Erland berjalan memasuki kamar neneknya. Seperti biasa neneknya sedang duduk nyaman di kursi goyang sambil membaca majalah. Nenek Erland bernama Victoria Dewangkara. Seorang janda tua yang ditinggal mati suaminya. Dia sangat dihormati dan disegani anak dan cucunya. Suami Victoria bernama Arash Dewangkara. Sudah lama suaminya meninggal sejak Victoria masih berusia 30 tahun. Sejak saat itu Victoria meneruskan bisnis Arash dan menjadi pengusaha yang sukses.
Arash dan Victoria memiliki satu anak yang terlahir dari pernikahannya itu. Eric Dewangkara yang merupakan ayah Erland Dewangkara. Eric menikahi seorang wanita dari kalangan bawah bernama Sisilia Vanesha. Dari pernikahan itu keduanya dikaruniai dua putra tampan. Bara Dewangkara dan Erland Dewangkara. Bara sudah menikah dengan Renata Queenza, yang merupakan mantan kekasih Erland. Renata meninggalkan Erland dan memilih menikah dengan kakaknya Bara Dewangkara. Kala itu Bara pemimpin Perusahaan Livingston Dewangkara Group. Namun sebuah kecelakaan membuat Bara terpaksa duduk di kursi roda. Dia mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya. Sejak saat itu Erland menggantikan posisi Bara sebagai pemimpin perusahaan.
"Sore Nek," sapa Erland.
"Sore." Victoria menutup majalahnya. Meletakkan majalah itu di atas meja yang ada di samping kursi goyang.
Erland berdiri di depan neneknya. Memberi penghormatan layaknya pada seorang pemimpin. Dengan membungkukkan badannya. Kemudian kembali berdiri tegak.
"Tumben kau punya waktu menemui nenekmu?" celetuk Victoria.
"Justru aku ke sini ingin membicarakan sesuatu denganmu Nek," sahut Erland.
"Kalau begitu kita duduk di sofa!" ajak Victoria.
Erland mengangguk.
Mereka berdua duduk di sofa. Terlihat tegang dan serius. Kedua mata nenek dan cucu itu saling bertautan satu sama lain. Seakan memiliki seribu kata yang siap dilontarkan.
"Nek, kenapa Nenek mengutus orang untuk jadi sekretarisku?" tanya Erland.
"Bukannya sekretarismu resign?" jawab Victoria.
"Iya, tapi aku bisa mencari sekretaris untukku sendiri," sahut Erland. Dia tidak suka dengan orang yang diutus Victoria untuk menjadi sekretarisnya.
"Memangnya kenapa dengan orang utusanku?" tanya Victoria.
"Dia berhijab. Tidak seksi seperti sekretaris pada umumnya," jawab Erland. Alasan pertama tidak menyukai Arisha. Selain itu hanya alasan Erland yang tidak mau diatur neneknya.
"Memangnya sekretaris pada umumnya seperti apa?" tanya Victoria. Bibirnya tersenyum tipis. Dia tahu Erland sedang bermain-main dengannya.
"Setiap pagi bisa memberiku ciuman panas, memijatku dengan sentuhan lembutnya, siap berkencan denganku kapan saja dan berpakaian minim, terbuka di bagian dadanya," jawab Erland. Dia sengaja memberi kriteria yang menyulitkan neneknya.
"Kau mau mencari sekretaris atau simpanan?" sahut Victoria. Kriteria yang Erland inginkan lebih tepat ditujukan untuk simpanan.
Erland langsung terdiam. Neneknya memang pandai mematahkan alasannya untuk menghindar.
"Sekretaris yang sekarang bersamamu itu tahan banting dalam segala kondisi. Jadi kau tak perlu meragukannya," ujar Victoria.
"Kenapa nenek tak mengutus robot saja? Lebih tahan banting dan non stop melayaniku 24 jam," sanggah Erland.
Victoria tersenyum tipis di sudut bibirnya mendengar ucapan cucunya.
"Mau tak mau dan suka tidak suka. Arisha akan tetap menjadi sekretarismu. Kau tak bisa membantahnya, ingat itu!" tegas Victoria.
Erland hanya bisa mengikuti perintah Victoria. Di Keluarga Dewangkara, tak ada satupun yang bisa membantah perintah neneknya. Jika tidak suka dengan perintahnya siap-siap angkat kaki dari rumah Keluarga Dewangkara.
***
Arisha Dilara gadis berusia 23 tahun. Baru satu tahun lulus kuliah jurusan managemen. Arisha tidak terlalu pandai hanya saja ramah dan sopan. Satu hal yang selalu dibawanya ke mana saja. Dia gadis berhijab yang selalu mempertahankan hijabnya meski banyak pekerjaan menggiurkan untuk menanggalkan hijabnya. Namun kegigihannya membuat Arisha berbeda dari yang lainnya. Hijab sudah seperti mahkota untuknya. Dia yakin berhijab tidak akan menghalangi pekerjaannya hingga dia mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris Erland.
