Pagi itu Erland Dewangkara sedang duduk di ruangan kerjanya. Dia sibuk menandatangani beberapa berkas yang menumpuk di atas meja kerjanya. Erland seorang CEO dari Perusahaan Livingston Dewangkara Group. Perusahaan kelapa sawit terbesar di Negara Grissham.
Erland seorang lelaki tampan berusia 29 tahun. Kulit tubuhnya putih bersih, hidungnya mancung, perawakannya tinggi, berkumis tipis, sedikit jambang di pipinya dan berrahang tegas. Rambutnya sedikit kepirangan.
Erland lelaki metroseksual yang maco dan tampan. Berkharisma dan terlihat dingin di luar tapi menghanyutkan di dalam. Semua wanita yang dia inginkan mudah didapatnya. Tinggal menatap sekali saja, wanita itu sudah ada di atas ranjangnya. Erland sering disebut sang casanova. Ketika dia sudah suka pada satu wanita, dia harus mendapatkannya dan membuangnya seperti sampah setelah bosan. Tak ada kata setia dikamusnya. Semua itu karena rasa sakit hati Erland pada seorang wanita yang dulu pernah dicintainya, tapi wanita itu memutuskan pergi.
"Pagi Bos." Seorang Direktur bernama Kenzo Pratama masuk ke ruangan. Berdiri di depan meja Erland. Dia Direktur paling tampan yang pernah ada. Orangnya kalem, sopan, ramah dan mudah menangis untuk hal-hal yang sensitif. Namun dia jomblo sejati karena selalu gugup saat menyatakan cinta. Sampai saat ini dia masih betah sendirian bukan karena tak laku tapi tak bisa berkata-kata saat di depan wanita. Kenzo berperawakan sedang, hidung tidak terlalu mancung, lesung pipi, muka oval, rambut agak panjang dikuncir ke belakang dan bibir merah.
"Pagi." Erland tak menatap Kenzo. Matanya masih betah dengan berkas di tangannya. Membiarkan Kenzo untuk berbicara.
"Sekretaris untuk anda sudah menunggu di luar Bos."
"Sekretaris?" Erland yang tadinya hanya melihat ke bawah langsung menaikkan pandangannya.
"Iya Bos."
"Aku tidak meminta seorang sekretaris." Seingat Erland dia tidak meminta sekretaris pada Kenzo. Dia juga masih bisa mengurus urusan pribadinya. Selebihnya Kenzo yang mengurus.
"Nenek Anda yang menyuruhnya datang."
"Nenekku?" Erland terkejut saat neneknya disebut. Wanita tua yang diktaktor itu selalu mengatur hidup Erland. Apalagi desas-desus tentang dirinya yang seorang casanova membuat neneknya geram. Sampai hati mengutus sekretaris untuk mengawasi gerak-geriknya.
"Iya Bos. Sekretaris khusus dari nenek anda."
"Aku tidak butuh sekretaris, suruh dia pulang!" Erland menolak. Untuk apa ada asisten. Dunianya terasa terbatasi oleh neneknya. Pasti dia ingin mengaturnya seperti sebuah televisi melalui remot kontrol.
"Tapi ini perintah, anda tidak bisa menolak. Nenek anda sendiri yang menelponku."
Erland langsung meletakkan bulpoinnya. Dia menatap ke depan dengan kesal. Matanya terlihat dingin dan penuh amarah.
"Bagaimana Bos?"
"Suruh dia masuk!" Tak ada pilihan lagi selain menerima orang utusan neneknya meski dia tidak menyukainya.
"Baik Bos."
Kenzo pun ke luar dari ruangan itu. Hanya Erland yang masih menatap pintu dengan tatapan yang masih sama. Dia tak habis pikir wanita tua itu sedang bermain apa lagi dengannya.
Tak lama pintu ruangannya terbuka. Seorang gadis cantik berhijab masuk ke dalam. Tinggi, putih, bola matanya berwarna hazel, bibirnya merah delima tapi bukan karena lipstik melainkan merah alami, pipinya kemerahan.
"Assalamu'alaikum." Suara lembut terdengar menyejukkan di telinga Erland yang menatapnya tajam. Seolah dia mangsa yang siap diterkam singa lapar.
Erland hanya diam. Tak membalas salam dari gadis cantik bermata hazel itu.
"Siapa kau? Apa kau mata-mata dari nenekku?" Erland langsung mencerca gadis berhijab itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang menusuk.
Arisha menarik nafas panjangnya. Dia sudah mempersiapkan hari ini jauh-jauh hari sebelumnya. Untuk menghadapi Erland harus memiliki kesabaran yang tinggi.
