"Rencana kita buat sebarin rahasia dia gimana, Ver? Apa harus mulai ngintai dari sekarang?" ujar Doni bertanya memastikan.
Vero tidak menceritakan masalah Lidia yang sempat mengancamnya. Sepertinya memang tidak perlu untuk di bahas dan lebih baik menyimpannya dahulu hal itu agar tidak semakin membuat kedua temannya ikut kepikiran. Karena di sini yang paling penting itu membocorkan rahasia yang sedang di sembunyikan rapat oleh Lidia.
"Apa mungkin kita selidiki sampe rumahnya, Ver? Barangkali ada informasi yang akurat." sahut Bagas menambahkan usulan.
Vero sudah ada ide, namun lawannya ini tidak sembarang. Pasti ada saja yang dapat cewek itu lakukan karena kebodohan Vero sendiri. Cara itu harus benar-benar matang dan tentunya tidak dapat Lidia curigai. Jika tidak teliti maka Vero yang akan mendapatkan masalah yang lebih besar dari pada kena skors.
"Cewek itu pasti udah wanti-wanti. Gue takut kalau nanti salah satunya bakal kena jebak juga, lo berdua tahu sendiri wataknya kayak gimana." tutur Vero yang tidak terus terang.
Bagas dan Doni mendeham. Vero berpikir kembali harus memulai dengan tindakan secara halus.
"Eh, bukannya dia punya cowok yang matre itu dulu? Kenapa ga kita manfaatin aja mantannya?" sahut Bagas melirik dua temannya.
"Gue juga denger soal dia yang putus waktu itu."
Doni menjentikkan jari. "Nah. Kalau gitu kenapa kita ga langsung aja cari dia? Siapa tahu aja itu cowok punya rahasia yang di tutupi, Lidia."
Bagas mulai menganggukan kepala. "Tapi masih aja harus susun rencana kalau ga mau cowok itu minta imbalan."
"Ye, sama aja boong kalau gitu."
Vero menopang dagu. "Gue juga masih bingung harus lakuin apa buat bisa nangkap buktinya."
Dua temannya menarik napas panjang. Iri Bagas melirik pada suatu arah membuatnya segera menyikut kecil lengan Vero di sebelahnya.
"Apa, sih?"
"Onoh, lihat!" Bagas menolehkan kepala Vero pada arahannya tadi. "Samperin, gih. Kita nunggu di sini ga akan ganggu lo."
"Males gue."
Doni mendecak kecil. "Yakin lo males? Kayaknya dia ngarah ke cowok yang lagi duduk di ujung sana, tuh."
Vero mulai mengalihkan pandangannya sesuai dengan arahan Bagas tadi. Entah kenapa Vero merasa kalau cewek yang masih berjalan itu hanya mengingatkan para murid yang bernasib buruk saja. Menurutnya itu adalah motif yang baik, namun seluruh murid menganggapnya berbeda, Hanya pikiran Vero yang tertuju pada kebaikan Claire yang peduli dengan keselamatan orang.
Sedangkan banyaknya anak remaja sekarang justru memilih keburukan tanpa berpikir panjang dampaknya akan seperti apa. Vero kagum dengan sosok Claire yang berhasil mencuri hatinya.
"Kenapa orang di sini melihat dia dengan tatapan aneh?" Vero bertanya tanpa sadar.
Bagas dan Doni masih menatap jauh cewek yang sedang berbincang di sana.
"Ya, karena dia punya kemampuan khusus. Padahal menurut gue, Claire, itu keren banget bisa tahu kejadian yang akan datang." komentar Bagas tanpa melirik.
Doni mengangguk sambil menaruh lengan kirinya di pundak Bagas. "Gue setuju. Claire, cewek yang ajaib. Kalau gue yang punya kemampuan begitu, ogah banget kasih tahu mereka yang muka songong minta ampun. Apalagi kalau tahu bahaya yang bakal ngintai si, Lidia. Hih, males abis." timpalnya sambil menggedik.
Vero melirik Doni sedikit. "Kemampuan dan peduli sama orang." gumamnya membuat Bagas dan Doni menatapnya. "Mungkin kah kalau dia juga tahu rahasia, Lidia?"
