BRAKK!
"Saya sudah malas menyeleksi asisten baru," ucap pria dengan sorot mata setajam elang. Bibir penuhnya mengerut. Alisnya menukik setelah melempar beberapa berkas yang belum sempat dia buka.
"Ini sudah kami seleksi lagi, Pak. Dan ini adalah hasil pilihan terbaik dari kami. Semua lulusan magistra dari perguruan tinggi terbaik dari dalam dan luar negeri," ucap pria muda berkemeja biru yang duduk di hadapan pria dengan mata setajam elang. Sebuah meja lebar membatasi keduanya.
"Dan apa itu bisa menjamin semua bekerja dengan benar? Yang kemarin-kemarin juga sama, kan? Saya tidak butuh asisten yang hanya bertahan cuma satu dua hari saja."
Pria kemeja biru sesekali menyeka keringat dingin yang muncul di pelipisnya. "Begini, Pak. Seandainya Bapak tidak bersikap terlalu keras mungkin mereka akan—"
BRAAKK!
Sebuah gebrakan tiba-tiba membuat pria muda itu terlonjak kaget. Takut-takut dia melirik sang bos di depannya.
Mata elang itu menyorotnya makin tajam. "Kamu berharap saya bersikap lembut sama mereka? Atau sama pegawai lain seperti kamu?! Kalau kalian tidak suka dengan cara saya memimpin, silahkan serahkan surat pengunduran diri kalian. Easy peasy."
"Bu-bukan begitu, Pak. Saya hanya me—"
"Get out," ucap pria bermata elang itu.
"Saya bisa—"
"Get out!"
Lagi-lagi pria muda itu melonjak. Dia buru-buru menggapai map yang bosnya lempar tadi dan bergegas keluar dari neraka itu.
Gama Sakti Raharja, pria dengan ukiran wajah campuran antara Belanda, Jawa, dan Manado. Memiliki badan tegap berisi dan berbahu lebar. Tidak ada seorang pun yang meragukan kemaskulinannya. Terlahir dari keluarga Raharja salah satu konglomerat paling berpengaruh di tanah Jawa, membuatnya terkesan arogan.
"Useless!" umpatnya kesal.
"Sebaiknya Anda menjaga ucapan, Tuan."
Gama terkesiap saat mendengar suara lain di ruang kerjanya yang sunyi. Dia segera menoleh dan mendongak untuk melihat sumber bunyi itu. Tatapnya lantas bertemu sesosok mahluk dengan pakaian adat Jawa yang menggantung di langit-langit ruang kerjanya. Sejurus kemudian dia mengembuskan napas lega melihat sosok itu.
Dia menggeram sebal saat sosok itu akhirnya turun dari sarang anehnya. "Sudah aku bilang, jangan muncul tiba-tiba. Kamu sengaja membuatku jantungan?!" deliknya jengkel.
Sosok itu terkekeh lantas menghilang, dan sekejap muncul kembali sudah berada di depan Gama, duduk di kursi tamu. Gama hanya mendengus melihat tingkah penjaganya itu.
"Masih soal asisten pribadi?" tanya sosok tampan yang hari ini berbalut beskap Jawa berwarna maroon dengan motif keris di sepanjang garis dadanya. Sesekali dia juga mengenakan kostum Ksatria Tanah Jawa andalannya.
Sukma Perwira, sosok penjaga yang mengaku datang dari jaman Raja Hayam Wuruk. Sesosok pria berumur 900 tahun, pelindung keturunan Raharja dari generasi ke generasi. Namun, bukan keturunan sembarang yang dia jaga. Hanya keturunan laki-laki yang memiliki tanda khusus yang bisa dia ikuti. Seperti Gama, pria itu memiliki tanda khusus di bagian pinggang. Dari Gama lahir sampai usianya yang akan menginjak 30 tahun, Sukma terus menemaninya.
"Siapa lagi? Aku muak!"
Selain dianugerahi paras rupawan, Gama juga memiliki banyak kekurangan sebagai manusia. Contohnya sikap temperamennya. Nyaris tidak ada seorang pun yang sanggup berdekatan lama-lama dengannya. Mungkin hanya Sukma yang masih betah hingga saat ini. Hanya dia juga yang berani menegur sikap arogan Gama.
"Umur Tuan sudah hampir 30 tahun," ucap Sukma keluar jalur pembicaraan mereka.
"Ya lantas apa hubungannya?" Gama makin kesal saja.
"Mungkin daripada mencari asisten pribadi, lebih baik Tuan mencari pendamping hidup."
Gama berdecak. Manusia jadi-jadian dari jaman kiriwari itu sering sekali membuatnya jengkel. "Cari asisten aja susah gimana cari pendamping hidup? Are you kidding me?"
Sukma terkekeh. "Mungkin jika Tuan tidak selalu marah-marah, Tuan akan menemukannya lebih mudah."
