Hening. Gisel hanya bungkam dengan mulut tertutup rapat ketika memasuki mobil yang di kendarai Kenzo. Suasana di dalam cukup mencekam, membuat Gisel tidak cukup nyali untuk membuka suara meski hanya untuk mengatakan maaf karena dia yang sudah terlambat untuk keluar dari perpustakaan. Pasalnya, dia cukup tahu seperti apa sifat Kenzo yang jelas tidak pernah bisa menunggu sama sekali. Kenzo merupakan tipe pria yang selalu tepat waktu dan tidak suka jika ada yang terlambat dari waktu yang ditentukan, membuat Gisel lagi-lagi merutuki dirinya yang terlalu ceroboh.
Astaga, seharusnya tadi aku sadar, batin Gisel, benar-benar merasa tidak tenang sama sekali. Dia tahu jika kali ini Kenzo tengah marah dengannya. Diamnya Kenzo pun bukan merupakan hal baik karena Gisel cukup tahu jika Kenzo diam, itu artinya akan ada hal mengerikan yang terjadi.
Dan aku rasa ini akan terjadi denganku, batin Gisel menambahkan. Dia mulai menundukkan kepala, menatap jemari yang sejak tadi memainkan tali paper bag yang berisi coklat pemberian Leo. Tidak dipungkiri, dia benar-benar tidak nyaman sama sekali. Ada rasa takut yang terus menghampiri dirinya. Dia berharap jika Kenzo membuka mulut dan mengatakan hal yang menyakitkan dirinya. Mungkin memang gila, tetapi itulah yang membuatnya merasa nyaman karena jika Kenzo sudah mengeluarkan kalimat sebagai bentuk kekesalan dan amarahnya, itu menandakan jika kemarahan Kenzo mulai mereda. Hingga Gisel melirik ke arah Kenzo, menatap pria yang masih diam dengan wajah datar dan sibuk dengan kemudi.
Gisel yang melihat mendesah lirih, berusaha agar tidak terdengar oleh pria di sebelahnya karena semua harapannya sia-sia. Dia berharap jika raut wajah Kenzo berubah menjadi lebih bersahabat agar dia bisa memulai percakapan, setidaknya untuk mengatakan kalimat maaf agar perasaannya jauh lebih lega. Sayangnya, semua harapannya hanya sia-sia, membuatnya diam dan memasang raut wajah berpikir.
Apa aku langsung saja meminta maaf, ya. Setidaknya itu akan membuatku terkesan sadar kalau aku membuat kesalahan, batin Gisel, masih memikirkan cara untuk meredam amarah Kenzo.
Tapi, kalau nanti dia malah marah, gimana? Lagi-lagi Gisel menghentikan niat ketika pikiran tersebut terlintas. Dia tahu, memulai percakapan dengan Kenzo bukanlah hal yang baik, tetapi dia juga tidak yakin jika diam juga merupakan pilihan yang benar. Bagaimanapun Kenzo adalah sosok pria yang tidak tertebak sama sekali. Bahkan, tidak ada yang mengerti isi di dalam pikiran pria tersebut, termasuk sang papa yang sudah bersama dengan Kenzo sejak kecil.
Sejenak, Gisel hanya diam, mencoba memikirkan cara untuk meluluhkan Kenzo. Namun, tidak satu cara pun terlintas dalam pikirannya. Hanya kalimat maaf yang terus terpikir. Setidaknya hal tersebut yang menunjukkan ketulusan dan kesadaran jika dirinya sudah membuat kesalahan. Hingga dia mendesah pelan dan mendongakan kepala. Pandangannya mulai teralih, menatap ke arah Kenzo yang masih mengabaikannya.
"Maaf," ucap Gisel dengan tangan meremas tali paper bag erat, berusaha meredam takut yang sejak tadi dia rasakan.
Kenzo yang baru saja memberhentikan mobil karena lampu lalu lintas berubah menjadi merah mulai mengalihkan pandangan. Manik matanya menatap lekat ke arah Gisel yang masih menatapnya. Tidak ada yang terucap. Pandangannya bahkan terlihat begitu tajam dengan raut wajah dingin, membuat Gisel menelan saliva pelan.
Matilah aku, batin Gisel dengan ruat wajah cemas. Mulutnya kembali bungkam, takut melihat ekspresi Kenzo yang benar-benar tidak bersahabat sama sekali. Hingga Kenzo mendesah pelan dan kembali melajukan mobil.
