"Gisel, kamu baik-baik saja?"
Gisel yang saat itu tengah tersenyum lebar langsung berhenti dan menatap ke arah Leo berada. Dia hanya diam dengan kedua mata menatap lekat, seakan tidak mengerti dengan pertanyaan Leo yang menurutnya aneh.
"Aku hanya merasa kalau ada hal yang berbeda dengan kamu, Gisel," jelas Leo ketika perempuan di depannya terus menatap, tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dia tahu, Gisel tidak mengerti dengan pertanyaan yang baru saja dia lontarkan.
Gisel yang mendengar hal tersebut langsung tersenyum lebar. Dengan cepat, dia menganggukkan kepala dan membuang napas pelan. Meski dia sendiri tahu jika dirinya tidak dalam keadaan baik, tetapi dia juga enggan berbagi kesedihan yang menurutnya hanya membuat dia malu.
"Kalau kamu ada masalah, kamu bisa katakan denganku, Gisel," ujar Leo, masih merasa cemas dengan kondisi Gisel. Dia mengenal Gisel sejak kecil dan dia tahu seperti apa sifat perempuan tersebut.
Gisel menganggukkan kepala dan bergumam pelan. "Jangan cemas, Pak dosen. Aku baik-baik saja," ucap Gisel dengan bibir yang masih dihiasi dengan senyuman.
Seketika, mendengar panggilan yang baru saja diberikan, Leo ikut tertawa. Entah kenapa, dia selalu meras aneh setiap kali Gisel memanggilnya dengan sebutan dosen. Hingga dia menghentikan tawa, membuang napas pelan dan menatap lekat.
"Gisel, aku lebih suka kamu memanggilku kakak dari pada pak," ucap Leo, benar-benar merasa tidak nyaman setiap kali Gisel memanggilnya dengan sebutan yang menurutnya aneh. Meski sudah beberapa tahun dia bekerja di Universitas tersebut dan semua memanggilnya dengan sebutan pak, dia masih belum terbiasa. Terlebih jika Gisel yang memanggilnya.
"Kenapa?" tanya Gisel dengan kening bekerut dalam. "Bukannya seharusnya aku memanggilnya pak? Ini di kampus dan bukan di rumah," tambah Gisel.
"Sebenarnya gak masalah. Hanya saja, aku merasa kurang nyaman," jawab Leo, memasang senyum canggung.
Hening. Gisel yang mendengar hanya diam, menatap Leo dengan tatapan datar. Dia tidak berniat mengalihkan pandangannya sama sekali. Bahkan, Leo yang ada di depannya mulai tertawa singkat dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Rasanya tidak nyaman jika perempuan di depannya terus menatap lekat. Hingga Gisel yang melihat Leo salah tingkah langsung menahan tawa dan mengalihkan pandangan.
"Gisel," panggil Leo ketika melihat Gisel yang meredam tawanya.
Mendengar panggilan tersebut, Gisel memberikan isyarat agar Leo diam sejenak, tanpa menatap ke arah pria di depannya. Pasalnya, dia merasa jika ekspresi Leo kali ini terlihat begitu lucu. Tidak biasanya dia melihat seorang Leo salah tingkah hanya karena tatapan seseorang. Hingga dia merasa membaik, membuatnya berdehem pelan dan menatap ke arah Leo.
"Maaf, aku hanya belum terbiasa dengan wajah malu kamu, Kak," ucap Gisel, tidak mau kalau nantinya Leo salah paham dan marah dengannya. Bagaimanapun Leo adalah sahabatnya dari kecil dan dia tidak ingin persahabatannya menjadi kacau hanya karena hal tidak penting.
Leo yang mendengar hal tersebut langsung menganggukkan kepala, mengerti dengan apa yang dimaksud Gisel. Selain itu, dia juga merasa tidak keberatan sama sekali. Dia juga tidak merasa marah dengan Gisel. Dalam hati, dia mulai merasa lega karena Gisel yang kini tampak jauh lebih baik dari sebelumnya. Meski tidak terlihat jelas, tetapi Leo cukup menyadari jika ada kesedihan di wajah perempuan tersebut.
Dan aku harap bukan masalah yang serius, batin Leo dengan penuh harap.
