"Aku harap dia menyukainya," gumam Eve dengan senyum lebar dan raut wajah ceria. Sudah dua puluh menit dia berada di rumah Kenzo, menanti pria tersebut datang dan memutuskan duduk di dalam ruang kerja. Dia tahu kebiasaan Kenzo yang memang selalu datang ke ruang kerja lebih dulu saat kembali ke rumah, membuatnya semakin tersenyum bahagia karena kejutannya yang akan berhasil.
Eve mengalihkan pandangan, menatap ruangan dengan warna abu yang mendominasi. Manik matanya menatap setiap sudut dari ruangan tersebut dengan pandangan lekat. Seperti yang sudah dia tebak sebelumnya. Kenzo memperhatikan semua hal dengan sangat detail, membuat Eve hanya menganggukkan kepala beberapa kali, tidak merasa asing dengan hal tersebut. Hingga dia membuang napas pelan dan menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul enam sore.
"Bukankah seharusnya dia sudah pulang?" gumam Eve dengan diri sendiri.
Sejenak, Eve masih diam dengan raut wajah berpikir. Tidak biasanya Kenzo pulang terlambat, membuatnya semakin menatap penasaran. Namun, sejak tadi dia memang tidak mendengar suara mobil Kenzo sama sekali. Entah kenapa, rasanya semua suara di sekitarnya seakan tidak terdengar juga. Hingga dia memutuskan bangkit dan melangkahkan kaki.
Eve mengitari ruang kerja Kenzo dengan pandangan lekat. Seperti yang sudah dia kira, Kenzo cukup menyukai benda-benda kecil yang berbau superhero, terbukti dengan adanya lemari kaca kecil yang tertepel di tembok yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan. Meski Kenzo terkenal begitu kejam dan tidak mengenal seperti apa kelembutan, tetap saja dia memiliki sisi seseorang yang tidak diketahui siapa pun.
"Dan hanya aku yang tahu," gumam Eve dengan penuh kebangaan.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Eve yang merasa sudah bosan mulai menarik napas dalam dan membuang perlahan. Kakinya mulai melangkah ke arah sofa dan memilih kembali duduk. Tangannya mulai meraih ponsel, memainkannya dan berusaha menghilangkan bosan yang mulai melanda. Meski demikian, dia tidak berniat untuk pergi dari rumah Kenzo. Sejak datang dia sudah berketad untuk bertemu dengan Kenzo dan dia akan melakukannya.
Sedangkan di tempat lain, Gisel sudah berbaring dengan pakaian acak. Kali ini, Kenzo sudah melepaskan seluruh kancing pakaian Gisel dan membuka lebar. Dua gundukan yang sudah terpampang jelas tanpa penghalang pun menjadi pemandangan. Bukan hanya itu, tangannya pun mulai meremas kasar, membuat Gisel hanya mampu diam dengan mulit tertutup rapat.
"Aku sudah bilang, jangan buat aku menunggu, bukan?" tanya Kenzo dengan suara serak dan tatapan tajam.
Gisel yang ditanya hanya mampu diam dengan mulut tertutup rapat. Bukannya tidak ingin menjawab, hanya saja Kenzo melarangnya untuk mendesah di tengah permainan panas tangan pria tersebut. Dia takut kalau dia berbicara, desahannya akan terdengar dan dia akan mendapat masalah.
"Gisel, bukankah aku bertanya dengan kamu. Kenapa hanya diam?" tanya Kenzo kembali dengan raut wajah berubah dingin.
Gisel yang tahu Kenzo tidak suka diabaikan mulai menarik napas dalam dan membuang perlahan, berusaha menormalkan perasaannya dan sebisa mungkin tidak mengeluarkan desahan. Hingga dia merasa membaik, membuatnya menghela napas dan menatap ke arah Kenzo berada.
"Maaf karena aku tidak sadar jika sudah jam empat, Kak," ucap Gisel, menahan desahannya.
"Lupa?" Kenzo menaikan sebelah alis dan menatap sinis. "Dan kenapa kamu tidak mengangkat panggilanku?" tanya Kenzo.
Gisel menganggukkan kepala dan berkata, "Karena di perpustakaan, aku memang selalu membuatnya model diam agar tidak dimarah. Itu sebabnya aku tidak mengangkat panggilan Kakak," jawab Gisel, sebisa mungkin tidak mendesah.
