Chereads / The Devil Boss Beside Me / Chapter 8 - Di perkampungan

Chapter 8 - Di perkampungan

"Sedang apa kamu di sini?"

Gama keluar dari mobil dengan wajah tak bersahabat. Melihat Raja tiba-tiba ada di depan towernya dan bersikap sok baik kepada Kirana membuatnya muak.

Raja menoleh dan menatap Gama dengan seringainya yang menyebalkan. "Halo adikku. Bersikaplah ramah sedikit pada kakakmu."

Kirana yang belum masuk ke mobil cukup terkejut. Dia tidak menyangka pria yang baik hati ini kakak dari bosnya.

"Nggak usah basa basi. Mau apa kamu ke sini?" tebas Gama langsung.

"Aku cuma mau melihat kantor adikku. Memang nggak boleh?"

"Di jam pulang seperti ini?"

"Siapa tahu kan kamu belum pulang dan kita bisa ngopi bareng?"

Gama melengos. "Sori, aku sibuk dan nggak ada waktu." Dia pun hendak beranjak kembali membuka pintu mobil. Tapi....

"Kamu asisten baru Gama atau pacar Gama, Nona?"

Mendengar sapaan Raja pada Kirana, Gama urung membuka pintu mobil.

"Sa- saya—"

"Masuk ke mobil sekarang," perintah Gama, tidak membiarkan asistennya itu berbasa-basi.

"Baik, Pak." sebelum benar-benar masuk mobil, Kirana sempat menoleh kepada Raja sebentar. "Maaf."

"Lebih baik kamu pulang," ucap Gama kepada Raja lantas bergerak memasuki mobilnya.

Raja hanya tersenyum kecil dan membiarkan mobil Gama menjauh. Kedua tangannya tenggelam ke dalam saku celananya. Matanya terus mengawasi mobil itu hingga keluar dari area gedung perkantoran.

"Kita lihat berapa lama asisten itu akan bertahan di sisi adikku yang aneh itu," gumamnya dengan senyum miring. Lantas langkahnya bergerak memasuki lobi gedung.

Sementara itu di dalam mobil milik Gama, Kirana merasa salah tingkah karena untuk pertama kalinya dia menaiki mobil mewah. Meski begitu dia sebisa mungkin menyembunyikan rasa takjubnya jika tidak mau dicap sebagai orang udik oleh bosnya yang bermulut pedas.

Mobil Gama berhenti di pelataran sebuah ruko. Gama sedikit bingung lantaran dia tidak menemukan perkampungan tempat tinggal Kirana.

"Di mana kampung kamu? Ini hanya ruko," tanya Gama seraya terus mengawasi bangunan yang terisi barang-barang jualan.

Kirana di depan menggaruk kepalanya. "Kampungnya ada di belakang ruko ini, Pak. Tidak ada akses lain selain lewat gang di samping ruko paling ujung itu." Dia lantas melepas sabuk pengaman dan mulai kebingungan lagi cara membuka pintu mobil.

"Tarik sedikit tuas itu, Mbak," ucap supir Gama.

Kirana langsung mengerti dan akhirnya berhasil membuka pintu itu. Dia segera menghadap Gama yang masih di dalam mobil dengan jendela kaca terbuka.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak buat mengambil pakaian saya."

Gama mengangguk lalu membiarkan Kirana setengah berlari menuju bangunan ruko paling ujung. Perempuan itu lalu menghilang di balik tembok tinggi di sana.

Tiga puluh menit berlalu, tapi Kirana belum juga muncul. Gama mulai habis kesabaran menunggu perempuan itu. Beberapa kali dia melirik jam tangannya. Beberapa menit lalu bahkan dia sudah menelepon Kirana untuk yang kedua kalinya.

"Sebenarnya apa yang sedang dia lakukan di sana?" gumamnya tak sabar. Gama memutuskan keluar dan bergerak menuju gang di mana Kirana menghilang. Ada bertumpuk sampah ketika Gama sampai di sana. Tidak ada jalan khusus yang menghubungkan ke area kampung. Hanya ada jalan setapak yang dipenuhi rerumputan di sekitarnya. Dari sini saja Gama bisa tahu suasana seperti apa di dalam sana seandainya dia bergerak masuk.

"Bagaimana bisa dia tinggal di tempat sebau ini?" tanyanya pada diri sendiri sembari melangkah masuk. Belum cukup melewati sampah yang bertumpuk, Gama harus melewati sebuah selokan yang baunya sangat menyengat. Hanya ada jembatan kayu kecil untuk menyeberangi selokan.

Memasuki perkampungan itu dia disuguhi pemandangan anak-anak yang sedang berlarian. Sangat bising. Bahkan ada anak yang menabraknya.

