Chereads / The Devil Boss Beside Me / Chapter 14 - On Fire

Chapter 14 - On Fire

"Atur ulang jadwal saya untuk besok. Batalkan meeting dengan Abadi Jaya," ucap Gama ketika Kirana sampai di hadapannya.

"Baik, Pak." Kirana menunduk membuka tabletnya lalu masuk ke agenda harian sang bos. Tapi, saat dirinya membaca tujuan pertemuan dengan Abadi Jaya, wajahnya kembali mendongak. "Pak, meeting dengan Abadi Jaya itu membahas tentang kontrak pembaruan yang Bapak ajukan. Kok dibatalin sih, Pak?"

"Mau dibatalin atau enggak itu suka-suka saya," tukas Gama, melirik asistennya yang sok tahu itu.

Aneh, padahal dia sendiri yang mengajukan keinginan, tapi dia juga yang membatalkan, gumam Kirana. Dia tidak peduli dan menurut saja.

"Kamu kenapa tadi lama sekali? Dan tidak langsung mengikuti saya?"

Kirana kembali mengangkat wajah. "Saya kan harus berdoa dulu di makam tadi. Sama sekalian kasih buket bunga."

"Buket yang dikasih tukang bunga itu?"

"Iya. Saya kan hanya punya bunga itu, Pak."

"Bagus deh," ucap Gama, lalu kembali meraih cangkirnya.

"Apanya yang bagus, Pak?" tanya Kirana dengan dahi mengernyit.

"Ya itu, bunganya. Bagus kamu nggak menyimpan bunga itu lagi," ucap Gama, lantas sedikit berdeham.

Meski tidak paham dengan maksud ucapan Gama, Kirana mengangguk saja. Toh dia tidak peduli juga. Jangankan Kirana, Gama sendiri saja tidak paham maksud perkataannya.

"Kamu mau berdiri di situ terus? Memang kaki kamu enggak pegal?"

Kirana sontak menunduk, memandang kakinya sendiri. Saking sibuknya dengan tablet di tangannya, Kirana sampai lupa duduk. Dia nyengir lantas duduk berseberangan dengan Gama.

"Apa saya boleh pesan minum, Pak?"

Gama hanya menggumam. Dan itu cukup bagi Kirana tahu bosnya membolehkan. Dia lalu memanggil pelayan dan memesan satu cangkir kopi pahit.

Gama mengernyit. Dia sudah beberapa kali mendapati asistennya itu minum kopi pahit. Apa enaknya kopi pahit?

"Kenapa kamu selalu meminum kopi pahit?" tanya Gama tiba-tiba.

"Hah?" Kirana sedikit terkejut, tapi dia langsung mengangguk. " Itu kan karena Bapak juga."

Kernyitan Gama makin dalam. "Kenapa gara-gara saya?" tanyanya dengan nada tak terima.

"Ya saya kan harus on fire tiap saat buat Bapak."

Uhuk!

Sontak Gama tersedak minumannya sendiri. Membuat Kirana panik dan segera bangkit menghampiri pria itu.

Dia menepuk-nepuk punggung Gama. "Ya ampun, Pak. Kalau minum hati-hati. Jadi, nggak tersedak gini."

Gama menggeram sebal setelah batuknya reda. Dia segera meraih tisu, lalu menatap sengit asistennya itu. Memang wanita itu pikir karena siapa dia tersedak? umpatnya dalam hati.

"Duduk kembali!" perintah Gama.

"I-iya, Pak." Kirana segera kembali ke kursinya. "Tapi Bapak tidak apa-apa kan? Apa perlu saya panggilkan dokter?"

Gama makin kesal. "Kamu lebih baik diam!"

Kirana mencebik mendapat sentakan itu. Padahal maksud dia baik.

Mata Gama melirik Sukma yang sedang terpingkal di pojokan restoran. Jin itu pasti sangat puas melihatnya tersedak dan terbatuk lantaran .... Gama juga mengumpati dirinya sendiri yang tersedak karena ucapan Kirana beberapa saat lalu.

On fire wanita itu bilang? Gama menggerakkan leher, canggung. Memang dirinya ngapain perempuan itu sampai dia harus on fire terus?

"Efek kelamaan jomblo, Tuan."

Tahu-tahu Sukma sudah berdiri di dekatnya dan membisikkan kalimat sialan itu. Gama yang kesal spontan menjawab.

"Memang salah kalau jomblo?" Kedua alisnya menukik tajam.

"Enggak kok, Pak. Nggak ada yang salah. Saya juga jomblo. Bapak tenang aja, ada temennya kok." Kirana spontan menjawab, dan itu membuat Sukma makin terpingkal.

Gama kembali menggeram. "Saya bukan ngomong sama kamu!"

Eh? Kirana nyengir dan menggaruk belakang kepalanya. Dia lupa kalau si bos suka bicara sendirian mirip Wa Taryo, orang stres di kampungnya.

"Diam dan habiskan minuman kamu saja."

"Tapi kan kopi saya belum datang, Pak."

