"Dia makin mempesona," ucap Sukma yang berdiri tepat di belakang Gama.
Gama berdeham sesaat. Matanya tertuju ke pintu masuk restoran. Di sana dia melihat seorang wanita tengah berjalan ke arahnya. Tungkai panjang wanita itu terantuk. Gerakannya begitu anggun dan elegan. Rok span sebatas lutut dipadu dengan kemeja lengan panjang yang memeluk erat tubuhnya begitu pas dan sesuai. Rambut hitam bergelombangnya tergerai indah. Pulasan make up yang lumayan berani mengundang decak kagum Gama di tempat duduknya. Dari dulu hingga sampai saat ini Gama tidak pernah berhenti memujanya. Wanita itu selalu saja tampak menawan di mata Gama.
Wanita itu tersenyum padanya dari jarak kurang dari lima meter. Dia Silvana, sahabat sekaligus tunangan Raja, kakak tiri Gama. Fakta miris karena Gama harus puas hanya dengan menjadi sahabat wanita itu. Cintanya layu sebelum berkembang. Hilang sebelum dia sempat mengatakannya.
"Sayang, dia tercipta bukan untuk Anda, Tuan." kembali suara Sukma berdengung membuat Gama menggeram pelan.
"Jangan merusak acara makan siangku. Lebih baik kamu enyah dari sini, Sukma," gumam Gama pelan dengan kepala sedikit menoleh ke belakang.
Sukma langsung menurut dan menghilang dari pandangan Gama. Sementara itu Silvana makin mendekat dan langsung menyapa Gama begitu sampai di hadapan lelaki itu.
"Sori, kamu udah lama nunggu?" tanya Silvana seraya menarik kursinya.
"Sama sekali tidak. Mau langsung pesan?" tanya Gama dengan mata berbinar.
"Boleh."
Gama memanggil salah seorang waiter dan memesan beberapa makanan favorit Silvana.
"Kamu masih ingat aja makanan favoritku," ujar Silvana dengan tatapan terkesan begitu pelayan yang mencatat pesanannya berlalu.
"Kita udah berteman lama, masa hal seperti itu aku tidak tau?" sahut Gama mengulum senyum.
"Kamu memang sahabat terbaikku, Gam. Thanks ya." Silvana tersenyum dan menepuk punggung tangan Gama sekilas. Dia tidak sadar jika perbuatannya itu membuat senyum Gama terulas. Hatinya benar-benar berbunga.
"Gimana keadaan kantor? Raja masih belum mau bergabung dengan perusahaanmu?" tanya Silvana.
Sebenarnya ini topik yang tidak Gama sukai. Jika bersama Silvana, dia hanya ingin membahas tentang mereka berdua. Tidak ingin membahas soal kerjaan apa lagi soal Raja. Namun, tidak menanggapi ucapan Silvana hanya akan membuat wanita itu merajuk. Jadi, meskipun malas Gama tetap akan menjawab.
"Kantor baik. Seperti yang kamu tau dia tidak akan pernah mau bergabung denganku karena merasa punya power sendiri."
Lebih tepatnya mungkin Gama yang tidak ingin bersinggungan dengan kakak tirinya itu. Begitu pun sebaliknya. Sejak merasa kena tikung, Gama enggan berurusan lagi dengan Raja.
"Hm, Raja selalu saja begitu. Tidak pernah mau mengalah. Padahal ini demi kebaikannya."
"Biar begitu kamu mencintai dia kan?"
Silvana sontak menatap Gama. "Dia tunanganku wajar dong kalau aku cinta dia."
"Meski kalian dijodohkan atas nama bisnis?"
Silvana memutus pandang. Dia tidak suka selalu dipojokkan dengan pertanyaan itu oleh Gama. padahal lelaki itu tahu betul bagaimana perjuangan Silvana untuk bisa sampai ke tahap ini.
"Hal ini udah sering kita bahas, kan? Please jangan dibahas lagi," mohon Silvana. Entah apa alasan Raja menerima perjodohan ini. Namun, hal ini menguntungkan bagi Silvana yang sudah mencintai pria itu sejak pertama kali berjumpa.
Gama mengembuskan napas." Oke, aku tidak akan membahasnya. Tapi, satu senti saja dia membuatmu terluka. Aku tidak akan tinggal diam."
Wanita bergincu merah itu mengangguk. "Aku tau kamu sahabat yang baik dan calon adik ipar yang manis."
Obrolan mereka terjeda saat pesanan datang. Gama memesan menu dumpling aneka rasa serta smoothies stroberi kesukaan Silvana. Wanita itu tidak memakan nasi saat siang. Sebagai ganti dia mengonsumsi makanan yang bagi Gama itu camilan.
"Saosnya aku suka," ucap Silvana saat mencicipi menu utamanya. "Aku nggak sia-sia menerima ajakan makan siang kamu."
"Kalau begitu habiskan," sahut Gama senang. Tidak ada yang lebih menyenangkan melihat orang yang kita cintai makan dengan lahap apa yang kita suguhkan.