>>>>>>>>>>>>
Claire berkedip satu kali. Bayangan di sekitar lab komputer terus saja terbayang olehnya hingga di ujung lorong yang minim dengan cahaya matahari. Pantas saja banyak makhluk seperti itu di sekolahannya. Selain dari pohon-pohon di belakang bangunan juga ternyata banyak ruangan yang di huni penuh oleh mereka yang tak terlihat nyata.
Mungkin jika di bandingkan dengan hal lain Claire menebak kalau di sana seolah rumah sakit jiwa yang berkeliaran oleh makhluk-makhluk yang tertawa hingga menjerit oleh tangisan pilu. Hanya saja memang berbeda alam. Mereka yang tidak terlihat berkumpul dengan sesama, namun iris Claire mendapati satu sosok yang di kenalnya.
Ryan.
Hantu lelaki itu masuk dalam makhluk-makhluk di sana. Untuk apa lelaki itu bergabung dengan para hantu yang lebih menyeramkan darinya? Claire mencoba menelisik, namun tidak ada siluet apapun yang terlintas dari bayangannya. Apa kah Ryan mencari adiknya hingga ke sana? Atau ada maksud lain?
"Soal ini mungkin aku biarin aja." Claire menghiraukan. Kakinya kembali melangkah lurus melewati koridor menuju arah tangga. Mungkin awalnya biasa saja, namun nyatanya Claire mendapati sebuah dimensi yang sekelebat lewat.
"Siswa yang memakai kacamata."
Seharusnya Claire menaiki tangga yang sudah di depan mata, akan tetapi dia mengurungkan niatnya karena hal tersebut. Dengan cepat Claire mencari orang yang di maksudkannya tadi. Sedikit susah karena banyak siswa juga yang berjalan di sana, Claire sudah hafal dengan wajahnya.
Saat kakinya berhenti di depan sosok yang sedang membaca buku, Claire masih diam di depannya. Sosok lelaki itu mendongakkan kepala melihat siapa yang sudah mengganggunya.
"Kamu, Claire?"
"Iya."
Lelaki itu berdiri dan menutup buku tebalnya. "Ngapain di sini?"
Cewek itu berucap, "Jangan lewat tangga yang ada di depan sana." tunjuk Claire pada tempatnya tadi.
Siswa itu menautkan alis. "Tapi kelas aku ada di atas, jadi jalan satu-satunya harus lewat sana."
"Kamu bisa lewat lorong."
Lelaki itu mendengus pelan. "Jangan nakut-nakutin, Claire. Aku udah tahu dan denger kalau kamu pembuat masalah di sekolah ini."
"Tugas aku selesai, soal percaya atau milih celaka itu ada di urusan kalian." Claire melongos pergi. Semuanya hanya percuma kalau saja Claire yang tidak memperdulikan keselamatan mereka.
Claire tidak acuh dalam hal mereka, walau mereka yang acuh dalam dirinya sendiri. Teman lelaki yang berada dalam satu kelasnya saja mendapatkan banyak luka karena kecelakaan motor akibat menghiraukan peringatan dari Claire. Semua yang tidak mendengarkan maka akan celaka saat itu juga.
Bukannya Claire ingin di turuti keinginannya, tetapi memang itu lah yang akan menjadi nyata. Bukan kah Claire sudah dengan baik hati meluangkan waktunya pada mereka? Mereka menganggap itu sebagai omongan semata yang sama sekali tidak berguna. Padahal mereka yang akan mengalaminya tanpa Claire yang menahan rasa sakitnya.
"Claire, tunggu!"
Cewek itu menghentikan langkah kakinya mendengar suara yang memanggil namanya.
"Memangnya apa yang akan terjadi sama aku di tangga itu?"
Claire menatap tangga yang lumayan berjarak. Klise yang sudah terlintas kembali di ingatnya. "Kamu bisa mati."
"Hah!"
"Akibat jatuh dan kepala yang terbentur keras." terang Claire dengan detil.
Siswa tersebut meringis. "Apa kamu yakin kalau aku akan bernasib seperti itu, Claire?" tanyanya seakan ragu dengan tebakan Claire.
Cewek itu menghela napas. "Karena di sini hanya kamu yang memakai kacamata bulat di banding kotak seperti siswa yang ada di lapangan itu." ucapnya sambil menunjuk ke arah yang di tuju.
Siswa itu terlihat pucat pasi. "Apa kamu bisa buktikan?"
"Kecuali kalau kamu memiliki takdir yang berbalik dari sebelumnya."