"Jangan kira dengan kalimat maaf kamu bisa membuat aku luluh dan memaafkan kamu, Gisel," desis Kenzo tanpa menatap ke arah Gisel.
Gisel yang mendengar hal tersebut langsung mengalihkan pandangan, menatap jalanan dan menelan saliva pelan. Astaga, aku akan habis dengannya, batin Gisel dengan raut wajah berubah cepat.
***
"Turun."
Gisel yang mendengar suara dingin Kenzo hanya diam dengan mulut tertutup rapat. Sepanjang perjalanan, dia bahkan tidak berani untuk membuka mulutnya kembali. Dia takut jika ucapannya hanya akan membuat Kenzo semakin marah dengannya. Sampai di rumah, Kenzo kembali membuka mulut dan memerintah dengan suara dingin.
Gisel yang melihat Kenzo sudah keluar langsung menelan saliva pelan, menurut dengan apa yang dikatakan sang kakak. Dengan ragu, dia membuka pintu dan keluar. Hingga Kenzo yang ada di dekatnya langsung meraih tangan Gisel, menggenggam erat dan menatap tajam.
"Ikut aku," desis Kenzo dengan raut wajah serius.
Gisel mendesis pelan ketika merasakan genggaman di pergelangan tangannya semakin mengerat. Rasanya benar-benar sakit. Ditambah Kenzo yang menariknya paksa, membuat Gisel yang memang tidak setinggi Kenzo mulai setengah berlari agar tidak terseret. Mulutnya hanya bungkam, tidak berani memprotes pria yang melangkah di depannya. Dia sadar, dia yang membangunkan kemarahan dalam diri Kenzo.
Andai saja aku tadi terbawa suasana, batin Gisel, menyesali dia yang terlalu asyik berbicara dengan Leo. Namun, semua hanyalah penyesalan yang tidak pernah bisa diperbaiki. Hingga seseorang berdiri di depan Kenzo, membuat langkah pria tersebut terhenti.
"Kenapa kamu menghalangi jalanku, Arkan?" tanya Kenzo dengan rahang mengeras dan menatap tajam.
Arkan—anak buah Kenzo sekaligus orang kepercayaan Kenzo melirik ke arah Gisel yang tampak menyedihkan, memperhatikan wajah perempuan tersebut dengan raut wajah datar. Namun, sesaat kemudian, dia mengalihkan pandangan dan menatap ke arah Kenzo berada.
"Maaf, Tuan. Nona Eve menunggu anda di ruangan," ucap Arkan serius.
Gisel yang mendengar nama tersebut sedikit bernaps lega. Meski Eve tidak pernah baik dengannya, tidak pernah menyukai dia dan selalu bersikap sinis, tetapi kali ini dia cukup bernapas lega karena Eve yang secara langsung sudah menyelamatkannya. Dengan datangnya Eve, Kenzo akan disibukkan dengan wanita yang akan menikah dengan pria tersebut. Ya, Eve merupakan wanita pilihan sang papa dan merupakan calon istri Kenzo.
Gisel yang tidak mendengar jawaban apa pun mulai melirik ke arah Kenzo. Dia tahu kakaknya tidak menyukai Eve, tetapi Kenzo tetap diam dan menerima perjodohan yang sudah diatur sang papa. Bahkan Gisel sempat bertanya-tanya, sebenarnya apa yang Kenzo pikirkan? Kenapa dia hanya diam? Seingat Gisel, Kenzo bukanlah orang yang akan menurut jika dia tidak menyukainya. Namun, kali ini berbeda. Kenzo bahkan hanya diam, tidak berusaha memperotes, tetapi selalu memperlakukan Eve dengan kejam.
Apa sebenarnya kak Kenzo menyukai Eve? Tapi, kenapa dia selalu bersikap sinis dengan Eve? Apa memang dia orang yang tidak bisa bersikap manis, batin Gisel, masih sibuk menilai tingkah Kenzo. Hingga sebuah jawaban membuat Gisel menghentikan pemikirannya dan menatap ke arah Kenzo berada.
"Katakan dengannya aku tidak ingin diganggu. Aku sibuk mengajari Gisel cara menghargai seseorang," ucap Kenzo dengan penuh penekanan dan langsung melangkah lebar, membuat Gisel yang mendengar langsung membelalakan kedua mata lebar.
Astaga, apa yang mau dia lakukan, batin Gisel mulai tidak tenang.
***