Pagi itu Arisha sudah bangun sejak subuh. Dia selalu sholat tepat waktu. Hampir setiap hari bangun pukul 4 pagi. Bersih-bersih tempat tinggalnya, mencuci dan menggosok pakaian yang akan dikenakan hari ini. Tak lupa membuat sarapan seadanya sebelum Safira bangun.
Arisha sibuk menyiapkan apa yang akan dikenakannya hari ini. Dia harus perfect. Erland suka dengan wanita yang cantik, anggun, dan stylish. Arisha tak berniat jadi kekasihnya. Hanya saja dia sekarang sudah menjadi sekretaris pribadinya. Jadi Arisha harus tampil menarik jangan sampai memalukan seperti hari kemarin.
"Baju sudah digosok, tas sudah ada, tinggal heels-nya," guman Arisha. Kejadian kemarin membuat heels kesayangannya rusak. Padahal itu heels satu-satunya yang Arisha punya. Kini heels itu menjadi sandal.
"Pakai apa ke kantor? Kalau pakai sepatu sekolah? Gak, Erland pasti ngomel," pikir Arisha. Dia tidak mungkin memakai sepatu. Heels miliknya juga rusak.
Arisha mengecek laci kecil yang biasa digunakan untuk menyimpan sandal miliknya. Satu per satu dikeluarkan dan dicoba. Tak ada satu pun yang masih muat dan layak pakai untuk ke kantor.
"Aku pinjem Maya aja, dia pasti punya heels untuk ku pinjam," ujar Arisha. Bergegas gadis berhijab itu ke luar dari kontrakkannya.
Maya Nafiza sahabat Arisha dari kecil. Dari Arisha masih tinggal bersama ayahnya hingga memilih tinggal dengan ibunya. Mereka mengejar mimpi yang sama untuk jadi orang yang sukses dan mandiri. Kontrakkan Maya ada di pintu ke delapan sedangkan kontrakan Arisha ada di pintu pertama.
Arisha berdiri di depan pintu. Mengetuk pintu kontrakkan sahabatnya itu.
Tok! tok! tok!
Tiga kali mengetuk Maya langsung membuka pintu. Dia sudah tahu hanya Arisha yang suka datang di pagi hari untuk pinjam ini dan itu.
"Pasti mau pinjem kemeja? Asal jangan pinjem pacar ya," ujar Maya diselingi candaan khasnya.
"Bukan, aku mau pinjam heels, butuh banget. Bosku dinosaurus repot kalau gak perpect," sahut Arisha.
"Kau sudah dapat pekerjaan? Ku pikir masih betah menganggur," kata Maya.
"Sudahlah, aku berdoa siang malam. Kemarin bertemu nenek misterius, langsung dapet posisi sekretaris loh," sahut Arisha.
Maya menepuk pipinya. Mencubit tangannya. Menjedotkan kepalanya ke dinding dengan pelan.
"Bukan mimpi? Apa kau jadi sekretaris kakek tua bangka atau sekretaris Om-Om hidung belang?" tanya Maya yang masih tak percaya Arisha bisa jadi sekretaris.
"Parah sekali nasibku, tapi harus kau tahu Bosku masih muda dan tampan," sahut Arisha.
"Beneran kau jadi sekretaris Bos tampan? Bagus banget nasibmu," ujar Maya.
"Iya dong, itulah kenapa harus rajin bersedekah. Kita gak pernah tahu kapan rejeki datang," sahut Arisha.
"Ya udah masuk dan pilih sendiri yang mau kau pinjam," ucap Maya.
Arisha mengangguk. Dia masuk ke dalam kontrakan Maya. Di sudut ruangan depan ada lemari kaca berukuran kecil tempat menyimpan berbagai sepatu dan heels milik Maya. Arisha memilih-milih yang ingin dia pakai dan cocok di kakinya.
"Maya ukurannya besar semua," keluh Arisha sambil memegang salah satu heels milik Maya.
"Memang biasanya kau pakai ukuran berapa?" tanya Maya.
"Kadang 38 untuk heels tapi kalau flat shoes aku pakai ukuran 39," jawab Arisha.
Maya menghampiri Arisha. Berjongkok di sampingnya, membantu Arisha memilih heels dan sepatu untuknya.
"Punyaku gede semua. Paling kecil ukuran 41, kau tahukan bentuk kakiku panjang dan lebar," sahut Maya.