Gama mendengus. Selalu saja ada jawaban yang dilontarkan perempuan itu.

Tidak lama kopi pahit Kirana datang. Wanita dua puluh dua tahun itu menyeruput kopinya sedikit demi sedikit. Lidah Kirana sudah terbiasa dengan pahitnya cairan kental itu. Dia harus selalu terjaga demi kelangsungan hidup. Melayani bos Gama harus memiliki tenaga ekstra serta mata yang selalu terbuka.

"Kopinya enak. Pasti harganya mahal," ucapnya begitu selesai menghabiskan setengah isi cangkir.

Gama yang tidak menyukai kopi pahit bergidik mendengarnya. Tapi dia tak terlalu peduli dan lanjut memantau bursa saham di layar ipad yang dia pegang. Senyumnya tersungging saat sahamnya kembali menguat. Selalu lebih tinggi daripada perusahaan milik Raja. Meski perbedaannya tidak terlalu banyak, setidaknya setahun belakangan perusahaannya selalu lebih unggul daripada perusahaan kakak tirinya itu.

Dulu, sebelum dia memisahkan diri keduanya bernaung pada atap gedung yang sama. Memajukan nama brand yang sama juga. Namun, sebuah insiden mengubah semuanya. Gama tidak mau lagi bersama-sama mengurus perusahaan dengan Raja. Meski masih tercatat sebagai pewaris tunggal Raharja Corp, Gama memisahkan diri dan membuat brand baru yang ternyata cukup mengena di hati para target marketnya. Sehingga dalam lima tahun ini, brand milik Gama sering menelurkan produk-produk turunan yang meledak di pasaran. Sedikit demi sedikit brand-nya menggeser kedudukan brand lama perusahaan Raharja.

Prestasi yang membanggakan bukan? Berterima kasihlah kepada Tuhan yang sudah menganugerahkan otak jenius dan kelebihan bisa membaca pikiran orang. Sehingga Gama dengan mudah mengetahui langkah musuhnya. Bobroknya dunia bisnis Gama cukup tahu dan dia tidak akan membiarkan perusahaannya jatuh hanya karena tindak nakal beberapa oknum.

"Sudah kuduga, pasti kalian di sini."

Kirana menoleh mendengar suara itu. Dan matanya yang bulat berbinar melihat sosok pria tampan itu, lagi.

Sangat kontras dengan ekspresi Gama yang merasa terganggu dengan manusia satu itu. Siapa lagi kalau bukan Raja? Gama pikir Raja sudah tidak ada di tempat ini, mengingat dia tidak melihat mobil pria itu. Jejak keberadaan Raja memang ada, tapi Gama tidak melihat tanda-tanda Kakak tirinya itu masih berkeliaran di pemakaman ini.

Dalam beberapa hal kadang Sukma tidak bisa diajak kerjasama. Jin itu pasti sengaja tidak memberitahunya tentang keberadaan Raja.

"Selamat siang, Pak," sapa Kirana tidak menutupi rasa bahagianya melihat pria tampan itu lagi.

"Siang, Nona Kirana. Makin hari kamu makin terlihat cantik saja."

Dipuji seperti itu membuat Kirana mendadak salah tingkah. Dia terkekeh pelan. "Bapak bisa saja. Silakan duduk, Pak."

"Terima kasih, Nona."

"Siapa yang mengizinkan dia duduk di sini?" Suara Gama mengudara.

Kirana seketika sadar kesalahan yang dia lakukan. Karena silau dengan ketampanan Raja, dia lupa jika masih ada Gama di hadapannya.

"Ma, maaf, Pak," cicit Kirana menunduk.

"Adikku, jangan terlalu keras sama asistenmu nanti dia bisa lari padaku," ucap Raja tersenyum manis. "Kamu tidak lupa kan bagaimana Silvana—"

"Tutup mulutmu!" potong Gama cepat. Dia melirik Kirana. "Kita pergi sekarang juga."

"Tapi, Pak. Kopi saya belum habis," sahut Kirana, menegakkan punggung.

"Habiskan sekarang, Bodoh," kesal Gama. Kalimat kasarnya kembali terdengar.

"My brother tak pantas kamu bicara kasar begitu pada perempuan," tegur Raja dengan dahi berkerut. Kelakuan minus sodara tirinya memang sudah tak tertolong, tidak heran para wanitanya berbelok dan lari darinya.

"Bukan urusan kamu!" Gama beranjak berdiri. Dia membenarkan jasnya sebelum kembali berseru kepada Kirana. "Cepat, Kirana!" Dia pun mengayunkan kakinya yang panjang mendahului.

Kirana menyelipkan selembar uang seratus ribuan sebelum berdiri. "Maaf, Pak. Kami permisi." Kirana mengangguk kecil kepada Raja sebelum bergegas menyusul langkah Gama.

Kirana tak habis pikir, entah ada hubungan apa antara bosnya dengan pria tampan itu. Sepertinya si bos begitu antipati terhadapnya. Kirana menggeleng tak peduli dan mempercepat langkahnya. Dia tidak mau Gama tambah berang.