Sejak Silvana dan Raja bertunangan, Gama tidak pernah lagi jalan berdua dengan wanita itu. Perasaan kecewa yang dia rasakan masih belum hilang. Dia patah hati dan berpura-pura baik itu sulit.
"Ternyata kamu di sini juga, Sayang?"
Sapaan itu membuat kegiatan makan siang mereka terdistraksi. Gama menoleh dan mendapati kakak tirinya berdiri tidak jauh dari mejanya. Moodnya sontak terjun bebas melihat sosok itu tiba-tiba ada di sini. Kontras dengan Silvana, wanita itu malah tersenyum lebar melihat tunangannya ada di restoran yang sama dengannya.
"Raja? Kok kamu bisa ada di sini. Bukannya tadi kamu bilang ada meeting dengan klien?" tanya Silvana.
Raja tersenyum dan mendekat. "Iya, Sayang. Kami kebetulan meeting di sini."
Gama menggenggam erat sendok dan garpunya. Merutuki dalam hati kesalahannya memilih restoran. Dia yakin makan siang kali ini akan berakhir berantakan lantaran kedatangan Raja.
"Kamu enggak bilang kalau mau makan siang bareng adikku?" tanya Raja seraya melirik Gama yang saat ini tengah mengetatkan rahang. Raja sangat senang melihat adik tirinya dengan raut menahan amarah seperti itu.
"Aku takut ganggu kamu."
"Sama sekali enggak. Aku udah selesai meeting. Jadi, boleh aku gabung bersama kalian?"
Silvana melirik Gama yang masih saja terdiam dan tidak peduli dengan kedatangan Raja. "Gama, Apa Raja boleh gabung di sini?" tanya Silvana hati-hati.
Wanita itu tahu dari dulu kedua lelaki itu tidak pernah akur. Dan dia juga tahu Gama kecewa saat dia menerima perjodohan itu. Silvana memaklumi itu. Tapi jujur, Silvana ingin menjadi penghubung agar kakak beradik itu bisa baikan. Setidaknya itu juga yang membuatnya mau menerima perjodohan itu selain memang dia sudah jatuh cinta kepada Raja.
Gama melirik Silvana sejenak. Wanita itu tahu, Gama tidak akan pernah menolak permintaannya. Jadi, meskipun hati ingin sekali menendang kakak tirinya itu, Gama tetap mengangguk memberi izin Raja untuk bergabung satu meja dengannya.
Silvana melebarkan senyum. "Terima kasih, Gama." Wanita itu lantas berpaling kepada Raja yang memilih duduk di sampingnya. "Kamu pesan sesuatu gih."
Raja menggeleng. "Aku makan punyamu saja. Nggak apa-apa kan? Makan disuapi kamu kayaknya lebih enak."
Sialan! umpat Gama dalam hati. Dia tahu persis Raja sengaja melakukannya. Sengaja membuat hatinya panas. Dia makin mengeratkan genggaman sendok pada tangannya. Dadanya mulai bergemuruh menahan emosi. Sementara matanya dengan tajam melihat bagaimana wajah senang Raja saat menerima suapan dari Silvana.
Seandainya bisa, Gama ingin melempar sendok yang dia pegang ke muka lelaki sok kecakepan itu. Dasar anak pulung! Lantaran muak dengan kelakuan kakak tirinya, Gama memutuskan menyudahi kegiatan makannya. Dia mengambil tisu dan mengusap mulutnya sebelum beranjak berdiri.
"Raja akan mengantarmu pulang. Sebentar lagi aku akan menghadiri rapat penting. Jadi, aku permisi dulu," ucap Gama.
"Tapi, Gama kit—" ucapan Silvana terpotong begitu saja saat Gama meninggalkan meja.
Pria itu menghampiri pelayan, memberikan sejumlah uang untuk membayar makan siangnya. Setelahnya dengan langkah gegas pria bertubuh tinggi itu keluar dari restoran.
Silvana sedikit melongo melihat tingkah sahabatnya itu. Dia kecewa karena Gama masih saja bersikap seperti itu jika bertemu dengan Raja.
"Biarkan saja, Sayang. Kamu lanjutkan makan ya," ucap Raja, sembari mengusap puncak kepala Silvana. Dia pun lantas berdiri, membuat kening Silvana mengerut.
"Kamu mau ke mana? Mau pergi juga?"
"Masih ada meeting lain yang harus aku hadiri. Nggak apa-apa kan kalau aku duluan?" tanya Raja sembari tersenyum.
"Tapi, kamu tadi bilang—"
Lagi-lagi ucapan Silvana terpotong. Kali ini oleh kecupan singkat Raja di pelipisnya sebelum pria itu beranjak pergi.
Silvana mendesah kesal begitu Raja menjauh. "Sebenarnya kalian kenapa sih?" erangnya jengkel.
_____________
jangan lupa simpan cerita ini di library kalian dengan cara tap love. Ditunggu juga review bintang limanya di sampul depan teman-teman. Makasih....^^