Vero melirik Claire yang berada di sampingnya sejak tadi. Cewek itu yang mengobati luka goresan di lengannya akibat mengenai paku di bawah meja.
"Maaf."
Vero tersenyum miring. "Ini nyata bukan salah lo. Justru gue yang harusnya minta maaf karena omongan, Bagas."
"Dia bener. Aku yang cari masalah di sekolah ini."
Vero menggeleng cepat. "Engga! Lo itu sama kayak kita, mereka aja yang nyangka lebih buruk. Gue yakin hati lo tulus mau bantu temen lo yang kerasukan. Gue juga berusaha bantu walau ga ngerti caranya gimana."
Claire masih belum bisa menyangka dengan ucapan Ryan. Sebelum para guru membawa ustadz yang membuat semua keadaan membaik hantu lelaki itu juga menghilang setelah melontarkan tuturan katanya. Apa mungkin ingatan Ryan sudah kembali?
Baru saja pengakuannya kemarin kalau Ryan tidak ingat kematiannya oleh penyebab apa. Kenapa sekarang justru menuduh Kepala sekolah yang melakukannya? Bagaimana bisa Ryan menunjuknya tanpa ada bukti? Claire sedikit resah jika mempercayai kalimat Ryan yang itu.
"Untung aja guru yang belum pulang panggil ustadz, coba kalau engga ada? Mungkin kita yang bakal di banting sama mereka, Claire." Vero tidak bisa membayangkan semisal hal itu terjadi padanya. Jelasnya akan lebih sakit di banding kena goresan paku yang tidak rapi di bagian meja.
Claire mengangguk satu kali. Beruntung Sheila dan dua teman satu kelasnya lagi segera sadar sehingga mereka langsung di antarkan pulang. Claire yang merasa ada tanggung jawab berniat untuk mengobati luka Vero terlebih dahulu. Sedangkan Bagas dan Doni pun bilang bahwa mereka berdua akan menunggu Vero di dalam kelasnya.
"Claire, kenapa selama ini lo selalu sendirian?"
Cewek itu menarik napas panjang. "Lebih asik."
Vero menatap heran. "Bukannya sendirian lebih jenuh? Kenapa lo ga gabung aja sama gue?"
"Kalian baik. Tapi aku ga bisa." tolak Claire membuat Vero bergeming. Mungkin kah Claire pernah di khianati seorang teman sehingga saat ini cewek itu tidak ingin menerima tawaran dari Vero? Isi pikiran Vero di penuhi pertanyaan yang menunjuk pada persahabatan.
Vero yakini kalau Claire ini pasti dulu pernah memiliki teman, namun Vero tidak tahu juga apa ada permasalah di antaranya atau hal lain. Vero hanya bisa menebaknya saja, kehidupan seseorang pastinya ada yang mendekati atau di dekati. Entah itu niat untuk hal baik atau mungkin ada niatan yang lain.
Vero sering kali mengalami ketika Bagas sibuk dengan hal lain.
"Lo bilang gitu karena gue ada masalah sama, Lidia? Atau males kalau gue terus maksa lo buat bocorin rahasia cewek itu?" tuding Vero seakan Claire sedang memikirkan hal yang sama.
"Bukan."
Vero terkekeh. "Gue ga akan lagi tanya soal itu."
Claire melirik, sedangkan Vero menatap lurus ke depan. Keduanya memang memiliki rahasia, namun Claire tidak ingin sampai mereka beradu menandingi satu sama lain di sekolahan mereka sendiri. Claire sebagai orang luar pastinya paham dan mengerti kalau mereka melakukan itu pasti ada maksud tertentu.
Claire hanya tidak ingin suasana semakin genting karena ulahnya. Cukup hari ini kejadian yang tidak di inginkan terjadi di sekolahannya. Dia harus bisa mencairkan masalah Vero dengan Lidia, karena awal dari permusuhan mereka adalah kedatangan Claire masuk dalam hidup mereka berdua.
"Aku harap kalian ga lagi berebut kuasa sekolah, karena kalian ga akan tahu hal apa yang bakal meledak nanti."
>>>>>>>>>>
Leon menyunggingkan senyuman ramahnya pada tamu yang di undangnya untuk ke rumah. "Silahkan duduk."
"Terima kasih, Leonard." balas sang tamu dengan sopan.
