nomor seseorang. Dia hanya diam, memasang raut wajah datar dan menunggu panggilannya tersambung. Rasanya tidak sabar untuk mendapat jawaban dari pria di seberang. Hingga panggilannya terangkat, membuat Eve tersenyum lebar.
"Pa, aku mau berbicara serius dengan papa," ucap Eve.
Sedangkan di tempat lain, Kenzo sudah keluar dari mobil dan melangkah ke arah meja resepsionist. Dia mengabaikan beberapa karyawan yang sudah melayaninya dengan begitu baik. Dia tahu, itu semua hanyalah formalitas karena pada kenyataannya mereka hanya ingin Kenzo berinvestasi pada hotel tersebut. Hingga dia berhenti di depan meja resepsionist dan menatap lekat.
"Siapkan satu kamar lagi yang berada di dekat kamarku," ucap Kenzo serius.
Gisel yang mendengar langsung tersenyum lebar. Untung dia gak minta satu kamar, batin Gisel merasa lega. Ditambah Kenzo yang datang karena urusan bisnis, membuat pria tersebut pasti sibuk seharian. Menyadari fakta tersebut, Gisel semakin tersneyum lebar dan penuh kebahagiaan.
***