***
Pukul 16.30. Gisel yang sejak tadi sibuk mengobrol, berbicara mengenai tesis dan tugas kuliahnya dengan Leo mulai menggalihkan pandangan. Rasanya sudah cukup lama tinggal di perpustakaan karena terlalu asyik berbincang dengan pria yang ada di depannya. Hingga manik matanya menatap jam dinding di depannya, mendapati jarum jam sudah berada di angka empat, membuatnya langsung membelalakan mata lebar.
Astaga, aku terlambat, batin Gisel dengan raut wajah memucat.
"Gisel, kamu kenapa?" tanya Leo ketika melihat perubahan di wajah Gisel.
Gisel yang ditanya hanya diam. Tangannya segera meraih ponsel di dekatnya, melihat banyak sekali panggilan tidak terjawab dan juga pesan masuk dari kakaknya. Dengan cepat, dia menutup buku dan mengemasi barang bawaannya.
"Gisel, kamu kenapa?" tanya Leo, masih penasaran karena Gisel yang tiba-tiba saja berubah.
"Aku harus cepat pulang, Kak. Terima kasih karena sudah mengajariku," jawab Gisel dan langsung melangkah pergi.
Leo yang melihat Gisel buru-buru hanya diam dengan kening berkerut dalam. Rasanya bingung dengan tingkah Gisel yang akhir-akhir ini sering terlihat aneh. Tidak jarang perempuan tersebut berada di perpustakaan selama seharian. Bahkan, di hari libur pun Gisel datang dan dia sering kali melihatnya.
Namun, Leo sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan perempuan tersbeut. Gisel bukanlah tipe orang yang mau mengumbar semua masalahnya. Dia merupakan tipe tertutup dan hanya akan bercerita jika menurutnya masalah tersebut bisa dia bagi. Hingga Leo mendesah kasar dan mengalihkan pandangan. Tepat saat itu, dia melihat paper bag berisi oleh-oleh yang dia bawa, membuatnya berdecak kecil.
"Dasar. Dia pasti lupa," gumam Leo sembari mengambil paper bag tersebut.
Leo mulai bangkit dan melangkahkan kaki lebar, berharap jika Gisel masih berada di sekitar kampus atau setidaknya di depan perpustakaan. Pasalnya, dia memang sengaja membawakan coklat tersebut untuk Gisel. Dia tahu, sahabatnya begitu menyukainya. Beberapa jam yang lalu, dia bahkan melihat wajah penuh dengan keceriaan dari Gisel ketika melihat kotak coklat yang dia bawah. Sampai dia keluar dan mengamati sekitar.
"Gisel," panggil Leo.
Gisel yang tengah menuruni anak tangga langsung berhenti. Dia mengalihkan pandangan, menatap ke arah Leo yang sedang berlari ke arahnya. Dalam hati, dia merutuki dirinya yang begitu ceroboh karena membiarkan ponselnya dalam mode diam.
"Ada apa, Kak?" tanya Gisel ketika Leo sudah berada di depannya.
"Coklat kamu tertinggal," jawab Leo sembari menyerahkan paper bag di depan Gisel.
Gisel yang melihat langsung mengambil dan tersenyum lebar. "Terima kasih," ucap Gisel, berusaha menyembunyikan perasaannya yang tidak tenang.
"Kamu sepertinya buru-buru sekali, Gisel. Ada masalah?" tanya Leo.
Gisel yang ditanya baru membuka mulut dan siap menjawab ketika ponselnya mulai bergetar. Dengan cepat, dia menatap layar ponsel, melihat nama Kenzo kembali terlihat di layar.
"Gisel," panggil Leo kembali.
"Kak, aku harus pergi sekarang. terima kasih untuk coklatnya," ucap Gisel, mengabaikan panggilan Leo.
Lagi. Gisel melangkah lebar dan meninggalkan Leo. Dengan cepat, kakinya melangkah lebar, sesekali berlari ke arah mobil yang berhenti tidak jauh darinya. Kali ini sang kakak bahkan menunggu di dalam kampus, membuatnya yakin jika Kenzo sudah berada di batas kesabaran.
Dan aku yakin, kali ini aku benar-benar dalam masalah, batin Gisel dengan raut wajah cemas.
Sedangkan Leo yang masih berdiri terus mengamati Gisel yang mulai memasuki sebuah mobil, membuatnya terdiam dan mengerutkan kening dalam.
"Sebenarnya kamu kenapa, Gisel?" tanya Leo dengan diri sendiri.
***