"Terus, siapa pria itu?" tanya Kenzo dengan tatapan sinis.
"Dia kak Leo. Teman ak … akh." Gisel menghentikan ucapan ketika salah satu desahananya lolos karena ulah Kenzo yang meremas dadanya kasar.
Kenzo yang mendekat langsung menaikan sebelah bibir, tersenyum sinis dan menatap ke arah Gisel lekat. Dia tahu adiknya tengah dilanda rasa takut karena sudah melanggar satu aturan yang baru saja diberikan. Hingga Kenzo mendekatkan tubuh, menyakam dengan wajah Gisel.
"Aku sudah mengatakan, kali ini jangan mendesah apa pun yang terjadi, Gisel. Tapi kamu mengabaikannya. Itu artinya kamu harus menanggung hukuman," ucap Kenzo serius.
Gisel yang mendengar langsung menegang. Bukan keinginannya mendesah, tetapi memang Kenzo yang melakukannya dengan sengaja. Pria tersebut bahkan berusaha mengalihkan perhatian, membuat Gisel yang sudah waspada menjadi lengah. Hingga Kenzo mendekatkan kepala dan meraih dagu Gisel. Dia mulai menyatukan bibirnya dengan bibir sang adik dan melumat pelan, membuat Gisel hanya mampu memejamkan mata dengan tangan mengepal, meremas seprei di ranjang Kenzo.
***
Satu jam Eve menunggu Kenzo dengan perasaan sabar, berharap jika pria tersebut akan pulang dan dia bisa memberikan kejutan dengan sang kekasih. Bahkan, dia sudah menyiapkan makanan dengan sepenuh hati. Hingga dia yang mulai tidak sabar bangkit dan melangkah ke arah pintu. Dengan cepat, dia keluar dari ruang kerja Kenzo dan melangkahkan kaki. Dia penasaran, apakah benar Kenzo belum pulang atau memang pria tersebut tidak kembali ke ruangan?
"Nona Eve."
Eve yang mendengar panggilan tersebut hanya diam dan menghentikan langkah. Dia menatap ke arah Arkan yang mulai mendekatinya. Tidak pernah ada senyum terlihat di bibir pria tersebut, membuat Eve sedikit kesal karena tidak bisa membaca ekspresi pria di depannya.
"Anda mau ke mana?" tanya Arkan ketika berada di depan Eve.
"Apa Kenzo belum pulang?" Eve balik bertanya dan menatap Arkan lekat. Dia tahu, pria di depannya tahu segalanya tentang aktivitas Kenzo.
Sedangkan di tempat lain, Kenzo menghentikan permainannya ketika Gisel sudah mencapai puncak, mengeluarkan cairan yang cukup banyak. Dengan tenang, Kenzo meraih tisu dan mengelap tangannya, membuat Gisel yang melihat semakin memerah karena malu.
"Kamu bisa kembali ke kamar kamu, Gisel," ucap Kenzo dengan dingin.
Gisel tahu, hanya ini tugasnya. Dia akan segera pergi ketika Kenzo sudah selesai bermain dengan tubuhnya. Sebenarnya dia sendiri tidak tahu apa motif Kenzo melakukannya. Apakah ada dendam atau hanya karena kesenangan semata. Namun, Gisel tidak ingin bertanya dan memperparah kondisinya.
Gisel mulai turun dari ranjang dan membenarkan pakaiannya. Dia mulai kembali mengancingkan kembali pakaiannya, bersama dengan Kenzo yang juga melakukan hal yang sama. Hingga dia selesai dan langsung mengambil tas serta paper bag miliknya. Kakinya segera melangkah ke arah pintu kamar dan keluar.
Di bawah, Eve yang tidak juga mendapat jawaban Arkan semakin kesal. Hingga dia melihat Gisel yang keluar dari kamar Kenzo dengan rambut berantakan, membuatnya membelalakan kedua mata dengan rahang mengeras. Dengan cepat, dia melangkahkan kaki dan meniki satu per satu tangga dengan pandangan cemas. Ada ketakutan melihat Gisel yang berpempilan acak. Hingga dia berada di anak tangga terakhir dan menatap ke arah Gisel lekat.
"Hei wanita penggoda," panggil Eve, tepat ketika Gisel membuka pintu dan bersiap masuk.
***