Chereads / THE LOST WORLD [SUPERNATURAL] / Chapter 23 - 22. PENJELASAN

Chapter 23 - 22. PENJELASAN

Claire menolehkan kepalanya melihat Ryan yang sudah berada di bangku sampingnya. Kelasnya hanya menyisihkan mereka berdua saja.

'Udah tahu?' singkat kata yang di lontarkan itu membuat Claire menarik napasnya gusar. 'Sedikit peringatan aja buat lo, Claire.' hantu lelaki itu menatap Claire di tempatnya. 'Jangan pernah percaya sama orang yang udah lo tolong itu, dia orang dewasa yang pikirannya masih bocah.'

Claire menautkan alis. "Yang rumahnya kena rampok?"

Ryan mengangguk. 'Dia pernah juga nipu bokap gue.'

Claire mulai paham. Selain pirasat buruknya pada sosok itu kuat ternyata memang lelaki itu adalah seorang yang licik. Pantas saja Claire melihatnya suram, seperti penglihatannya pada orang-orang yang buruk. Tetapi kenapa bisa orang itu berkeliaran di sekitar perumahan yang justru dekat dengan rumah Ryan?

"Kenapa ga akui kalau rumah kamu sempat terjadi kebarakaran?"

Ryan menunduk sedikit. 'Gue ga inget apapun.'

Apa Ryan hilang ingatan?

"Akibat kamu meninggal, tahu?" Ryan menggeleng pelan.

'Terkahir kali gue pikir masih hidup. Ternyata kaki gue melayang, itu udah jadi bukti kan? Gue mati.'

Claire mendapatkan lagi misi. "Terus soal adik kamu?"

'Ga mau tahu, lo harus cari. Gue sekedar pengen tahu dia masih hidup atau … satu nasib kayak gue.'

Claire melirik Ryan. Mungkin kah dia harus cerita mengenai hantu anak perempuan yang sempat di lihatnya? Siapa tahu saja anak kecil itu adalah adik Ryan. Tetapi Claire harus pandai merangkai kata agar Ryan tidak marah atau sampai tersinggung. Karena jika begitu bisa saja Claire di celakai langsung tanpa maaf.

"Apa adik kamu menyukai boneka?" tanya Claire memilih objek yang di bawa oleh anak kecil tempo hari.

Ryan berusaha mengingatnya. 'Sonia, lebih sering bawa boneka hadiah dari bokap. Warna boneka itu ungu putih. Karena dia suka warna ungu, jadi kemana pun pasti di bawa. Itu yang gue inget.'

Claire menelan ludah. Apa anak kecil itu benar adiknya Ryan? Kenapa Claire masih saja ragu untuk menyerukan suaranya langsung? Anak perempuan itu membawa boneka yang persis di ucapkan oleh Ryan tadi. Jadi bisa saja itu adalah Sonia, bukan Mahala.

"Kalau adik kamu masih hidup? Dia tidak mungkin juga bisa lihat kamu."

Ryan mengangguk samar. 'Seenggaknya gue tahu dia kabar baik. Gue juga ga pernah lihat bokap sama nyokap ada di rumah.'

Claire masih merasa bersyukur sekali memiliki Kakak seperti Leon. Ryan sendiri tidak tahu penyebab kematiannya. Dua orang tua serta adiknya yang menghilang. Claire merasa iba, Ryan pantas marah jika Claire masih tidak bisa menemukan keberadaan adiknya itu.

"Seumpama dia … meninggal?"

'Lo tahu yang sebenernya?'

Claire cepat-cepat menggeleng. "Makin serem kalau marah terus."

'Lo yang mulai.'

Claire mendecak. Bukan hanya Lidia saja yang menyebalkan, Ryan justru lebih menyebalkan di banding hal lain. Tidak ingin mengalah sebagai lelaki, bisanya menyalahkan padahal Claire berniat baik.

'Lo satu-satunya harapan gue, Claire.'

Cewek itu mendeham. "Dari awal sebenarnya aku ga akan pernah mau berurusan sama arwah, tapi soal ini kamu selalu mengusik. Aku risih dan males kalau udah masuk merusuh, selain fitnah aku dalam hal yang kamu lakuin."

Ryan tertawa kecil. 'Justru gue bisa lakuin langsung kalau mau. Seenggaknya mungkin mereka bisa jadi temen gue di alam ghaib.'

"Ga akan aku biarin!"

