Pintu dengan cepat terbuka. Silvana muncul dengan wajah panik.
"Astaga, Kirana! Ada apa?" tanya Silvana yang melihat Kirana terjerembab, membentur dinding.
Kirana tampak masih syok dengan apa yang sudah dia lihat. Telunjuknya terangkat, menunjuk lokasi di mana dia melihat kepala botak, bermuka pucat. "A-ada anak kecil ngagetin saya, Mbak," jawabnya takut-takut.
Silvana segera menghampiri Kirana dan menolong wanita itu. "Kamu ada-ada saja. Mana mungkin ada anak kecil di ruang kerja Gama?" ujarnya membantu Kirana berdiri.
"Saya serius, Mbak. Anak kecil itu suka main bola karet." Kirana celingukan mencari sosok itu. Tapi anak kecil itu tidak terlihat lagi. Sebenarnya Kirana tidak terlalu takut, hanya saja tadi dia terkejut lantaran tiba-tiba kepala anak itu muncul.
Bola mata Silvana mau tak mau ikut mengedar. Dia sangat tahu Gama itu memiliki kelebihan yang tidak semua orang bisa miliki. Gama kerap menakutinya jika pria itu sudah bertingkah aneh. Berbicara dengan makhluk tak kasat mata misalnya. Kalau Gama sudah begitu, biasanya Silvana akan memilih pergi.
"Kirana, ayo kita keluar saja dari sini." Silvana menarik lengan Kirana, dia tidak mau berurusan dengan teman-teman Gama yang tak terlihat.
"Kamu nggak apa-apa? Apa teman Gama mengganggu kamu?" tanya Silvana ketika mereka sudah ada di lift.
Kirana melongo sesaat mendengar kata teman. "Te-teman yang mana ya, Mbak?" tanyanya tak paham.
Silvana meringis, telunjuk mengarah ke belakang. "Itu yang di ruangan Gama. Yang kamu bilang anak kecil. Siapa coba kalau bukan teman Gama?"
Asisten pribadi Gama itu mengangguk. "Mbak Silvana tau juga ya kalau Pak Gama itu aneh?"
"Aku kan udah berteman lama sama dia. Jadi yang kayak gitu ya aku taulah."
Kirana lupa. Mereka berteman lama. Dia mengangguk-angguk lagi. "Aku pikir Mbak Silvana pacar Pak Gama."
"Enggaklah. Kami berteman baik dari SMA. Lagi pula orang yang aku suka itu Raja. Kamu tau Raja kan? Dia kakak tiri Gama."
Bibir Kirana mengerucut. Dia tahu Raja kakak Gama, tapi dia tidak tahu kalau mereka saudara tiri. Pantas saja keduanya tidak akur. Ah, tidak, yang sering Kirana lihat Gama yang selalu memasang jarak.
Keduanya makan di salah satu restoran tidak jauh dari kantor. Sejak menjadi asisten Gama, Kirana lumayan sering makan di tempat yang dulu tidak bisa dia jangkau sama sekali. Sebenarnya bisa, hanya saja daripada menghabiskan uang ratusan ribu untuk sesuatu yang akhirnya menjadi kotoran, lebih baik dia gunakan uang itu untuk membantu orang tuanya di kampung. Apa lagi dia memiliki impian membangun rumah layak untuk mereka.
Di tengah kegiatan makan mereka, telepon dari Gama muncul. Kelopak mata Kirana kontan membuka lebar. Dia buru-buru meraih tisu untuk mengelap tangannya sebelum menerima panggilan dari sang bos.
"Kamu di mana?!"
Suara besar Gama menggelegar di ujung sana. Kirana sampai harus menjauhkan ponsel dari telinganya dengan wajah meringis.
"Saya sedang makan siang, Pak."
"Makan siang di saat kerjaanmu belum beres?! Jam dua ada meeting dan kamu belum mengirim file meeting ke email saya!"
"Astaga!" Kirana memegang kepalanya sendiri. "Saya lupa, Pak. Saya akan segera kembali buat menyiapkan!"
Gama terdengar menggeram. "Nggak perlu! Lita sudah melakukannya. Dasar asisten bodoh!"
Lalu panggilan mati begitu saja setelah telinga Kirana mendengar umpatan itu. Dia mendesah. Membayangkan nanti bertemu si bos, habislah dia kena maki ulang.
"Ada masalah?" tanya Silvana yang melihat ekspresi wajah sedih Kirana.
Kirana menarik napas panjang sembari menurunkan ponsel dari telinganya. "Pak Gama marah karena saya lupa meyiapkan file meetingnya."
"Oh." Silvana terlihat prihatin. Dan dia tampak berpikir, sebelum sesuatu di dalam kepalanya bersinar. "Kamu tau enggak yang bikin mood Gama membaik?"
