"Sudah lebih baik?" tanya Gama berdiri di sisi tempat tidurnya sendiri seraya menatap tubuh ringkih Kirana yang meringkuk di bawah selimutnya.
Beberapa menit lalu, Gama baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Menggantikan tukang urut jadi-jadian kiriman dari sekretarisnya. Setelah tangis Kirana mereda, Gama membawa perempuan itu ke kamarnya. Atas petunjuk Sukma dia membuat sebuah ramuan untuk mengobati lebam di bahu dan dada Kirana.
"Saya tidak tau ini akan berhasil atau tidak. Tapi tidak salahnya mencoba," ujar Gama sembari membawa cawan kecil memasuki kamar. "Bangun."
"Biar saya sendiri yang melakukannya, Pak," sahut Kirana mencengkeram kuat ujung kain yang dia selipkan di belahan dadanya. Dia belum mengenakan pakaian apa pun pasca kejadian makhluk menyeramkan itu menyentuhnya.
"Tidak bisa. Ada doa-doa khusus yang harus saya ucapkan saat mengobati. Kamu tidak bisa melakukannya sendiri."
"Tapi, Pak–"
"Jangan merepotkan dengan banyak membantah saya, Kirana. Atau kamu mau iblis itu lagi yang menyentuh tubuh kamu?"
Kirana menggeleng cepat. Mengingat wajahnya saja sudah membuat bulu kuduknya merinding. Dia terpaksa berbalik badan, lalu membiarkan Gama mengoles entah ramuan apa.
Kirana memejamkan mata ketika telapak tangan Gama dan ramuan itu bergerak di kulit bahunya. Gerakannya lembut, lalu sesekali menekan namun tidak sakit. Aroma kunyit dan kencur menyengat, menyerang indra penciuman Kirana. Ada aroma lain juga yang mendominasi. Namun, dia tidak terlalu hapal.
Tubuhnya masih menegang, selama Gama masih menyentuhnya.
"Balik badan," pinta Gama dengan suara besarnya.
Kirana terkesiap. Balik badan?
"Saya akan mengobati bagian dada kamu."
"Itu biar–"
"Saya sudah bilang kan kalau kamu tidak bisa melakukannya sendiri?" potong Gama dengan nada jengkel. Asistennya itu bebal atau bagaimana?
"Pak, saya–"
"Cepat berbalik, Kirana," hardik Gama cepat. Membuat wanita itu melonjak kaget.
"Ba-baik, Pak." Tanpa pikir panjang dia memutar, menghadap langsung ke depan sang Bos dengan wajah takut.
Gama hendak menarik kain Kirana, tapi dengan cepat Kirana mencegahnya. Dia memegang erat-erat kainnya. Hingga membuat lelaki yang saat ini hanya mengenakan kaus berkerah itu menggeram.
"Kamu ingin sembuh tidak?!"
"Iya, tapi–" Mata Kirana membulat ketika Gama menyentak kainnya hingga cengkramannya terlepas. Kain batik tulis itu pun luruh hingga sebatas pinggang, menampakkan tubuh bagian atasnya yang terbuka.
Tanpa menghiraukan Kirana yang mematung dengan wajah tertegun, Gama meraup kembali ramuan pada cawan dengan keempat ujung jarinya. Lalu mengoleskannya di kulit dada bagian atas Kirana yang memar kehitaman. Ujung jemarinya bergerak memutar di sana memberikan sebuah sentuhan dan tekanan searah jarum jam. Gama sama sekali tidak peduli dengan wajah Kirana yang memerah. Pandangannya terasa kosong. Sejujurnya dia mencoba menutup mata, mengabaikan pemandangan indah yang terpampang jelas di depan mata.
Namun, dia juga lelaki biasa. Beberapa kali dia mengumpat dalam hati ketika mengagumi keindahan lingkar dada Kirana yang cukup besar. Kulit Kirana begitu lembut dan halus, membuatnya tak rela menjauhkan jari jemarinya di sana. Puncak dadanya yang memerah dan menantang membuat pangkal pahanya terasa sesak. Sial!
Tangannya menjauh. Kepalanya mendadak ingin meledak lantaran menahan hasrat. Bukan hanya itu, dadanya juga bergetar hebat. Gama tidak tahu, jika Kirana pun demikian adanya. Sepanjang Gama mengobatinya dia memicingkan mata dan menahan napas. Jantungnya bertalu seperti genderang yang ditabuh kencang. Seluruh tubuhnya bahkan meremang. Aliran darah menderas, Kirana merasa gerah dengan tubuh setengah telanjang.
"Kirana saya ...." Tenggorokan Gama tercekat menyaksikan wajah Kirana yang sembab dengan rambut berantakan. Dia merasa akan menjadi gila sekarang. Ini di luar kendalinya. Tubuhnya tiba-tiba merapat, sebelah tangannya terulur menggapai sisi wajah Kirana.
