"Aku ingatkan sekali lagi. Jangan sampai kamu menyesal. Kalau bukan karena ayah yang selalu mencarimu aku juga malas menemui kamu." Bibir Raja menyeringai. "Dan juga ... Kirana. Sepertinya aku mulai tertarik dengan asistenmu itu."
Mata tajam Gama melebar. Hal yang membuatnya kesal setengah mati pada kakak tirinya itu sikap pria itu terhadap wanita yang ada di sekitar Gama. Setelah Cintya dan Silvana, apa pria itu pikir Gama akan membiarkan Kirana juga jatuh ke tangannya? Mimpi saja.
"Sebaiknya urus tunanganmu. Dan nggak perlu mengusik apa yang ada di sekitarku."
Raja tersenyum seraya berdiri. Dia membenarkan jasnya. "Kamu sangat tahu kalau aku tidak mencintai Silvana. Pertunangan kami murni bisnis. Jadiโ"
"Aku nggak akan membiarkan kamu menyakitinya." Gama mengetatkan rahang, menggeretakan gigi-gigi di rongga mulutnya, menahan kesal. "Sekali kamu menyakitinya, aku akan bikin kamu menyesal," ancam Gama penuh kebencian. Dia ingin teriak dan mengumpat.
"Wow, aku takut sekali dengan ancamanmu, Adikju. Bagaimana kalau aku menukar Silvana dengan asistenmu? Kamu tertarik? Bukannya kamu masih mencintai Silvana?"
Kalimat yang diucapkan penuh penekanan oleh Raja membuat Gama tidak bisa lagi menahan emosi. Dia bergerak maju dan hendak melayangkan pukulannya. Namun, seolah tahu apa yang akan Gama lakukan,Raja berhasil berkelit.
Pukulan Gama hanya mengenai udara. Berkat itu juga, dia terhuyung dan terperenyak ke atas sofa lantaran Raja mendorong punggungnya dari belakang.
"Sebaiknya kamu belajar menahan emosi. Agar tidak lengah ketika lawanmu sedang memperdaya dirimu," pungkas Raja sebelum beranjak pergi dari ruangan Raja.
Raja pintar menyulut emosinya, itulah sebabnya dia jarang bisa menembus apa yang pria itu pikirkan. Di kondisi tertentu, ketika emosinya menggelegak seperti sekarang, dia akan kehilangan kemampuannya.
Gama duduk seraya mengusap wajahnya berulang kali. Menarik napas dalam dan melepasnya dalam satu kali hembusan.
"Tuan nggak akan pernah mengalahkan Raja kalau masih seperti ini terus jika berhadapan dengannya."
Suara Sukma menggema di setiap sudut ruangan sementara sosoknya entah berada di mana.
"Dia sudah kalah asal kamu tahu, Sukma," desis Gama jengkel.
Tawa Sukma menggelegar. "Dalam hal karir mungkin iya. Raja bisa bertahan karena ayah Tuan, tapi dalam hal cinta ... hm sayangnya masih belum berhasil mengalahkan Raja"
Sial! Bahkan penjaganya sendiri mengejeknya.
"Anda tahu? Sekarang Raja sedang bicara dengan Nona Kirana. Kalau Anda tidak bisa mengambil simpati Nona Kirana lebih dulu, bisa-bisa Nona Kirana memutar langkah dan berpaling pada saudara tiri Anda itu."
Gama tidak suka mendengar laporan Sukma. "Memangnya aku peduli? Aku juga tidak terlalu butuh dia."
"Benar kah? Kalau begitu jangan salahkan saya jika hari itu terjadi." Masih dengan suara kalem Sukma menjawab.
"Itu nggak akan pernah terjadi. Raja tidak mungkin menyukai wanita biasa seperti Kirana. Aku sangat tahu seleranya." Kedua tangan Gama mengepal ketika mengatakan itu. Sementara itu tawa Sukma menggelegar.
"Itu tidak akan masalah bagi dia sekarang, Tuan. Selama itu bisa membuat Anda terpuruk, itu yang dia inginkan."
Gama makin mengeratkan kepalan tangannya. Dua alisnya menukik. Yang penjaganya katakan itu benar. Raja hanya ingin melihat dirinya terpuruk. Dia tidak bisa mengalahkan Gama dalam hal bisnis, maka dia menaklukkan Gama dengan cara lain.
Gama membuang napas kasar dan kembali mengusap wajah. Untuk beberapa lama dia tercenung sampai seseorang membuka pintu ruangannya. Selain dirinya hanya Kirana yang memiliki akses masuk tanpa perlu mengetuk pintu. Wanita itu dengan santai kembali ke meja kerjanya tanpa mempedulikan Gama yang duduk di sofa.
"Kirana!" panggil Gama dengan volume suara yang cukup mengagetkan.
Kirana di tempatnya terlonjak. Dia langsung menyahut sekenanya. "Ya, Pak?"
"Lain kali kalau Raja datang jangan kamu suruh masuk. Paham?"
