"Kirana bisa melihatnya, Sukma."
Ruangan itu sunyi. Hanya ada Gama sendiri dan juga makhluk yang menjadi penjaganya sejak dia masih kecil. Dinding putih yang mengelilingi ruangan terasa dingin. Tirai-tirai panjang melambai terkena embusan angin dari jendela tinggi yang terbuka. Mengantar hawa dingin yang mencekam di tengah malam seperti sekarang ini. Belum lagi suara burung hantu yang sesekali terdengar, menambah suasana makin menyeramkan.
Namun, tidak bagi Gama. Lelaki berbadan tinggi dengan sorot mata setajam elang itu sudah sangat terbiasa dengan keadaan ini. Hampir tiap malam suasananya selalu sama.
"Sudah saya duga dari awal dia itu istimewa. Dia bisa melihat sesuatu yang bahkan Anda sendiri tidak mampu melihatnya," sahut Sukma dengan posisi duduk di dekat jendela tinggi. Aura keberadaan dialah yang membuat suasana mencekam tiap tengah malam.
"Aku tidak bisa melihat khodamnya."
"Dia tidak memiliki khodam, Tuan."
Alis Gama menyatu, keningnya berkerut dalam. "Benar kah? Lalu siapa yang mencengkeram bahu dan dadanya? Jelas itu bukan lebam biasa."
"Mangunseta pelakunya. Dia menyukai Nona Kirana dari pertama dia masuk ke perusahaan."
"Siapa Mangunseta?" Mata Gema menyipit, meminta penjelasan dari Sukma. "Apa dia salah satu jin laki-laki?"
Sukma mengangguk. Kakinya kemudian melangkah dengan dua tangan melipat di dada. "Dia jin dari Abad 12. Anda tidak bisa melihatnya karena kekuatannya yang cukup besar. Saya sempat menegurnya untuk tidak mengganggu Nona Kirana. Tapi, dengan sombongnya dia malah menantang saya. Dan, perbuatannya kemarin memang sudah keterlaluan."
Mendengar penjelasan Sukma, tanpa sadar Gama mengepalkan tangan.
"Apa dia mengikuti Kirana sampai ke sini?"
Sukma menggeleng. "Mangunseta nggak akan berani datang ke sini. Dia hanya ada di gedung perusahaan."
"Berani sekali dia."
"Dia penunggu rumah tua yang sudah lama ada sebelum gedung Rajata dibangun. Dia merasa berhak atas tempat itu. Lift perusahaan yang kerap mati juga ada campur tangannya, Tuan."
"Dan kamu baru memberitahuku sekarang?"
"Tadinya saya merasa itu bukan persoalan yang serius. Tapi kejadian kemarin memang sudah keterlaluan."
Gama menggeram jengkel. Hal seperti ini kerap sekali terjadi. Roh-roh gentayangan yang tidak tahu diri dan suka mengganggu manusia. Entah sudah ke berapa kalinya Gama dan Sukma membuat makhluk-makhluk itu bertekuk lutut.
Gama turun dari ranjangnya yang memiliki ukiran khas Jepara. Dipan berbahan kayu jati itu dulu dengan sengaja dia datangkan dari Jawa. Lalu diukirnya sendiri oleh tenaga ahli yang dia percaya.
Pria itu dengan langkah lebar keluar dari kamar lalu mendekati kamar Kirana kembali. Dengan gerakan perlahan, Gama membuka pintu Kirana yang tidak terkunci.
Di langsung bisa melihat wajah cantik Kirana yang tengah terlelap. Napas wanita itu naik turun dengan teratur. Bergeser sedikit, tatap Gama menemukan kulit perut Kirana yang terbuka, memperlihatkan pusarnya. Cepat-cepat Gama memalingkan pandangan.
Dia bergerak mendekat sembari membuang muka. Lalu saat dirinya sudah ada di dekat ranjang tidur Kirana, tangannya terulur mengambil sebuah selimut. Dibentangkannya selimut tersebut, dan dia gunakan untuk menutupi bagian tubuh Kirana yang terbuka.
Gama terkesiap ketika tiba-tiba saja Kirana menggeliat. Dia menahan napas, khawatir Kirana bangun dan menemukannya di sini. Wanita itu akan berpikir macam-macam.
Setelah memastikan wanita itu baik-baik saja. Dia bergerak keluar. Otaknya kembali berpikir bagaimana cara agar Mangunseta bisa bertekuk lutut padanya seperti makhluk-makhluk lainnya di kantor.
***
Kirana bangun dari tidur dengan badan remuk redam. Semua persendiannya terasa kaku. Meski begitu bahu dan dadanya sedikit lebih baik. Dia bergerak menyingkap selimut dan sedikit terkejut ketika wajahnya terkena paparan sinar matahari dari balik celah kaca jendela yang tersingkap.
"Sial! Aku kesiangan! Pak Gama bisa ngamuk."