Kediaman wanita itu dan tatapan sayunya membuatnya hilang akal. Gama tidak bisa menahan hasrat untuk mencium bibir ranum Kirana yang sedikit terbuka.
Kirana terkejut bukan main, tapi anehnya dia tidak berusaha menghindar atau mendorong tubuh besar Gama menjauh. Mengikis jarak.
Gama lepas kendali, dia memperdalam ciumannya hingga membuat erangan kecil keluar dari mulut Kirana. Dan hal itu malah membuat hasratnya makin tersulut. Tubuh kecil Kirana dengan mudah direngkuhnya, dan dibawa kembali berbaring.
Pria itu makin kehilangan akal kala sebelah tangannya akhirnya bisa menyentuh secara utuh buah dada Kirana. Membuat gerakan memutar, dan meremas begitu lembut.
Untuk beberapa saat tubuhnya menjauh lalu dengan gerakan cepat dia meloloskan kaus melewati kepala dan melemparnya sembarang sebelum kembali menunduk dan menyapukan lidahnya ke puncak dada Kirana.
Tubuh Kirana di bawah kuasa Gama menggeliat. Segalanya membuat kepalanya berputar. Dia ingin mengakhiri semua, tapi sesuatu di dalam tubuhnya menghalangi. Bahkan ketika Gama menyingkirkan semua kain yang menghalangi tubuh dan membuka lebar kedua pahanya, dia hanya diam.
Tatapan Gama menyihirnya, sentuhan pria itu nyaris membuatnya gila. Rintihannya malah makin membuat pria itu bertindak makin jauh menyentuh di bawah sana.
"You're so wet, I can't stop it," bisik Gama di dekat telinga Kirana yang berhasil membuat wanita itu merinding. Lalu segalanya terasa seperti mimpi ketika di bawah sana ada gerakan mendorong yang begitu kuat.
Kirana melepas napas berat, membuat Gama serta-merta mencari matanya. "Kirana, kamu ... kamu mau saya berhenti?"
Kirana menggeleng, dan entah dapat keberanian dari mana dia merengkuh tengkuk Gama lalu melumat bibir penuh pria itu. Gama menyambutnya tak kalah dalam.
Lalu dengan gerakan pelan, dan hati-hati Gama mendorong lagi tanpa melepas ciumannya. Dia berusaha keras untuk satu ini. Hingga ....
"Ah ...." erangan Kirana lepas diiringi cengkeraman kuat di bahu Gama ketika pria itu berhasil menyatukan dirinya.
Gama berhenti sesaat dan sempat tertegun, sebelum kembali dibakar gairah. Dia sama sekali tidak menduga kalau ini adalah yang pertama bagi Kirana. Dia yang lelaki yang pertama untuk perempuan itu.
Ah, harusnya Gama berpikir seribu kali untuk tergoda. Tidak seharusnya wanita polos seperti Kirana yang hanya lulusan SMA dari kampung mendapatkan perlakuan seperti ini. Kirana si lugu membiarkan bajingan seperti dirinya masuk dan memberi satu jejak yang entah akan berakhir bagaimana.
Itulah yang dia lakukan. Berdalih mengobati memar wanita itu namun malah membuat tubuhnya makin remuk redam.
Kirana masih diam, meringkuk, di bawah selimut tempat tidur Gama, tak berdaya. Dia hanya meloloskan air mata satu kali untuk kesalahannya. Tidak ada gunanya menangis juga. Dia yang tidak ingin tuannya berhenti, dan semua lantas terjadi.
Gama masih berdiri di sisi wanita yang masih belum mau membuka mata. Ada rasa bersalah yang menggumpal, membuat napasnya terasa sesak.
"Maaf."
Untuk pertama kalinya dia menggumamkan kata maaf. Meski dia tidak yakin Kirana mendengar. Dengan perlahan dia menyimpan satu cangkir jahe hangat ke nakas, salah satu minuman kesukaannya saat sedang tidak merasa baik-baik saja.
"Kirana," panggilnya pelan seraya duduk di tepian tempat tidur. "Saya membawakan kamu minuman jahe hangat. Kamu akan baik-baik saja setelah meminumnya."
Kirana bergeming, dia masih memejamkan mata dengan posisi memunggungi Gama. Telinganya dengan jelas mendengar panggilan itu namun dia abai. Dia ingin sendiri sekarang, meratapi nasib setelah semuanya lepas, meski tanpa air mata.
"Kamu harus minum sampai habis selagi hangat. Mau saya bantu?" tanya Gama lagi, mencoba membujuk. Tidak ada jawaban, tatapnya berpaling lagi menyasar punggung yang tertutup selimut.
Selimut itu sedikit terjatuh ketika tubuh di dalamnya bergerak, menampilkan tanda berbentuk bunga yang ... Gama menyipitkan mata melihat perubahan warna tanda lahir tersebut. Detiknya berikutnya terbuka lebar.
Tanda kecokelatan itu berubah warna menjadi keemasan? Bagaimana bisa?