"Tolonglah kami, Nak
hanya kamu satu-satunya harapan terakhir keluarga."
Lutut Elis bergetar hebat ia menaiki anak tangga kesusahan saat permintaan ayahnya, menengadahkan tangan seolah Elis lah yang bisa membuka pintu rezeki ayahnya kembali.
Elis berjalan tertatih.sekelebat bayangan akan masalalu memghampirinya.
Menolong dengan cara menyerahkan anaknya pada lelaki yang sama sekali Elis tak kenal. Bukankah itu sama saja menjual anaknya sendiri.
Elis membuka pintu kamar, matanya melotot sempurna di hadapan ia sekarang kamarnya seketika berubah menjadi kamar pengantin yang dihiasi bunga.
"Maaf."
Bahkan kata maaf pun tak keluar sedikitpun dari mulut Ibunya seolah ibu tirinya setuju. Elis berusaha menahan air matanya ia memasuki kamar melihat meja riasnya dipenuhi bunga menghitung hari pernikahan yang sama sekali Elis belum setuju bahkan menolakpun tak bisa.
"Apa dengan cara menikah aku bisa dianggap olehmu Ibu?" Elis seolah bertanya pada dirinya, menatap pantulan wajah di cermin. Sungguh menyedihkan
Cara ibunya memperlakukan tadi tak ada sedikit rasa penyesalan seakan ia mendukung suaminya.
"Kak Elis," ucap Reza berdiri di belakang Elis ia tak berani mengetuk pintu
"Adik, kenapa kau di sini tidak sekolah." Elis menoleh berusaha agar terlihat tegar di hadapan adiknya yang masih berusia enam belas tahun.
"Kak Elis, maafkan, Reza, tidak punya banyak uang, Reza janji setelah tamat sekolah akan cari pekerjaan agar, Ka Elis, bisa keluar dari jeratan pernikahan dengan Tuan Muda itu," ucap Reza sendu
Elis mendekat lalu mendekap sang adik Elis tersenyum lega setidaknya ia masih memiliki satu adik yang selalu memperhatikannya.
"Kakak tidak papa kok, Adik. belajar dulu besokkan mau ujian."
Reza mendongakkan pandangannya, "Bagaimana dengan Ka Elis? Reza akan ikut ke rumah calon suami Kakak agar menjaga, Ka Elis, pasti Tuan Muda itu sangat kejam."
Elis mengusap air matanya lalu kembali tersenyum memeluk erat Reza, "Tidak, kok. mana ada jahat buktinya dia mau bantu keluarga kita, belajar yang benar, Kakak pasti bisa mejaga diri."
"Bohong, ini pasti Ibu yang menyuruh Ayah, kan? Aku akan protes dengan Ibu agar Kakak tak perlu menikah!" Reza mengepalkan tangannya kuat
Elis mengusap rambut sang adik ia tahu apa yang akan dilakukan adiknya itu Elis menahannya mengusap pucuk rambut Reza.
"Permisi Nona, dipanggil Nyonya di ruang tamu." Bibi mengetuk pintu kamar sembari menunduk.
"Adik kembalilah ke kamarmu, Kakak akan datang nanti kalau ada soal ujian yang rumit." Elis mengusir adiknya halus ia tak mau jika adiknya harus mendengarkan kata-kata buruk Ibunya.
Elis menapaki kakinya melihat dari tangga Ibunya yang sedang mewarnai kuku. Elis membuang wajah kesalnya ia masih sadar diri menumpang dari kecil di rumah ini. Semua makan bahkan sekolah ditanggung. Elis masih menghormatinya
"Nona Elis, Nyonya." Bibi melangkah pergi setelah mengantarkan Elis kembali ke ruang dapur mempersiapkan kue jamuan menyambut tamu tinggal beberapa hari lagi Elis akan menikah.
"Elis, akhirnya kau turun juga. Ini ambil datanglah di butik yang Tuan Adinata perintahkan." Retta melemparkan selembar kertas di atas meja wajahnya terlihat tidak bersahabat.
"Kenapa harus aku Bu?" tanya Elis masih tak mau mengambil selembar kertas itu. Matanya menyorot penuh rasa yang teramat rumit.
Retta menyilangkan kakinya masih tetap mewarnai kukunya.
"Kenapa bukan Ibu saja yang menikah dengan Tuan Adinata."
"Elis!" Retta berdiri dengan suara meninggi, "Masih membantah perintah ayahmu, he! Kau tidak ingat bagaimana kami membesarkan dari kecil. sampai sekarang kerjamu hanya membangkang terus, bisakah sekali saja menolong dengan begitu kau berguna di rumah ini."
