Gama spontan berbalik dan menemukan asistennya tengah jatuh setengah rebah dengan kedua lengan menyangga tubuh.
"Kamu kenapa—"
Kirana meringis. "Aduh, sakit, Pak. Kalau mau berhenti itu bilang-bilang dong, Pak," gerutu Kirana kesal.
"Kenapa kamu nyalahin saya? Makanya kalau lari itu matanya ke depan jangan malah keliaran ke mana-mana."
Sialan, malah dimaki bukannya ditolong. Gadis belia di samping Gama bahkan terkikik. Keduanya benar-benar menyebalkan.
"Kakak itu siapa sih, Kak? Dari tadi ngikutin kita."
Mata Kirana melebar, dan hampir lepas menahan kesal. Sembarangan saja. Bukannya dia yang mengikuti?
"Dia asistenku," jawab Gama singkat, lalu tatap tajamnya menyorot Kirana lagi. "kamu ngapain masih duduk? Bangun, lari lagi."
Jika dalam film-film anime, hidung Kirana pasti sudah mengeluarkan asap saking kesalnya. Dia baru saja jatuh dan si setan Gama malah menyuruhnya tetap lari. Kedua sikutnya perih, Kirana yakin ada luka di sana. Namun, dia tidak berani melihatnya. Dia bangun dan berdiri lantas berlari mendahului Gama tanpa banyak bicara. Dan setelah berlari setengah putaran, dia berbelok untuk kembali ke rumah. Tidak lagi melanjutkan lari sorenya.
"Memang siapa yang nyuruh aku lari? Kalau aku ada di rumah nggak mungkin bakal jatuh kayak gini," gerutu Kirana dongkol setengah mati. Dia sempat menoleh dan melihat Gama dari kejauhan. Pria itu masih berlari bersama gadis belia itu.
"Lari aja terus sampai kakinya patah," gerutu Kirana lagi lalu berbelok makin menjauh dari lokasi Gama. Kirana tidak tahu bahwa Sukma terus mengawasinya seraya tersenyum. Namun, ketika mata Sukma melihat darah di kedua sikut wanita itu, dia dengan cepat menghilang.
Sesampainya di rumah, Kirana masih saja terus mengomel meratapi kesialannya dan rasa kesalnya kepada Gama.
"Lho, kok udah pulang?" tanya si Mbok yang tahu-tahu sudah muncul di dekat Kirana.
"Saya tadi jatuh, Mbok. Nabrak tiang besi," sahut Kirana asal sembari membuka sepatunya.
"Kok bisa nabrak tiang besi? Memang kamu nggak liat tho, Nduk?" tanya si Mbok keheranan.
"Nggak, Mbok. Soalnya tiang besinya bilang mata saya keliaran ke mana-mana."
Si Mbok makin keheranan dengan jawaban Kirana. "Tiang besi bisa ngomong gitu, Nduk?"
Kirana nyengir. Si Mbok ini terlalu polos buat diajak guyon alias bercanda. "Udah, Mbok. Nggak usah dipikirin. Ini sepatutnya saya cuci dulu ya, Mbok."
"Eh, nggak usah, taruh di tempatnya langsung aja."
"Ih, nggak enaklah, Mbok. Kan udah dipake saya."
"Udah nggak apa-apa. Lebih baik kamu istirahat saja langsung ke kamar. Pasti kamu kecapean makanya sampai nabrak tiang besi."
Si mbok benar. Bukan hanya capek fisik, batin Kirana juga capek tiap hari menghadapi majikannya yang nyebelin akut. Kirana naik ke lantai dua. Sejak beberapa hari yang lalu, Gama menyuruhnya untuk pindah kamar yang dekat dengan pria itu. Tujuannya agar dia bisa mudah memanggil Kirana kapan saja.
Kirana langsung naik ke atas tempat tidur, lalu meluruskan kedua kaki dan memijat-mijatnya. Kirana yakin nanti malam badannya akan remuk redam. Olahraga pertama biasanya akan berefek begitu, sama seperti dulu saat dia masih bersekolah. Olahraga cuma seminggu sekali, akibatnya sisa enam hari yang dia miliki habis untuk menyembuhkan rasa pegal.
Ketika sedang memijat-mijat kaki, bunyi pintu yang diketuk terdengar. Kirana nyaris berdecak saat sebuah suara menyusul.
"Kirana, boleh saya masuk?" suara Gama dari luar terdengar.
"Mau apa lagi sih dia? Aku sudah kenyang sama makiannya," gumam Kirana. Namun, belum juga dia menyuarakan izin, pintu kamarnya terlihat terbuka, dan seseorang mendorongnya dari luar. Detik berikutnya, sosok Gama muncul.
Pria itu masih mengenakan pakaian olahraga. Tangan kanannya menentang sebuah kotak berwarna putih.
"Saya mau istirahat sebentar, Pak. Pinggul saya sakit gara-gara jatuh tadi," keluh Kirana. Bukannya cengeng, tapi dia benar-benar kesakitan.