"Aduh, gimana ya? Kalau pakai heels kebesaran kelihatan banget, gak enak lagi dipakainya," ujar Arisha. Wajahnya tampak bingung. Dia tidak ingin ditertawakan karena sulit berjalan mengenakan heels yang kebesaran.
"Gimana kalau pakai flat shoes tidak akan kelihatan kebesarannya," saran Maya.
"Benar juga, aku bisa ganjal pakai tisu atau kertas ya," sahut Arisha.
"Tuh tahu," jawab Maya.
Arisha tersenyum. Paling tidak flat shoes bisa diakalin. Dia tidak perlu mengenakan heels kebesaran yang akan menyulitkan langkahnya.
"Tapi kulitnya pada ngelotok Arisha, gak papa?" tanya Maya. Semua flat shoes yang dia punya sudah tidak bagus lagi. Beberapa kulitnya terkelupas termakan usia.
"Gak papa bisa diakalin, yang penting ada," jawab Arisha. Dari pada pakai heels miliknya yang rusak. Lebih baik mengubah flat shoes terkelupas kulitnya itu dengan sedikit modifikasi darinya.
Mereka berdua tersenyum. Maya memang sahabat yang baik dan menyayangi Arisha. Dari kecil sudah bersahabat dengannya. Mereka sudah biasa saling tolong menolong dalam segala hal. Termasuk soal penampilan yang kurang.
Dengan wajah berseri-seri Arisha kembali ke kontrakkannya. Dia sudah mendapatkan flat shoes yang dibutuhkannya.
"Tinggal dimodifikasi sedikit," ucap Arisha sambil tersenyum. Dia mengambil semir sepatu miliknya. Namun semir sepatunya habis. Tak habis ide, dia mengambil stabilo berwarna hitam, ternyata sudah kering.
"Pakai apa lagi? Berpikir Arisha!"
Bukan Arisha kalau menyerah. Dia mengambil kuas dan cat air berwarna hitam miliknya. Biasanya Arisha melukis di sela-sela waktu senggangnya. Sekarang dia akan menggunakan keterampilan melukisnya pada flat shoes yang terkelupas itu.
"Nah cantik, semoga gak hujan. Kalau tak, luntur sudah cat airnya," ujar Arisha sambil memandangi flat shoes di tangannya. Sepasang flat shoes itu sudah tampak seperti baru. Meski dari dekat terlihat dekat tambalannya.
"Semoga aku bisa membeli yang lebih baik, Insya Allah." Arisha berdoa semoga besok atau lusa dia bisa membeli heels atau flat shoes yang lebih baik.
"Saatnya berangkat!" Meski hidup sulit, Arisha tetap semangat. Saatnya merubah takdir. Dengan kerja keras dan doa yang senantiasa dipanjatkannya.
Arisha duduk di ruang depan. Ibunya terlihat merajut tas yang baru setengah jadi.
"Bu ayo sarapan!"
"Kau sarapan duluan, ibu belum laper. Nanggung udah mau jadi."
Arisha mengangguk. Ibunya memang jarang sarapan sepagi itu. Biasanya dia sarapan di pasar sekalian menjual tas rajut buatannya.
Arisha sarapan sendirian kemudian mengenakan pakaian yang rapi. Kemeja putih polos, blazer berwarna abu dan celana panjang yang senada dengan blazer yang dikenakannya.
"Alhamdulillah cantik dan santun, semoga Erland tak mengomel dengan penampilanku," ujar Arisha sambil tersenyum melihat penampilannya di cermin lemarinya.
Arisha mengambil tas canklong miliknya. Mengganjal flat shoes dengan tisu yang di letakkan di ujung depan flat shoes-nya. Kini sepatu itu tak kebesaran lagi, tak masalah sedikit sakit di ujung kakinya. Asalkan bisa tampil rapi dan sesuai yang diinginkan Erland.
"Semoga nyaman dipakai seharian," ucap Arisha. Tersenyum. Senyuman manis yang mengembang di bibirnya. Gadis berhijab itu selalu bersemangat menjalani harinya meskipun terkadang sulit.
"Loh kok sepatu diganjal tisu? Emangnya gak sakit?" Safira tak tega melihat Arisha mengenakan flat shoes yang diganjal tisu.
"Insya Allah gak Bu. Paling pegel. Nanti diistirahatin pas di ruanganku," jawab Arisha.
"Memang heels-mu yang kemarin kemana?" Safira ingat kemarin Arisha membeli heels baru.
"Haknya patah Bu, jadi sandal." Arisha menjawab sambil tersenyum.
"Ya udah. Nanti kalau tas rajut ibu laku, Insya Allah ibu beliin heels second yang masih bagus."
"Amin. Makasih ya Bu." Arisha memeluk ibunya. Dia bersyukur masih diberi kesempatan bisa bersama ibunya. Meski hidup bersama ayahnya jauh lebih baik.