"Maaf, Pak!" teriak anak itu dan lanjut berlarian dan tertawa bersama teman-temannya mengabaikan raut jengkel Gama.

Dia baru tahu ternyata di belakang gedungnya ada sebuah kampung. Dari sini dia bisa melihat gedungnya yang tinggi menjulang. Sangat gagah. Dan tentu saja sangat kontras dengan kondisi lingkungan kampung ini yang kumuh. Sedari tadi berjalan Gama juga terus menutup hidungnya.

"Hai, anak manusia! Sombong sekali kamu jalan di daerahku menutup hidung!"

Teguran itu mengejutkan Gama. Lelaki itu celingukan. Tadi itu suara seorang perempuan tua. Dan tak lama kemudian sosok tua itu muncul tak jauh dari tempatnya berdiri. Gama cukup terkejut. Dia melihat seorang nenek dengan pakaian kumal berjalan mendekat. Sebut tongkat ada di tangan kirinya. Wajah keriputnya sangat jelek ditambah lagi mata nenek itu hilang satu.

"Siapa kamu?" tanya Gama. Meski sedikit waswas dia tak gentar. Dirinya sudah terbiasa berhadapan dengan makhluk seperti itu, bahkan lebih menyeramkan.

"Aku penunggu tempat ini. Dan kamu datang-datang menghina tempat ini. Kurang ajar sekali!" berang nenek itu.

"Saya tidak bermaksud menghina, tapi tempat ini memang kotor dan bau. Apa Nenek nggak liat? Banyak sampah berserakan, rumah kumuh, dan—"

"Tutup mulut kamu, Anak Manusia!" hardik sang nenek makin berang.

Gama mundur satu langkah. Di saat seperti ini Sukma malah menghilang entah ke mana. Jin satu itu memang menyebalkan. Suka datang tiba-tiba tapi tidak pernah datang saat dibutuhkan.

"Pak Gama!"

Seruan itu membuat Gama dan si Nenek menoleh. Terlihat dari kejauhan Kirana menenteng dua tas besar di tangannya.

"Kurang ajar, ternyata kamu berteman dengan gadis itu. Awas saja! Kalau kamu berani datang ke sini lagi," ujar Nenek itu mengalihkan perhatian Gama. Dan nenek itu pun menghilang entah ke mana.

Aneh, kenapa nenek itu langsung pergi begitu Kirana muncul?

"Pak Gama!"

Kirana tampak ngos-ngosan begitu sampai di depan Gama. Bawaannya yang lumayan berat membuatnya lelah. "Pak Gama, Kenapa masuk ke sini?" tanya perempuan itu.

"Memangnya gara-gara siapa? Kamu lama!"

Kirana meringis merasa tak enak. "Maaf, Pak. Saya harus membereskan apa-apa yang harus saya bawa."

Bola mata Gama bergeser ke bawah, memperhatikan bawaan Kirana. Dua tas besar. Apa isi tempat tinggalnya dia bawa semua? Dan kelihatannya itu tampak berat. Gama tak peduli lantas segera berbalik.

"Ya sudah, cepat pergi! Saya tidak betah lama-lama di tempat ini," ujar Gama sembari melangkahkan kakinya.

Kirana kembali susah payah membawa barang-barangnya. Dia mencebik karena pria tinggi itu sama sekali tidak bersimpati untuk membawakan barang-barangnya. Kirana menggeleng cepat. Apa yang dia harapkan dari CEO arogan macam Gama?

Bahkan pria itu hanya duduk manis di dalam mobil saat Kirana memasukkan barang-barangnya ke dalam bagasi. Dengan sebal Kirana berjalan ke bagian depan mobil, lalu duduk di samping supir.

Mobil mewah itu berjalan perlahan, merambat dan bergabung dengan jalanan sore kota.

"Bagaimana bisa kamu tinggal di tempat kumuh seperti itu?" tanya Gama ketika mobilnya berhenti tertahan lampu merah.

"Tempat saya bersih kok, Pak."

Gama tak habis mengerti. "Di bagian mana terlihat bersih? Lingkungan itu sama sekali tidak sehat. Aku yakin warga di sana banyak terserang penyakit. Saya heran bagaimana ada orang yang bisa nyaman bergumul dengan sampah?"

Kirana menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Sabaaar.

"Tapi, kosan yang saya tinggali itu bersih, Pak. Harga sewanya juga murah."

"Murah? Berapa?"

"400 ribu sebulan."

"What? Tempat macam apa yang kamu maksud?" pekik Gama, dia lantas berdecak. "Tidak heran sih kalau lingkungannya kumuh seperti itu. Saya yakin di samping kosanmu itu paling tempat pembuangan sampah juga."

Seandainya pria itu bukan bosnya, Kirana pastikan sudah mencekik lehernya. Sombong sekali.