"Apa selama ini gaji yang kuberi tidak cukup, Bu." Elis berkata dengan suara bergetar
Retta bersedekap dada. "Gaji? Oh sekarang sudah berani perhitung. bahkan gaji kecil saja dibangga-banggakan."
Elis meremas roknya kuat ia maju ke depan mengambil surat lembaram alamat.
"Ingat posisi Elis, sejak kecil aku yang merawat, ibu kandungmu saja sudah tidak ada."
Elis berhenti melangkah ia lalu berbalik. "Aku tahu, tak perlu diperjelas."
Di rumah ini Elis ingin sekali pergi, muak mendengarkan Ibu tirinya Retta yang selalu saja mengungkit masalalu. Wanita yang suka penjilat lidah terlihat seolah wanita penuh lemah-lembut di hadapan ayahnya namun di belakang Retta tak seperti yang dibayangkan.
"Bentar lagi nikah sama orang kaya enak tuh," cibir Selina saudara tiri Elis sejak dulu ia memang tak menyukai Elis
"Terjamin banget kayaknya, deh, pasti ntar kacang lupa kulitnya." Matanya menatap sinis Elis yang melewati pintu depan.
"Kamu kenapa sih Sel? Kalau mau nikah nih ambil."
Telinga Elis panas mendengarkan ocehan Selina hubungan keduanya memang tidak pernah membaik.
"Sory, aku nggak minat barang bekas." Selina berjalan masuk ke dalam menghentangkan kedua kakinya.
"Silahkan masuk, Nona, Tuan Adinata sudah menunggu ada di tempat," ucap sang sopir sembari membungkukan badannya.
"Bapak sudah bekerja lama dengan Tuan Adinata, kan?" tanya Elis.
"Iya Nona saya sopir pribadi Tuan," jawabnya tak mau melihat wajah Elis.
"Bisakah, Bapak, menjelaskan rinci sifat Tuan Adinata, agar saya bisa beradaptasi," ucap Elis sembari tersenyum paksa.
"Nona, bisa meminta jawaban itu nanti, tugas saya hanya mengantarkan silahkan masuk."
Elis mengangguk paham, "Baiklah saya mengerti."
Elis menarik napasnya perlahan-lahan lalu kemudian mengembuskan ia berusaha menguatkan hatinya meski nanti calon suaminya itu berwatak seperti rumor yang didengar sangat kasar dan suka sekali bermain tangan.
***
Di dalam ruangan tunggu Elis merapikan rambutnya sembari mengatur catanya berbicara nanti ia harus bisa memikat hati Tuan Adinata. Hanya itu yang diperintahkan ayahnya jangan sampai membuatnya marah karena pria itu mudah sekali terbawa emosi. Saat Elis menyapu pandangan derap langkah kaki terdengar dari depan jantungnya terpacu dua kali lipat.
Seorang pria bertubuh tinggi tegap duduk di sofa memperhatikan Elis dari ujung kepala sampai kaki.
"Apa kau putri Harzan?" tanyanya masih memperhatikan penampilan Elis.
"Iya Tuan saya putri sulungnya nama saya Elisa Kinanti."
Adinata menyipitkan matanya, "Nama apa itu jelek sekali, apa kau pas lahir tidak diberi nama yang bagus."
"Maaf Tuan tapi ini pemberian nama dari Ibu saya."
Adinata berdehem lalu ia mengambil amplop dari saku jasnya melemparkan ke wajah Elis. "Baca, pahami isinya."
Elis menerimanya lalu membuka amplop ia sudah tahu pasti itu perjanjian nikah. Elis membuka membacanya.
"Semua hal yang pihak pertama Adinata Ghardian katakan wajib dipatuhi tanpa boleh protes sedikitpun. Pihak kedua Elisa Kinanti tidak berhak melakukan sesuatu tanpa izin pihak pertama."
Elis menutup kembali satu kalimat saja namun itu sama saja mengekang hidupnya semua hal yang dilakukan Elis wajib melaporkan.
"Tuan tapi bolehkan saya tetap bekerja?" tanya Elis
"Buta atau memang tidak bisa baca," ucap Adinata kesal.
"Baiklah, tahan, sebentar saja lihat pria di depanmu ini cepat sekali ternyata marah."
Elis tersenyum lebar, "Ah aku sudah mengerti, Tuan, terimakasih atas kebaikan Anda, berkat anda perusahaan ayah kembali membaik lagi."
"Berterimakasih sebanyak mungkin. Agar aku puas."
"Apa, apaan ini? Ternyata memang benar Tuan Adinata, sungguh angkuh. Cih!" ucap Elis dalam hatinya. Meski begitu ia tetap melakukannya sampai mulut gadis itu berbusa.