"Tapi, Pak-"
"Paham?" ulang Gama tidak ingin dibantah.
Kirana hanya mengangguk saja, lantas kembali duduk di kursinya. Dia masih tidak mengerti kenapa bosnya itu sangat membenci Gama. Di luar masalah yang dia tidak tahu antara Gama dan Raja, bagi Kirana Raja adalah sosok pria yang baik. Selain tampan dan memiliki senyum menawan, Raja juga ramah. Lebih manusiawi dibandingkan bosnya yang saat ini sudah berada di balik meja kerjanya.
Kirana menggeleng. Berusaha tidak peduli dan memutuskan untuk tenggelam dengan pekerjaannya yang seabreg. Sesekali dia menerima panggilan, lalu menyusun list jadwal harian Gama untuk besok dan lusa.
"Pak, Grup Pratham ingin membuat janji temu dengan Bapak. Apa Bapak menerima? Kalau iya, akan segera saya masukkan ke jadwal," ujar Kirana dengan mata lurus menghadap bosnya.
Pria yang rambutnya sedikit berantakan itu termenung sesaat, lalu tanpa menoleh kepada Kirana dia menyetujui pertemuan itu.
"Oke, Pak." Kirana kembali berkutat dengan pekerjaan. Setelah itu tidak ada satu pun yang bersuara di antara mereka, sibuk dengan kegiatannya masing-masing hingga Gama bangkit lalu mengajak Kirana pulang.
Sudah lewat pukul sembilan malam. Padahal Kerjaan Kirana sudah selesai dari pukul tujuh. Namun, lantaran tidak mungkin meninggalkan Gama sendiri di kantor, Kirana terpaksa menungguinya meskipun terkantuk-kantuk.
Kirana meraih tas. Dia hampir melupakan sepatu yang Gama beri, untung matanya menemukan kotak sepatu itu berada di kabinet bawah. Kirana tidak ingin mendapat omelan lagi saat malam makin merangkak naik.
Kirana menerima jas dan tas kerja yang Gama angsurkan, lalu langkahnya menyusul Gama yang sudah lebih dulu berjalan di depan. Dua meja sekretaris yang ada di luar ruangan sudah kosong saat Kirana baru saja keluar. Bahkan lampunya sudah mati. Bukan hanya meja sekretaris itu, sepanjang melewati koridor kantor suasana pun sudah penyap. Workstation di beberapa ruangan juga gelap menandakan tidak ada penghuninya. Kirana makin mempercepat langkah, mengimbangi langkah panjang Gama yang terburu.
"Pak, tungguin saya."
Selain membawa barang bawaannya sendiri, Kirana juga membawa barang milik pria itu, jadi dia cukup kerepotan.
Gama membuang napas kasar melihat asistennya berjalan terseok-seok berusaha menyusulnya. Wanita itu selalu tidak bisa diandalkan. Kalau bukan karena dia tidak memiliki sifat agresif mungkin Gama tidak segan untuk mendepaknya.
"Awas saja kalau tasku terjatuh. Di dalamnya ada laptop yang harganya ditukar nyawa kamu saja nggak akan cukup," hardik Gama. Bukannya membantu malah menyombongkan diri.
Kirana mendengus pelan. Pria itu bilang apa? Nyawanya nggak cukup buat membeli laptop di dalam tas ini. Kalau tidak ingat dia masih butuh banyak uang, Kirana enggak akan segan-segan membanting tas Gamaโyang katanya mahal ini. Mungkin tasnya itu terbuat dari kulit Anaconda.
"Saya kerepotan, Pak. Bapak nggak berniat membantu saya?" tanya Kirana saat sudah sampai di depan Gama dan juga lift yang akan mereka naiki.
"Percuma saya mempekerjakan asisten kalau ujung-ujungnya saya yang kerepotan," timpal Gama sembari menarik salah satu sudut bibirnya.
Kirana merapatkan bibir, sangat pas kalau dia menyebut manusia itu Devil Boss. Manusia tidak punya perasaan.
Pintu lift terbuka lebar, dia menggunakan kesempatan itu untuk lebih dulu masuk. Namun, Gama yang juga bergerak hendak masuk lift, tanpa sengaja membentur tubuh Kirana. Tidak terlalu keras, tapi lumayan membuat tubuh Kirana terhuyung hingga dia terjerembab di lantai. Tas Gama yang Kirana bawa pun terlempar hingga menimbulkan bunyi "krak" yang lumayan keras.
Kirana dengan posisi jatuh yang cukup mengenaskan membulatkan mata memdengar bunyi itu. Lalu seketika ucapan Gama beberapa saat lalu kembali terdengar.
"Awas saja kalau tasku terjatuh. Di dalamnya ada laptop yang harganya ditukar nyawa kamu saja nggak akan cukup,"
Mampus!
________
No Edit, maafkan bila banyak typo. Saya belum bisa kebut ya. Nyari pembaca dulu kalau udah banyak baru dikebut. Makanya kalau suka cerita ini jangan lupa masuk ke library dan review biar makin banyak yang baca.