Claire menolehkan kepalanya saat ada suara yang memanggilnya dari kejauhan. Keningnya sedikit mengerut ketika yang menghampirinya itu siswa kemarin yang di datanginya.
"Aku berterima kasih banget sama kamu, Claire."
Cewek itu kembali bertanya, "Untuk apa?"
Siswa itu mengulum bibir. "Soal kemarin yang bilang aku bakal celaka, sekarang aku percaya sama kamu."
Claire tidak bisa menebak kenapa bisa cowok itu berbicara seperti itu. Apa setelah Claire pergi siswa itu nekad untuk pergi pada tangga?
"Terlalu percaya juga ga baik."
Siswa yang ber-name tag Bima itu mengulas senyuman. "Yang jelas kemarin itu … aku yang terlalu mikir buruk tentang kamu karena percaya dengan gosip yang tersebar."
Claire cukup mengerti. Mendengar penuturan Bima saat ini mendadak hatinya mencolos. Pertama kalinya ada orang yang blak-blakan percaya padanya. Walau Claire tidak tahu untuk motif seperti apa yang jelas tidak semuanya berpikir bahwa dirinya dan kemampuannya itu buruk di pandangan orang.
"Semoga orang yang kamu bisa lihat juga percaya dengan apa yang akan terjadi nanti. Aku bersyukur kamu memiliki hati yang tulus." ucap Bima yang tidak melunturkan senyuman di lekuk bibirnya.
Claire merasakan senang juga jika Bima bisa menerima takdirnya yang masih menghirup udara. Jika tidak ada teguran dan peringatan dari Claire, apa mungkin nasibnya tidak akan seperti sekarang? Keluarganya pasti tidak bisa rela jika Bima mati konyol seperti itu.
"Apa kamu nyoba jalan ke tangga?" tanya Claire sedikit penasaran.
Bima menggeleng cepat. "Tapi nyaris aku kepeleset waktu baru aja mau nginjak anak tangga pertama. Aku langsung pegang besi tangganya sehingga tidak jadi jatuh, dan setelahnya memutuskan untuk melewati lorong seperti peringatan dari kamu."
Claire mengangguk satu kali. "Syukurlah."
"Kalau kamu tidak memberitahu, tidak mungkin aku selamat."
"Aku bilang tergantung takdir." sosor Claire cepat.
Bima menghela napas. "Oh, iya. Kamu mau kemana? Aku anterin."
Claire menggeleng samar. "Makasih tapi ga perlu." kakinya melangkah pergi meninggalkan Bima sendiri. Cewek itu sudah lelah mengeluarkan kata yang terlontar dari kerongkongannya. Sepertinya jika ke kantin Claire akan mendapati lebih banyak makhluk ghaib lagi seperti di ruangan lab.
Sekolahannya yang baru tidak ada yang menarik sedikit pun. Claire seperti anak hilang yang tidak tahu arah jalan pulang. Berjalan sendirian tanpa ada niatan dan maksud yang di tuju. Hanya sering ada bayangan yang terlintas dengan berbagai kejadian aneh yang harus Claire selesaikan. Kejadian yang akan mereka alami justru membuat Claire khawatir juga selain cemas dengan mereka yang menyangkal ucapannya. Padahal apa susahnya menurut untuk mencegah hal yang tak di inginkan? Jelas itu yang terbaik.
"Claire."
Cewek itu memutar tubuhnya, melihat cowok yang tersenyum di depannya saat ini.
"Apa kabar?"
Claire menjawab singakt. "Baik."
"Gue mau ngomong sama lo tapi, please. Lo jangan kabur apalagi sampe ngelak soal ini."
Claire menarik napas, membuangnya perlahan. "Soal, Lidia?"
"Gue udah nebak kalau lo bakal tahu."
"Aku tahu karena sekarang kamu mikirin itu, Vero."
Cowok itu menunduk sedikit. "Gue harap di sini lo ga bela dia." ucapnya yang kini menatap Claire penuh harap.
Claire berkedip satu kali. "Dari awal aku ga pernah berpihak pada siapapun."
"Tapi lo tahu rahasia dia, kan?"
Claire bergeming. Cukup lama otaknya berpikir harus menjawab dengan lontaran seperti apa agar Vero tidak lagi memojokkannya seperti saat ini. Tetapi jika Claire mencoba untuk mencari alasan pun pastinya cowok itu tidak akan percaya. Lalu harus bagaimana Claire menanggapinya tanpa membeberkan privasi Lidia?