"Saya sekretaris anda. Selain mendampingi anda bekerja, saya akan selalu mengingatkan tentang apapun yang benar dan melarang anda jika itu salah. Semua ini atas perintah nenek anda."
"Duduk!" Satu kata yang ke luar dari bibir Erland pada gadis cantik di depannya. Secara fisik gadis di depannya memang sangat cantik. Meski berhijab tapi modis dan stylish. Warna pakaian yang dikenakannya pastel tidak terlalu mencolok dan tidak pucat.
"Maaf Bos, perkenalkan saya Arisha Dilara." Arisha begitu ramah memperkenalkan dirinya.
Arisha Dilara seorang gadis biasa. Dia sudah mandiri sejak lulus SMA. Tidak ada yang istimewa darinya, hanya saja dia memiliki satu keunggulan yang berbeda dari orang lainnya. Arisha gadis sholeha yang baik hati. Tak banyak di zaman sekarang wanita yang masih mau mengenakan hijab ketika bekerja di kantoran. Kebanyakan mereka harus melepas hijab demi tuntutan pekerjaan.
"Siapa yang tanya namamu?" Erland tak merubah sikap dinginnya pada Arisha. Padahal gadis cantik berhijab itu sudah memperkenalkan dirinya dengan ramah dan santun.
Arisha menarik nafas panjang kembali. Mengembuskan perlahan. Dia sudah dibekali wejangan dari orang yang memerintahnya seperti apa Erland.
"Saya datang hanya mengikuti perintah nenek anda. Mau anda suka atau tidak. Mulai hari ini saya sekretaris anda."
Erland tersenyum tipis di sudut bibirnya. Dia mengira gadis berhijab itu akan down dengan apa yang dikatakannya tadi. Rupanya dia menantang Erland untuk menguji mentalnya.
"Sekretarisku? Berarti kau siap dengan segala resikonya."
Mata Arisha mulai serius tak seperti tatapan sebelumnya.
"Insya Allah."
Erland berdiri. Berjalan menghampiri Arisha yang duduk di kursi. Dia berdiri tepat di belakang Arisha. Tangannya memegang sandaran kursi yang diduduki Arisha.
"Pertama, jadi sekretarisku harus bisa ciuman panas denganku. Kedua, buka hijabmu karena aku suka wanita yang seksi. Ketiga, siap naik ke atas ranjangku saat diperlukan. Keempat, urus semua keperluanku dari pagi sampai malam. Kelima, jangan banyak tanya tentang urusanku."
Tepat di belakang Arisha, Erland membisikkan semua syarat yang harus dipenuhi Arisha untuk menjadi sekretaris pribadinya.
Arisha terdiam. Syarat yang diajukan Erland tidak sesuai dengan hatinya.
"Bagaimana Nona pemberani?" Erland yakin Arisha akan menolak. Mana mungkin wanita berhijab itu mengiyakan keinginannya.
"Siap!" Arisha menjawab tanpa ragu. Dia tidak takut dengan semua resiko dari syarat yang aneh itu.
"Kau yakin? Setelah ini kau tidak akan bisa menolaknya."
"Insya Allah." Arisha hanya fokus menatap ke depan. Entah apa yang ada dipikirannya sampai mau jadi asisten Erland. Apakah imbalan setimpal dari neneknya? Atau dia dalam kondisi terjepit?
"Bodoh!" Nikmatilah penderitaan yang kau buat sendiri dengan menjadi sekretarisku." Erland berbisik di telinga Arisha kemudian kembali berjalan ke kursi kesayangannya. Duduk dengan arogan. Menatap Arisha dengan tatapan sinis.
Arisha hanya diam. Tangannya mengepal di dekat pahanya. Dia menyimpan sesuatu tapi tak diperlihatkannya.
"Lakukan syarat yang pertama dulu, aku ingin lihat kau bisa melakukannya atau tidak?" Erland menantang Arisha untuk berciuman dengannya.
Arisha masih terdiam. Melihat itu Erland yakin Arisha akan menyerah. Dan memilih meninggalkan tugas yang diberikan neneknya.
"Maksud Bos, berciuman panas?" tanya Arisha.
"Ya. Berikan aku bibir merah delima milikmu itu!" jawab Erland. Menatap Arisha dengan tatapan tajam. Siap memburu mangsa yang tak bisa berkutik lagi.
Deg
Arisha terdiam. Bagaimana dia bisa melakukan perintah Erland. Berciuman saja dia belum pernah. Apalagi berciuman panas dengan Bosnya.
"Kenapa diam? Aku siap menikmati ciuman yang kau berikan Nona pemberani," ujar Erland. Tersenyum tipis di sudut bibirnya. Dia ingin lihat sejauh mana permainan ini menarik untuk dimainkan olehnya.