Gama tidak peduli, dan terus berjalan mendekati Kirana. Dia menyimpan kotak putih yang dia bawa ke atas kabinet di dekat tempat tidur. Lalu secara tiba-tiba dia meminta lengan Kirana.
"Ke marikan tanganmu," ujarnya seraya menggapai tangan Kirana.
"Buat apa, Pak?" tanya Kirana bingung, tapi juga tidak membantah ketika Kirana memegang tangannya.
Gama tidak menjawab. Dia lantas membuka kotak putih yang ternyata isinya obat-obatan. Mengambil kapas dan retinol, dia mulai membersikan luka pada sikut Kirana.
"Auw!" spontan Kirana terpekik saat kapas basah itu menyentuh lukanya. "Perih, Pak."
"Tahan saja," sahut Gama. Dia dengan telaten membersihkan luka itu.
Kirana sampai tidak menyangka. Boss Devil-nya itu bisa juga bersikap manis. Ketika Kirana meringis keperihan karena lukanya tersiram cairan merah betadine, Gama meniupnya dengan pelan.
"Ubah posisi duduk kamu, biar saya bisa membersihkan luka di lengan kanan kamu," ujar Gama, kembali mengambil kapas baru dan menumpahkan retinol di sana.
Kirana menurut saja pada perintah atasannya itu. Lalu dia kembali memperhatikan bagaimana Gama membersihkan lukanya dengan hati-hati. Di dekat pria itu memang sering menyebalkan, gondok, dan juga makan ati. Tapi Kirana tidak pernah menduga dia akan mendapatkan perhatian seperti ini juga. Gama akan terlihat tampan tujuh kali lipat jika sedang dalam mode baik seperti sekarang. Tidak akan ada yang menyangka kalau pria itu memiliki sisi iblis yang membuat Kirana dongkol setengah mampus jika sisi iblisnya kumat.
Setelah selesai mengobati luka Kirana, Gama beranjak keluar tanpa mengatakan apa-apa.
"Pak," panggil Kirana cepat sebelum Gama benar-benar keluar dari kamarnya.
Gama yang hendak membuka pintu pun menoleh. Wanita yang saat ini duduk dengan kaki menjuntai itu tersenyum padanya.
"Makasih ya, Pak," ucap Kirana pelan. "Kalau lagi baik gini, bapak jadi lebih tampan tujuh kali lipat," ujarnya tanpa malu seraya mengacungkan kedua ibu jari.
Ucapan Kirana sontak saja membuat Gama salah tingkah. Hidungnya kembang kempis menerima pujian itu. Kakinya mungkin masih menapak di lantai, tapi hatinya sudah terbang sambil berputar-putar.
Gama berdeham sesaat untuk memperbaiki sikapnya yang sejenak terasa norak. "Kamu boleh istirahat." Setelah mengatakan itu, Gama membuka pintu dan benar-benar keluar dari kamar Kirana.
Dari balik pintu dia kembali berdeham pelan. Lalu sebelah tangannya terangkat, menyugar rambutnya sendiri ke belakang. "Memang selama ini dia tidak sadar kalau aku pria tampan?" gumamnya, dan segera beranjak menuju kamar. Ada kedutan samar di ujung bibirnya yang sedang berusaha dia sembunyikan.
"Sepertinya Tuan sangat senang."
Hampir saja Gama terjungkal ketika melihat Sukma tahu-tahu menggantung di depan pintu kamarnya. Pria berhidung tinggi itu serta-merta menggeram jengkel.
"Bisa tidak muncul selayaknya manusia pada umumnya?" tanyanya jengkel, lalu segera mendorong pintu kamar.
Sukma terkekeh. "Saya kan memang bukan manusia, Tuan."
"Tapi setidaknya kamu bisa perhatikan bagaimana cara manusia bersikap, dan ikuti sikap baik mereka," ucap Gama sembari berjalan ke depan cermin.
"Saya tidak suka meniru-niru sikap manusia, itu akan terasa aneh." Sukma berpindah tempat, dan duduk di atas sebuah standing hanger sambil memperhatikan sikap majikannya yang terus memandangi wajahnya sendiri melalui pantulan cermin. Sesekali Gama menoleh ke kiri, dan sesekali menoleh ke kanan. Entah apa yang dia lihat.
"Sukma, apa menurutmu aku tampan?"
Serta-merta Sukma menaikkan kedua alis tebalnya ditanya seperti itu. Kemudian matanya yang bulat mengerjap. Dia menduga majikannya itu telah salah meminum obat.
"Tuan, tidak salah tanya pendapat ke saya? Pertanyaan Tuan akan lebih masuk akal kalau ditanyakan kepada wanita, Nona Kirana misalnya."
Ujung mata Gama melirik Sukma. "Dia bilang sih ketampanan saya bertambah tujuh kali lipat dari biasanya."
Mata Sukma membesar. "Kapan Nona Kirana bilang?"
"Barusan," sahut Gama singkat lantas kembali mematut diri di depan cermin.
****
Wkwk. Si Boss dipuji dikit aja langsung kembang kempis. Yuk yuk ramaikan, dan jangan lupa simpan cerita ini ke library. Teng Kyu.