>>>>>>>>

Bagas mendecak kesal. "Lo gimana, sih? Kalau gini ceritanya kita ga akan pernah bisa cari informasi itu!"

Vero yang di salahkan merasa serba salah. Otaknya benar-benar pening sekali memikirkan hal itu saja. "Lo berdua terus aja ngoceh, bantuin gue mikir harusnya biar langsung dapet Ide, lagian cara lo kemaren ga mutu, tuh."

Doni mendesis. "Kalian berantem terus dari tadi. Gue ikutan puyeng dengernya tahu, lagian menurut gue kita langsung aja datangi rumahnya."

"Resikonya gede, Don."

Bagas dan Doni menghela napas panjang. "Lo paling semangat buat bales keburukan, Lidia. Jadi lo juga kan yang harus mikirin ini semua? Sumpah gue ga bisa mikir, Ver."

Vero juga mengerti. Kalau saja Claire cerita dan membeberkan rahasia Lidia, mungkin saat ini mereka tidak akan memperdebatkannya seperti sekarang ini. Claire pasti tidak ingin ikut campur kalau masalah tidak penting, lagi pula yang memiliki masalah itu kan mereka berdua, Claire tidak masuk dalam urusannya.

"Cewek itu nutup banget kebusukan, Lidia. Heran gue sama dia, padahal banyak banget tuduhan buat cewek itu dari si uler ganas." dengus Doni yang semakin geram saja.

Vero memijat pangkal hidungnya. "Mungkin gue yang akan kalah lagi."

"Kok, lo jadi pesimis gini." Bagas menatap heran. Temannya tidak sekali pun putus asa dalam masalahnya seberat apapun. Baru kali ini Bagas mendengar keluhan seolah putus asa tidak ada jalan tengahnya.

"Ver, lo jangan gini. Gue yakin lo pasti bakal menang lawan dia. Emang, lo dulu selalu di bawah kalau saingin dia. Tapi sejauh ini lo itu udah, manly. Mau berusaha sekuat apapun lawan rintangannya tetep aja lo bersikukuh buat jadi lawannya." puji Doni sekaligus menyemangati.

Vero tersenyum sekilas. "Bisa aja lo ngucapin rayuan begitu."

"Ye!" Doni melirik tak suka. "Di puji malah ngejek."

Bagas terkekeh. "Vero, ga pernah suka kalau di puji. Dari dulu dia emang begitu, tapi mungkin kalau sekarang kesannya beda."

"Beda gimana?"

"Lo itu merendah untuk meroket."

"Sialan."

"Hahahaha."

Mereka meredakan sejenak topik mengenai tujuannya. Mungkin jika di iringi kelakar demi sedikit akan muncul ide atau cara agar bisa meluruskan semuanya. Vero sekali kali harus banyak tertawa supaya beban di dalam hatinya di jeda walau sementara. Bagas dan Doni tidak ingin temannya stres hanya memikirkan masalah hidupnya.

Mungkin akan sedikit lama juga untuk mencari kebenaran itu, namun lambat laun pasti mereka juga bisa mendapatkan tujuannya walau tidak tahu resiko apa yang akan mereka hadapi nanti.

"Nyokap lo udah pulang belum, Ver?" tanya Bagas mengalihkan pembicaraan.

"Kemaren lusa datang bawa cowok."

Doni bergidik. "Ver, kalau lo ajak gue nongki mending di luar aja kayak tadi malem. Gue ga akan mau kalau lo ajak lagi ke rumah."

Bagas terpingkal seketika. "Jangan-jangan kalau tadi malem kita ke rumah, Vero … apa nyokapnya bakal godain lo lagi, Don?"

"Lo apaan sih! Jaga sikap di depan anaknya bisa?!"

Vero menarik napas. "Udah biasa. Tapi dengernya emang rada ga suka juga."

Bagas meringis. "Iya, sorry. Gue ga bermaksud begitu, Ver."

Doni menggeleng pelan merasa heran. "Kenapa ga lo tegur? Apa alesannya temen kantor lagi?"

Vero melirik Doni. "Gue langsung cabut karena males ngadepinnya."

"Terus soal lo gimana?"

Vero mengernyit. "Jangan bahas apa yang gue ga suka dengernya."

Bagas merapatkan bibirnya ketika melihat raut wajah Vero. Nyaris saja keceplosan di depan Doni. Padahal memang itu adalah satu rahasia juga yang masih tertutup rapat dari satu temannya.

"Emang bahas apaan soal, Vero?"