Gama melirik tajam jin menyebalkan itu. "Mending kamu diam, Sukma," hardik Gama. Tubuh tegapnya beranjak berdiri, dia membenarkan jas. Lalu bergerak meninggalkan meja kerjanya. "Aku ada meeting di luar. Tetap di sini dan jangan mengikutiku," peringatnya.
"Sendiko dawuh, Tuan."
Dua sekretarisnya sontak berdiri begitu Gama membuka pintu. Masing-masing menenteng sebuah tablet di sisi kanan tubuhnya, lantas segera mengikuti Gama. Dua bodyguard dengan seragam serba hitam yang sejak tadi berdiri di pintu lobi kantor segera mengikuti langkah mereka.
***
Kirana nyaris melongo melihat kemegahan gedung yang akan dia masuki. Mengenakan kemeja putih dipadu rok hitam, dia melangkah dengan hati waswas. Beberapa kali dia memastikan tempat yang dia pijak adalah tempat yang benar. Sebenarnya dia kurang percaya ketika mendapat telepon bahwa dia diterima kerja di salah satu perusahaan sebagai cleaning servis. Pasalnya salah satu temannya baru beberapa hari lalu kena tolak dengan posisi apply yang sama.
Memantapkan hati, Kirana menggenggam erat tali tas selempangnya. Dia bersyukur bisa berada di sini. Meniti karir sebagai cleaning servis adalah langkah awal untuk mengubah hidupnya sendiri dan keluarganya. Dia capek jadi miskin, capek dibully oleh keluarga besar ayahnya. Bermodalkan ijazah SMA yang dia punya, dia nekat datang ke kota besar ini.
Tatapnya mengedar mencari letak lift berada ketika dia sampai di lobi gedung yang luas ini. Dia harus ke lantai 10 tempat HRD berada untuk menandatangani perjanjian kerja.
"Ah, mungkin di sebelah sana." Dengan langkah ringan dia berjalan ke sayap kanan. Namun, langkah itu tiba-tiba tersendat saat tatapnya melihat pemandangan yang luar biasa menakjubkan menurutnya.
Kirana melihat lima laki-laki berjalan cepat dari arah berlawanan. Salah satu yang berdiri paling depan terlihat lebih dominan. Mungkin dia pemimpinnya. Mata bening Kirana mengerjap, sedikit melongo lantaran kagum dengan sosok kharismatik yang tengah berjalan ke arahnya. Dia tidak menyangka orang-orang seperti mereka ada di dunia nyata. Kirain cuma ada di drakor saja.
"Apa mereka seorang mafia?" gumam Kirana yang masih saja mematung di tengah jalan.
Langkah orang-orang berjas hitam itu makin mendekat ke arahnya. Namun, Kirana masih saja belum beranjak dari sana. Masih menatap takjub. Hingga...
"Minggir!"
Suara berat dan seksi menembus telinga Kirana. Wanita dua puluh dua tahun itu terkesiap.
"Kamu tuli ya?!"
Mereka sudah berada di depan Kirana dengan jarak kurang dari tiga meter. Anehnya, kaki Kirana belum juga mau bergerak. Wanita itu mengumpat dalam hati. Dia juga ingin cepat pergi, tapi kaki kecilnya seolah menancap di lantai granit lobi ini.
Kirana ketakutan ketika tatapan pria itu menghujam dirinya. Seperti hendak menelannya bulat-bulat.
"Ma-maaf. Ta-tapi ini—"
"Minggir!" ucap pria yang paling berkuasa di gedung ini. Siapa lagi kalau bukan Gama? Pria itu menyipitkan mata melihat gadis mungil berpenampilan biasa saja itu. Benar-benar tidak ada yang istimewa. Hanya saja ....
Dua bodyguard yang mengiringi langkah Gama tiba-tiba menyingkirkan wanita itu. Layaknya manekin hidup, tubuh mungil Kirana mereka angkat dan dijauhkan.
Gama menarik sudut bibirnya ke atas sedikit. "Dasar kampungan! Baru liat orang tampan saja sudah membeku," gumamnya percaya diri, lantas kembali mengayunkan tungkainya yang panjang.
Kirana masih syok karena tiba-tiba dua pria berbadan besar mengangkat tubuhnya dan memindahkannya layaknya patung. Dia ingin mengomel, tapi tidak bisa. Sudah cukup dia menjadi tontonan tadi. Dia tidak ingin mempermalukan dirinya lebih jauh lagi.
Tatapan Kirana masih tertuju pada rombongan itu yang saat ini sudah sampai di depan pintu lobi. Dia terkejut, ketika pria paling dominan di antara mereka menoleh ke arahnya. Wajah tampannya sangat bersinar, tapi senyum meremehkannya begitu menyebalkan.
_________
Test drive nih, Gaes. Mohon dukungannya ya teman-teman dengan memberi review terbaik kalian. Thanks so much.