"Gue bakal percaya lo punya kemampuan itu. Asal … rahasia keluarganya lo ceritain semua ke gue."
>>>>>>>>
Lidia menggigit kecil kuku jari telunjuknya. Setiap kali berpapasan dengan Vero, entah kenapa jantungnya sering kali tidak terkontrol karena kecemasan tertentu. Lidia takut jika Vero bisa mendapatkan informasi tentangnya dari berbagai cara yang cowok itu lakukan.
Lidia menanganinya sendirian sedangkan Vero bisa saja di bantu para temannya yang lain untuk bisa mengintainya dengan waktu cepat. Seharusnya kemarin Lidia cukup diam saja mendengar ucapan Vero. Dengan begitu mungkin berbagai ancaman tidak akan keluar hingga membuatnya ketakutan seperti saat ini.
"Claire, apa tahu soal rahasia gue juga? Anak itu bisa lihat masa lalu seseorang yang pasti termasuk gue juga, dong."
Lidia menggerutu sendiri di kamarnya. Semua kecemasan bercampur dengan hanya memikirkan itu saja. Hal yang paling Lidia cemaskan kini mulai di permasalahkan. Semenjak datangnya Claire masuk dalam sekolahnya mulai lah masalah-masalah berdatangan padanya.
Tidak cukup sekali saja Claire menyumpahkannya celaka. Kali ini justru masalah mengenai kedua orang tuanya.
"Gue harus gimana coba." Lidia berucap getir. Berjalan mondar-mandir seperti setrikaan. Otaknya saat ini tidak bisa berpikir menuju jalan keluarnya.
Lidia benar-benar akan gila jika terus tertekan memikirkan ancaman Vero.
"Eh, tapi." Cewek itu mengingat sesuatu. "Bukannya dia juga punya keluarga yang ga beda jauh sama gue?"
Cewek itu mulai menyungging senyumannya. "Vero, Vero. Lo ga akan mungkin bisa jatuhin gue, kecuali emang ada yang bocorin soal aib orang tua gue."
Cewek itu tersenyum licik. Walau mungkin saat ini dia masih khawatir dengan hal itu, namun alangkah baiknya juga Lidia memiliki satu rahasia terpendam yang di simpan oleh Vero selama ini. Lidia pernah mendengarnya langsung dari mulut Vero tanpa cowok itu sadari.
Menguping sekilas saja sudah menjadi manfaat untuk Lidia, kenapa saat itu dia tidak mendengarkan hingga Vero menyelesaikan ucapannya saja? Kalau perlu Lidia merekamnya sebagai bukti nyata. Namun sayangnya memang dulu mereka tidak ada masalah apapun hingga Lidia sadar bahwa suatu hari cowok itu yang akan menjadi musuhnya.
Tidak ada yang akan tahu nasib seseorang ke depannya seperti apa, selain hubungan tanpa mengenal hingga saling ingin menjatuhkan. Lidia maupun Vero sama-sama kesal dengan maksudnya masing-masing. Namun Lidia pastinya melibatkan Claire dalam masalah itu, karena memang permasalahan awal berasal dari Claire.
"Gue juga harus bisa nyingkirin cewek itu."
Mungkin kemarin Lidia telah gagal dengan rencananya yang membayar orang, tetapi nanti Lidia berjanji tidak akan sampai membiarkan Claire lolos dari pandangannya hingga Lidia bisa melihat cewek itu lemah tidak berdaya.
"Sekaligus buat temen, Vero. Mereka semua juga udah ikut campur dalam masalah gue."
Lidia mendengus sebal. Menyalakan handphone nya ketika berbunyi sebentar, terdapat sebuah pesan di dalam sana. Lidia mengernyit setelah membaca isi dari pesan tersebut.
"AAAAAAAAAAAAAAAA ..." handphone nya di banting seketika dengan jeritan yang menggema di kamarnya. "Sial!" dumalnya penuh dengan amarah.
"Vero, bener-bener harus gue hukum karena udah lancang ancam gue!" seketika raut wajah Lidia kembali dengan senyuman miring yang licik. "Lihat aja besok di sekolah. Akan ada kejutan baru yang ga pernah sekali pun gue lakuin buat lo … cowok ga guna."