Kirana segera turun dari ranjang sembari mengikat rambut panjangnya. Dia baru akan keluar saat tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Saat pintu terkuak, tatapnya langsung bisa menemukan Gama di sana. Pria itu tidak datang dengan tangan kosong. Sebuah nampan ada di dua tangannya.
Langkah mendekati Kirana yang masih berdiri dengan kaku di depan ranjang tidur.
"Ini sarapan kamu," ucap Gama sembari menyimpan nampan di nakas.
Hal itu membuat Kirana mengerjap. Ini tidak salah? Biasanya dia yang akan menyiapkan sarapan pagi. Namun, kali ini seolah ada keajaiban Gama-lah yang menyiapkan sarapan untuknya. Sampai-sampai Kirana berpikir kalau kepala bosnya itu habis terbentur meja, lalu mengalami peradangan sehingga bisa bertingkah seajaib ini.
"Pak, maaf. Saya kesiangan. Alarm yang saya pasang nggak bunyi," ucap Kirana takut-takut. Gama memang baik mengantar sarapan untuknya. Namun, Kirana merasa janggal dan perlu waspada.
"Kamu bisa istirahat hari ini. Saya juga akan work from home."
Kirana sontak terperangah. Mulutnya setengah terbuka sementara dua matanya mengerjap pelan. "Pak Gama serius?"
Masih dengan sikap sok cool-nya Gama berdeham. "Hm, jangan lupa minum obat itu biar badan kamu tidak linu."
Dada Kirana mengembang seolah-olah banyak pasokan oksigen yang memenuhi rongga paru-parunya.
"Terima kasih, Pak," ucap Kirana sembari tersenyum lebar. Mumpung bos iblis itu sedang berbaik hati, Kirana tidak akan menyia-nyiakannya.
"Jangan senang dulu." Gama menyeringai. "Banyak kerjaan yang menantimu setelah ini," ucapnya lagi. "Satu lagi." Dia mengacungkan jarinya. "Laptop saya ... Pikirkan itu juga."
Kirana mendesah, baru dipuji baik sudah menyebalkan lagi. "Iya, saya nggak lupa, Pak."
Sekali devil tetap saja devil. Dengan bibir mencebik, Kirana mendekati nakas. Dia duduk di tepian ranjang setelah mengambil nampan sarapannya. Ada satu mangkok bubur ayam, buah semangka yang sudah dipotong, dan segelas susu hangat.
"Lebam di bahu kamu masih ada?" tanya Gama yang saat ini berdiri tidak jauh dari posisi Kirana.
"Masih ada, Pak. Semalam saya melihat lebamnya makin menghitam, mungkin sebentar lagi akan hilang. Sebab rasanya sekarang sudah nggak sesakit kemarin," terang Kirana. "Hanya saja ...."
"Kenapa?" tanya Gama cepat, melihat ekspresi ragu pada wajah Kirana.
"Itu, Pak. Setelah bangun tidur, badanku pegal semua. Seperti habis digebukin orang sekampung," sahut Kirana, meringis. "Bapak tahu enggak di sini tukang urut di mana?"
Gama mendengarnya spontan berdecih. Dia kira ada masalah serius. "Saya tidak tahu. Saya tidak biasa diurut. Mungkin si Mbok tau, tapi dia tidak ada di rumah karena ada urusan."
"Yaaah ...." Kirana mencebik kecewa. Dia lantas mengambil sendok dan mulai memakan bubur yang Gama bawakan. Satu sendok mendarat di mulut dengan selamat, tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Pak Gama, apa Bapak sudah sarapan pagi?" tanya Kirana, rasanya tak pantas dia sarapan sementara bosnya kelaparan.
"Kamu tidak perlu memikirkan itu sekarang. Pikirkan saja dirimu sendiri, agar bisa cepat-cepat saya bantai," ujar Gama tersenyum miring.
Setelah mengatakan hal itu, pria yang hari ini mengenakan kemeja putih itu keluar dari kamar Kirana.
"Menyebalkan sekali," gumam Kirana kesal. Detik berikutnya kekesalannya sirna saat melihat mangkok buburnya masih harus segera dia habiskan.
Kirana tidak tahu jika di balik pintu kamar, Gama tengah sibuk menelepon sekretarisnya untuk mencarikan seorang tukang urut.
"Yang perempuan, saya tidak mau laki-laki," ucap Gama.
"Wah, Bapak mau main-main ya, sama tukang pijat?" tanya sekretarisnya di ujung sana.
"Tutup mulut kamu, atau gajimu saya potong. Kirim dia ke rumah, secepatnya.
"Ba-baik, Pak."
Gama mendengus. Lalu tangannya terulur menguak sedikit pintu kamar Kirana. Dari jarak pandangnya, dia bisa melihat Kirana sedang memakan buburnya dengan lahap. Satu sudut bibirnya naik ke atas, dan membentuk seulas senyum.