"Saya buatkan kopi dulu, ya."
"Tidak perlu, Leon. Tadi kan sudah di kantor kamu." sanggahnya cepat membuat Leon terkekeh pelan.
"Kalau begitu saya buatkan jus? Atau apa gitu?" tawar Leon kembali merasa tak enak.
Tamu tersebut masih tersenyum. "Tidak perlu repot, perut saya nanti kembung kebanyakan minum."
Leon dan tamu tersebut menggelak tawa sehingga ruangan terdengar oleh suara mereka. Kakak dari Claire itu pun duduk berhadapan dengan sang tamu.
"Bagaimana perkembangan bisnis yang sedang kita jalani ini?" tanya Leon memulai perbincangan pentingnya.
"Sejauh ini lancar dan semakin membaik, namun ada kekurangan dari bangunan sebelah barat."
Leon menautkan alis. "Loh, kenapa bisa sampai ada cacat?"
"Hanya sedikit, kok. Karena kurangnya bahan serta barang yang tersedia."
Leon mulai serius mencermati setiap perkataan. "Saya kemarin mengeluarkan uang yang cukup, kenapa masih ada yang kurang?" menurutnya itu sangat mustahil.
Leon sudah lebih dahulu mempertimbangkan. Dari sekian lama dia berbisnis, baru kali ini mendengar kurang enak di telinganya. Padahal Leon sudah pasti yakin bisa cukup dengan jumlah yang lumayan besar di banding dengan yang sebelumnya.
"Maaf. Tapi memang itu kenyataannya, Leon."
Leon menarik napas panjang. Apa mungkin dia salah menghitung? Leon apa kurang pokus saat sedang membuat denah dari pembangunannya? Atau memang benar ada bahan yang belum Leon siapkan dari yang lainnya? Tangannya memijat pelipis yang mulai pening.
Jika seperti itu mungkin kah Leon mengeluarkan lagi donasi dari kantor sang Papa? Sudah cukup banyak Leon keluarkan hanya demi lahan tanah yang sudah sangat lama sekali dia inginkan. Kalau Leon mengeluarkan donasi lagi, bagaimana dengan kantor cabang yang juga sedang membutuhkannya juga?
Leon di buat pusing hanya keinginannya saja.
"Andai saja masih ada, Papa. Saya tidak mungkin akan bingung seperti ini." gumamnya pelan dengan perasaan gundah.
"Maaf, Leonard. Tetapi ini adalah data laporan hari ini mengenai bangunan itu." tamu tersebut memberikan sebuah map pada Leon yang langsung di terimanya.
Leon mulai membuka lembarannya. Perasaannya semakin campur aduk. Antara menghentikan beberapa bulan ke depan atau melanjutkan dengan kantor cabang yang pasti di ambang kerugian besar. Leon benar-benar bisa prustasi jika terus memikirkan dua pilihan itu.
Apa bisa Leon mempertahankan yang juga amanah dari orang tuanya?
Semua peninggalan dari sang Papa justru sudah sedikit Leon pakai untuk pindah tempat tinggal. Sekarang? Apa Leon akan dengan mudah untuk menjalani keinginannya itu? Tidak mungkin Leon terus menerus memakai semua aset milik Papa nya.
"Apa proyek ini bisa di lanjutkan tanpa bahan yang kurang itu?" Leon berharap demikian namun tamu tersebut menggeleng perlahan.
"Di sini lebih penting dari pada yang lainnya."
Leon tidak bisa lagi memutar otaknya untuk membuat pilihan terbaik.
"Kak Leon."
Dua lelaki itu menolehkan kepalanya ke arah pintu utama yang terbuka lebar.
"Claire, kamu baru pulang sekolah?" tanya Leon sambil berdiri melihat adiknya berdiri lumayan jauh. "Kakak, sampai tidak dengar suara pintu terbuka."
"Loh, kamu yang kemarin nolong saya, kan?"
Claire melirik. "Apa ini termasuk balas budi? Atau ada hal lain yang sedang anda rencanakan pada bisnis, Kakak, saya?"
"Claire, kamu bicara apa, sih?" Leon menegur, merasakan kurang sopan pada tamunya.
"Maksud kamu apa? Saya tidak mengerti."
"Tahu, Ryan? Dia adalah anak dari orang yang sudah anda tipu."
"Hah, tukang tipu?"