Kirana di tempat duduknya masih mengawasi wajah cantik di hadapannya yang terus berceloteh tentang kegiatan sosial yang wanita itu jalani. Dia menyaksikan bibir merah Silvana yang terus bergerak. Sesekali tawa renyahnya terdengar. Kentara sekali jika Silvana itu wanita supel yang pandai bergaul.
Sementara Gama di sebelah wanita itu hanya mendengar sambil menyantap camilan yang dia pesan.
"Kamu bisa bayangkan kan, berapa jumlah yang akan kami keluarkan seandainya perusahaan keluargaku dan keluarga kamu digabung?" Silvana bertanya dengan mata mengerjap.
"Keluarga mereka, bukan keluargaku," ralat Gama. Dia tidak suka disejajarkan bersama dengan Raja.
Silvana manyun. "Raja kan keluargamu juga."
Gama membuang muka lelah. Dia sudah menduga Silvana hanya akan membahas hal yang tidak penting. Tapi demi menyenangkan wanita itu, Gama menurut saja saat Silvana memintanya bertahan sebentar.
"Kalau kamu terus membicarakan soal calon suamimu, lebih baik aku cabut. Aku nggak punya waktu," tandas Gama yang langsung membuat Silvana merapatkan mulut.
Gama menoleh kepada Kirana yang duduk di kursi sebelahnya. "Telepon Marco untuk segera menyiapkan mobil."
"Baik, Pak." Kirana dengan cepat menurut.
"Astaga, Gama. Kamu belum 30 menit duduk di sini. Kopi kita bahkan belum habis. Oke, aku nggak akan bicara lagi tentang Raja. Lagi pula dia pasti sekarang masih di makam Cyntia." Wajah Silvana sontak memberengut.
Gama melirik wanita yang masih dia kasihi itu. Raut Silvana selalu saja cemberut kadang mendung jika Raja memprioritaskan Cyntia. Entah apa yang wanita itu cemburui kepada orang yang sudah tidak ada di dunia ini.
"Cyntia memang sudah tidak ada di dunia ini. Tapi, di hati Raja dia selalu ada," ucapnya dengan nada sedih suatu kali.
Kadang Gama iri dengan kakak tirinya yang selalu disukai semua orang. Bahkan wanita yang Gama suka pun menyukai pria itu. Ayahnya pun sama saja. Raja yang pandai bergaul dan selalu berprestasi selalu dibanggakan ke semua orang. Sementara Gama? Selalu saja salah di mata pria tua itu. Bahkan mungkin lahirnya dia ke dunia ini juga suatu kesalahan. Sultan tidak pernah menyayangi anak aneh seperti dirinya.
Tanpa sadar tangan Gama mengepal erat. Gama kecil sering membantu ayahnya dalam melumpuhkan lawan bisnis. Berkat kemampuannya itu dia sering kali membongkar kejahatan di perusahaan ayahnya. Tapi, Sultan tidak pernah mengakuinya, sekedar ucapan terima kasih pun tidak.
"Kamu pasti juga habis dari sana kan?" tanya Silvana membuat raut keras Gama akibat memikirkan ayahnya sontak mengendur. Dia menatap Silvana sejenak.
"Iya," pria itu hanya menjawab singkat sebelum meraih cangkir kopinya kembali.
"Pasti itu. Kalian kan dekat. Dulu aku pikir kalian pacaran. Eh, nggak taunya malah Raja yang pacaran sama dia."
"Sudahlah Silvana, jangan dibahas lagi. Aku capek." Gama meletakkan cangkirnya kembali. "Aku harus balik."
Kirana segera berdiri sebelum Gama melakukannya terlebih dulu. Dia lantas menyingkir dan memberi ruang Gama untuk keluar dari sela antara meja dan kursi.
"Gama, kamu nggak lupa minggu depan kan?"
Gama kembali menatap Silvana. Mata wanita itu sedikit berkaca. Minggu depan hari ulang tahunnya. Gama tidak mungkin lupa. Hari ulang tahun Silvana hanya selang satu Minggu dengan hari ulang tahun Cyntia.
"Aku ingat."
Bibir manis Silvana sontak merekah. Dia kemudian beranjak dari kursinya dan menghampiri Gama. "Aku pikir kamu lupa."
"Apa aku pernah lupa hari ulang tahunmu?" tanya Gama.
Silvana menggeleng. "Kamu memang sahabat yang baik," katanya seraya tersenyum.
Gama membalas getir senyum itu. Sahabat? Dia tidak pernah menganggap Silvana itu sahabat. Dia ingin lebih kalau bisa. Namun, wanita itu tidak bisa meraba perasaannya. Gama makin patah hati saat tahu Silvana menyukai kakak tirinya.