Kirana menggeleng lemah. Bos-nya itu tidak bisa ditebak. Kadang Kirana merasa manusia itu sangat jahat. Memperlakukan Kirana sesuka hati. Sedikit-sedikit marah. Tapi, di sisi lain kadang Gama juga baik. Tadi saja pria itu membelikanku sepatu. Meski ujung-ujungnya tetap menyusahkan, setidaknya dia ada sisi baiknya. Tidak selalu menjadi devil yang membuat Kirana ingin sekali menggorok lehernya.
"Minuman jahe hangat yang kamu kasih irisan jeruk nipis. Dijamin deh mood dia membaik," ucap Silvana dengan senyum lebar.
"Minuman jahe?"
Silvana mengangguk. "Kamu kasih kayu manis dan batang serei ya. Gula merahnya jangan banyak-banyak."
Gama memang suka meminum infus water. Kirana juga memasukkan bahan itu di infus water yang biasa Gama minum tiap pagi. Tapi, ini jelas bukan infus water, melainkan jahe hangat. Kirana cukup mahir membuat minuman macam itu. Dulu ibunya sering membuatkan untuknya sebagai minuman kesehatan. Bahkan dikasih tambahan kunyit, jadi rasanya enak.
Kirana melengkungkan bibir. "Baik, Mbak. Nanti saya akan coba. Tapi, maaf Mbak. Kayaknya saya harus segera kembali ke kantor. Atau kalau enggak, Pak Gama tambah ngamuk."
"Oke. Terima kasih ya udah menemani aku makan. Ini biar aku yang bayar."
Selain cantik dan ramah, Silvana juga tidak pelit. Ah, Kirana merasa beruntung bisa mengenalnya.
"Makasih banyak ya, Mbak."
Sesampainya di gedung kantor, dengan langkah gegas dia bergerak menuju lift. Dia bergerak secepat yang dia bisa. Kepalanya terus membayangkan Gama yang sedang memakinya. Dia menekan lift direksi dan, pintu besi itu segera terbuka. Kirana berdiri dengan gusar. Sesekali dia menggigit bibir bawahnya lantaran cemas.
Namun, begitu sampai di kantor dia tidak menemukan siapa pun. Gama bahkan tidak ada di ruang kerjanya. Padahal Kirana sudah mengerahkan tenaga agar bisa mengikuti meeting itu. Namun, saat menemukan kehampaan beberapa saat lamanya pintu ruangan terbuka. Disusul suara langkah sepatu terantuk.
Kirana bergegas memutar badan dan menemukan Gama yang tengah berjalan ke meja kerja tanpa menoleh kepadanya. Buru-buru dia menghampiri bosnya.
"Pak, maafkan saya. Saya beneran lupa soal meeting siang ini. Sa—"
"Bukan hanya soal meeting. Kamu bahkan sudah meninggalkan pekerjaan yang seharusnya sudah ada di meja saya," potong Gama menunjuk tumpukan berkas di atas meja Kirana.
Kirana meringis, pilu. "Maaf, Pak. Tadi itu Mbak Silvana min—"
"Saya tidak mau mendengar alasan apa pun," sela pria itu cepat. Namun ... "Silvana datang?"
Kirana mengangguk. "Dia katanya ingin makan siang sama Bapak. Tapi berhubung Bapak tidak ada dia meminta saya menemaninya. Saya tidak enak menolaknya."
Gama terdiam lalu menghela napas. Tampak berat. "Apa calon suaminya tidak mengajaknya makan siang sampai-sampai datang ke sini?"
"Pak Raja katanya sibuk."
Mendengar itu, Gama mendengus. Seandainya posisi itu ada di tangannya. Tidak akan dia biarkan Silvana mencari lelaki lain hanya untuk sekedar makan siang.
"Sepatunya muat di kaki kamu?" tanya Gama yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
Kirana spontan mengigit bibir seraya meringis. "Belum saya coba, Pak."
Mata Elang Gama kembali melotot. "Kenapa? Kamu tidak suka?"
"Bukan begitu." Kirana mengibaskan tangan. "Tadi itu keburu Mbak Silvana datang, jadi saya simpan sepatunya dulu."
"Oh," Gama mengangguk. "Pake sekarang, coba saya mau lihat," perintahnya seraya mengedikkan dagu.
"Harus sekarang banget ya, Pak?" tanya Kirana bingung. Padahal ada hal yang lebih penting yang harus dia kerjakan.
"Ya, iya. Kamu tuli?!"
Tanpa pikir panjang Kirana segera kembali ke meja untuk mengambil sepatunya. Dia tidak mau kena semprot lebih daripada itu.