"Aku pergi dulu." tanpa basa-basi lagi Gama memutar langkah. Kadang jika dipikir, mengingat hari ulang tahun Silvana itu sangat hanya membuatnya makin terluka. Tapi, tanggal itu tidak pernah bisa Gama lupakan. Gama akan selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat, bahkan memberi kejutan. Namun, kemudian apa yang dilakukannya hari itu akan mudah Silvana lupakan jika Raja datang memberi wanita itu kejutan. Meskipun kejutannya terlambat, Silvana akan meninggalkan segalanya demi Raja.
Kirana segera mengikuti langkah Gama. Dia pamit sekedarnya kepada Silvana sebelum bergegas mengejar bosnya.
"Pak, jalannya jangan cepat-cepat," protes Kirana yang lagi-lagi kesulitan menyeimbangi langkah panjang Gama.
"Makanya olahraga," sahut Gama tidak peduli dengan Kirana yang terseok-seok mengikuti langkahnya.
"Ini bukan soal olahraga. Kaki Bapak aja yang kepanjangan."
"Bukan kaki saya yang kepanjangan. Kaki kamu saja yang kependekan karena tidak pernah olahraga."
Kirana mencebik. "Kaki saya memang dikasih Tuhan segini, Pak."
Setelah pria itu bilang tubuhnya biasa saja sekarang dia bilang kaki Kirana kependekan. Jika dibanding wanita bernama Silvana tadi, Kirana akui tubuhnya tenggelam. Silvana memiliki postur tubuh seperti model, tinggi. Hanya saja bukan tinggi kurus, wanita itu memiliki beberapa tonjolan pas di bagian-bagian tertentu. Sembilan dari sepuluh wanita Indonesia, Kirana yakin mereka mendamba tubuh seperti Silvana.
"Sore ini kita lari-lari keliling komplek," putus Gama ketika mereka sampai di teras lobi menunggu supirnya datang.
Kirana di samping Gama langsung menggeleng. "Nggak, Pak. Makasih. Bapak saja yang lari-lari. Saya di rumah saja."
Bola mata Gama bergeser menatap tajam wanita itu. "Dasar pemalas. Jangan mengeluh kalau saya jalan cepat."
"Pak, saya kerja sama Bapak saja sudah sering lari-larian buat apa juga harus olahraga lari?"
"Biar kaki kamu makin kuat," sahut Gama sembari memperhatikan mobilnya yang baru datang memasuki teras lobi.
Sukma tampak sudah duduk di sebelah supir. Dia tersenyum. Kumis melintangnya ikut tertarik ke atas ketika dia tersenyum.
"Maaf, Tuan. Saya tadi ada sedikit urusan," ucap Sukma seraya meletakkan tangan kanannya menyilang di dada. Kepalanya menunduk sesaat.
"Nggak nanya," dengus Gama, tangannya lantas bergerak menggeser pintu mobil.
"Kita langsung pulang kan, Pak?" tanya Kirana begitu dirinya duduk di dalam mobil tepat di samping tempat duduk Gama.
"Ya. Dan siapkan diri kamu untuk jogging sore ini."
Serta merta Kirana memasang tampang masam. Niat sekali manusia satu itu menyiksanya.
"Bapak beneran tidak mau datang ke acara makan malam Pak Sultan?" tanya Kirana berusaha mencari keberuntungan. Siapa tahu malam ini dia bisa beristirahat dengan tenang di rumah.
"Sekali saya bilang tidak ya tidak. Dengar ya, Kirana. Saya paling tidak suka mengulang sesuatu yang sudah saya ucapkan. Asah otak kamu biar bisa cepat menangkap dan memahami ucapan orang."
Kirana tidak beruntung. Dia malah mendapat kata-kata yang menyakiti hati. Mungkin memang lebih baik dia menutup mulut daripada lagi-lagi mendapat sentakan. Perlakuan Gama padanya sangat bertolak belakang dengan perlakuan pria itu terhadap wanita bernama Silvana beberapa saat lalu.
"Tuan, Nona Kirana murung kelihatannya," ujar Sukma sesampainya mereka di rumah kembali.
Gama menoleh dan memperhatikan punggung Kirana yang menjauh. Begitu sampai tadi, wanita itu langsung pamit ke kamarnya dengan alasan ingin mempersiapkan diri untuk jogging sore.
"Saya tidak peduli, Sukma," sahut Gama dingin lantas kembali bergerak, menapaki satu per satu anak tangga menuju lantai dua.
Sudut bibir Sukma terangkat. Matanya menyipit, sementara sebelah tangannya memilin-milin ujung kumisnya yang lebat. Dia mencium sesuatu yang tidak beres.
____________________
Jangan Lupa Tap Love Gaes.